Politics & Society

Melawan Norma Pemicu Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan berbasis gender tidak hanya menyangkut fisik, tapi juga kekerasan akibat konstruksi norma masyarakat seputar gender.

Avatar
  • September 11, 2017
  • 5 min read
  • 863 Views
Melawan Norma Pemicu Kekerasan Berbasis Gender

Sebenarnya, kekerasan itu apa sih?
 
Pertanyaan sederhana ini mungkin terkesan mubazir, karena pemahaman akan kekerasan secara intuitif seharusnya sudah dimengerti oleh masyarakat luas. Namun sering kali penggunaan kata ‘kekerasan’ dalam diskusi sehari-hari terpaku pada interpretasi bahwa sesuatu itu bisa disebut kekerasan hanya jika menyangkut fisik seorang individu. Banyak dari kita yang masih kesulitan untuk mengaitkan kekerasan dalam bentuk lain – verbal atau psikis, misalnya – sebagai kekerasan yang sama gentingnya dengan kekerasan fisik, akibat konstruksi norma-norma masyarakat yang sudah sangat kental dan sulit ditinggalkan.
 
Pengertian yang lebih luas tentang kekerasan berangkat dari pengenalan lebih jauh mengenai sistem patriarki yang mendominasi ruang-ruang masyarakat dalam kehidupan kita, dan itu adalah kunci untuk lebih memahami apa itu kekerasan berbasis gender (KBG).
 
Pada dasarnya, kita hidup di dalam konstruksi sosial yang kukuh dan masih harus ditantang, sehingga banyak dari kita yang menjadi korban kekerasan karena tidak mematuhi norma-norma seputar gender yang sudah begitu dibekukan oleh masyarakat.
 
Sanita Rini, perempuan muda yang sekarang menjabat jadi Wakil Presiden organisasi Youth Coalition for Girls, pernah mengalami hal itu. Berasal dari Desa Sanetan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sanita adalah salah satu perempuan yang berhasil melepaskan diri dari jeratan tradisi pernikahan di bawah umur di kampungnya.
 
Bagi banyak penduduk desa, menikahkan anak mereka yang masih di bawah umur merupakan jalan keluar dari jeratan kesulitan ekonomi, dan banyak anak perempuan yang terpaksa menerima nasib karena kerasnya adat tersebut, dan minimnya sarana bagi mereka untuk mendapatkan bantuan.
 
“Pernikahan anak bukan solusi, tapi petaka,” kata Sanita, saat menceritakan pengalamannya dalam sesi panel diskusi Kekerasan Berbasis Gender di Feminist Fest 2017 di Jakarta, pada 26 Agustus lalu.
 
Sanita menuturkan bahwa pernikahan anak justru menggenjot siklus kemiskinan, dan dapat meningkatkan jumlah korban HIV/AIDS serta angka kematian ibu dan anak.
 
Mungkin ada dari kita yang tidak akan langsung mengaitkan pengalaman Sanita, dan banyak perempuan muda lain di seluruh Indonesia seperti dirinya, sebagai bentuk KBG. Namun sesungguhnya ketika seorang individu menghadapi situasi yang tidak dikehendaki dan sering kali terpaku diam karena kentalnya ‘budaya’ suatu masyarakat atau daerah, hal itu merupakan bentuk kekerasan.
 
“Kekerasan berbasis gender itu adalah ketika norma-norma dipaksakan pada kamu … ketika identitas kita menjadi basis intervensi,” kata Mariana Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
 
KBG didefinisikan sebagai suatu tindakan terhadap seseorang di luar kehendaknya dan didasarkan pada norma gender dan relasi kuasa yang tidak setara.
 
Pada diskusi yang sama, para hadirin Feminist Fest 2017 juga mendengar pengalaman Rebecca Nyuei, yang turut berbagi tentang bagaimana kekerasan seksual hanya merupakan salah satu contoh dari bentuk KBG yang dialami oleh banyak orang.
 
Sebagai seorang transpuan, Rebecca bercerita bahwa KBG yang ‘khas’ pada komunitas LGBT beragam, mulai dari homofobia (kebencian dan diskriminasi terhadap orang yang menyukai sesama jenis), transfobia (kebencian dan diskriminasi terhadap orang transgender), cis-heteronormavity (norma-norma budaya yang mengutamakan heteroseksualitas dan identitas cisgender), terapi konversi, dan lain-lain.
 
Menurut Rebecca, penting untuk “melihat lebih dalam apa saja kekerasan berbasis gender, karena sering kali bukan hanya kekerasan seksual.”
 
Ditambah lagi, ujarnya, KBG bisa bersifat fisik, emosional, psikologis, atau seksual, dan tidak jarang berupa penolakan terhadap sumber daya atau akses untuk suatu layanan.
 
Rebecca menambahkan bahwa teman-teman di komunitasnya sering menjadi korban diskriminasi struktural. Mereka yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) pun tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan yang ditawarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-Kesehatan), padahal sering kali mereka tidak memiliki KTP dikarenakan proses perjuangan mereka untuk bisa memeluk identitas mereka, katanya.
 
Lantas, bagaimana bisa suatu masyarakat betul-betul maju dan berkembang jika ia meninggalkan anggota warga lainnya dengan alasan bahwa warga tersebut dianggap tidak ‘normal’?
 
Tirani mayoritas dan konsekuensi sistem patriarki yang masih dianut oleh banyak orang merupakan suatu tantangan kolektif bagi kelompok-kelompok minoritas, yang sudah sepatutnya dilawan secara serempak.
 
“Kita bisa mulai bergerak bersama, mari kita berkumpul dan memperjuangkan itu bersama-sama, karena memang kita tidak bisa sendiri,” ajak Rebecca.
 
Dalam presentasinya, Mariana juga menyebutkan bahwa pencapaian kesetaraan gender itu bisa kita raih dengan mengubah cara pandang dan pola pikir masyarakat yang keruh karena sistem patriarki.
 
Bahwa karena banyak dari kita yang masih mengaitkan sebutan gender dengan jenis kelamin, maka penting untuk dicatat bahwa ekspresi gender itu tidak sejajar dengan jenis kelamin biologis sedari kita lahir, ujarnya.
 
Sambil mencari jati diri dan belajar tentang kehidupan di tengah masyarakat Indonesia yang budaya dan tradisinya masih lengket terpaku dengan sistem patriarki, menyadari kompleksitas kekerasan mungkin terasa seperti pekerjaan tambahan.
 
Tidak bisa dipungkiri bahwa pengertian publik di Indonesia mengenai isu-isu seperti hak perempuan, hak LGBT dan kekerasan berbasis gender sendiri itu terasa pelan dan mandek. Menantang suatu kebiasaan memang tidak bisa dicapai dalam waktu singkat.
 
Para narasumber yang hadiri diskusi Femfest itu juga setuju bahwa memang perubahan tidak bisa langsung membuahkan hasil dan akan selalu melalui proses yang panjang.
 
Giat menantang norma dan kesabaran disebutkan sebagai dua sikap kunci yang bisa diambil para pejuang. Memahami kekerasan berbasis gender mungkin hanya satu langkah dari perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender, tapi tidak ada yang namanya langkah kecil dalam perjuangan ini.
 
 
Kita bisa belajar dari perjuangan Sanita, yang bersama teman-temannya berhasil untuk menurunkan angka pernikahan anak, melalui Peraturan Desa (PerDes) yang sudah berjalan dua tahun ini, dimana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh dinikahkan.
 
“[Di desa saya] masih terjadi pernikahan usia anak, tapi tidak seekstrem dulu. Pendekatan harus selalu dilakukan, intervensi yang pelan tapi pasti itu penting, dan peganglah orang-orang kunci di desa atau masyarakat,” kata Sanita.
 
Dengan adanya peraturan tersebut, anak-anak di Desa Sanetan sekarang bisa bersekolah hingga tingkat SMA dan bahkan bisa kuliah, tambahnya. 

Sheany adalah wartawan urusan luar negeri yang menggunakan waktu luangnya untuk mempelajari isu-isu keadilan sosial, bermain dengan empat anjingnya dan menangkap keajaiban fana dengan kameranya. 

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Sheany

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *