Politics & Society

Melampaui Batas Keperempuanan: Upaya Redefinisi

Tidakkah Anda muak ketika orang lain mendiktekan berbagai syarat dan ketentuan terhadap perempuan?

Avatar
  • April 6, 2017
  • 3 min read
  • 728 Views
Melampaui Batas Keperempuanan: Upaya Redefinisi

Sebagai seorang pelajar pendidikan tinggi yang memutuskan untuk aktif di beberapa organisasi dan komunitas, saya menemui banyak orang dengan karakter yang beragam. Perdebatan menjadi hal yang tak jarang terjadi di antara kami. Tapi untunglah, saya berada di lingkungan yang bersedia untuk merawat ketidaksepahaman. Kami lebih banyak memaknai dinamika tersebut sebagai hasil dari paradigma dan pendekatan yang berbeda, sambil berusaha menemukan jalan tengah untuk isu yang beberapa kali menjadi topik diskusi kami.

Karena kesediaan saya untuk belajar baik dari buku bacaan yang seadanya maupun dari diskusi dengan kelompok yang berbeda, saya mendapatkan sebuah komentar yang menurut saya justru janggal dari mereka yang mayoritas laki-laki. Komentar yang saya maksud semacam ini, “Wah, Wikan, kamu ini benar-benar bukan perempuan. Biasanya cewek-cewek hanya ribut dengan diskon di mall dan fashion saja,” kata mereka tertawa mengejek. Saya? Tersenyum pun tidak.

 

 

Setidaknya ada dua hal yang dapat saya tangkap setelah meminta konfirmasi dari maksud perkataan mereka. Pertama, untuk lingkaran kecil saya yang satu ini, menjadi perempuan berarti itu tadi, “hanya ribut dengan diskon di mall dan fashion saja”. Itu artinya, identitas saya sebagai perempuan tidak diakui karena saya mengisi keseharian tidak “hanya” dengan melakukan kedua hal tersebut. Kedua, ribut dengan diskon di mall dan fashion memiliki tendensi sebagai sesuatu yang “hanya”. Remeh. Tidak esensial.

Pada Konvensi Hak-Hak Perempuan tahun 1851 di Ohio, Sojourney Truth menyampaikan sebuah pidato yang fenomenal,
“Saya pernah membajak dan bertanam, mengumpulkan hasilnya di dalam lumbung, dan tidak seorang laki-laki pun dapat mendahului saya! Dan bukankah saya seorang perempuan? Saya dapat bekerja sekeras dan makan sebanyak laki-laki — dan jika saya dapat memperolehnya — mengandung seorang anak juga! Dan bukankah saya seorang perempuan?”

Truth, seorang feminis abolisionis kulit hitam, membacakan pidato tersebut sebagai tanggapan untuk sekelompok laki-laki pencela yang saat itu menganggap bahwa pemberian hak pilih bagi perempuan adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Meski pidato yang terkenal dengan kalimat “Ain’t I a woman” tersebut masih kental diwarnai stereotip terhadap laki-laki, dari situ saya dapat berefleksi bahwa identitas keperempuanan seseorang tidak akan secuil pun menghambat kemampuannya dalam berpikir, bekerja, maupun berbicara.

“Kamu perempuan tapi kok nggak peka sih…”

“Halah, perempuan malah nembak duluan.”

“Perempuan itu yang halus bicaranya.”

Tidakkah Anda muak ketika orang lain mendiktekan berbagai syarat dan ketentuan terhadap perempuan? Oh, Anda sudah seharusnya geram. Bagaimanapun, Anda telah mendefinisikan perempuan dengan menjadi salah satu di antaranya. Menjadi perempuan bagi saya, adalah menjadi apa pun dan bagaimana pun yang saya atau Anda mau ketika mengidentifikasi diri sebagai perempuan. Sebab, sebenarnya, bukankah yang paling utama dalam proses mengenali identitas seseorang adalah dirinya sendiri, sehingga orang lain di luar diri hanya perlu mengangguk setuju?

Untuk itu, pilihan apa pun yang diambil, Anda adalah seorang perempuan selama Anda menganggapnya demikian. Entah memiliki anak atau tidak, bisa memasak atau tidak, keranjingan memperhatikan tren busana atau tidak, memakai makeup atau tidak, bervagina atau tidak, Anda tetaplah seorang perempuan.

Dan khusus untuk Anda, perempuan yang sedang atau pernah sama-sama tidak dianggap sebagai perempuan, yang sedang kita lampaui bukanlah batas keperempuanan itu sendiri. Melainkan gambaran dalam tempurung kepala orang-orang yang bebal dan kolot tentang perempuan. Tetaplah jadi pribadi yang unik nan mengejutkan. Karena menjadi perempuan tidak otomatis membuat Anda makhluk nomor dua. Anda hanya akan menjadi liyan ketika membiarkan diri Anda teralienasi bahkan dari tubuh sendiri. Maka, ambil alih peran! Welcome to the sisterhood.

Hening Wikan adalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Dapat ditemui dengan mudah di kantin kampus, angkringan, maupun di akun Twitter @heningwikan. Tengah berkutat dengan gagasan kemanusiaan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Hening Wikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *