‘5 Stages of Grieving’ Kehilangan Bapak: Enggak Gampang, Tapi Itu yang Membuatku Bertahan
Bukanlah perjalanan mudah untuk melewati lima tahapan berduka. Ada banyak suka-duka di dalamnya.
Sebagai pecinta drama Korea Selatan (drakor), sebenarnya aku tak punya masalah dengan genre apa pun. Selama itu menyenangkan dan bisa ditonton. Tapi nyatanya ada satu judul yang membuatku tak mampu untuk menontonnya. Drakor ini berjudul Hi Bye Mama! yang tayang tahun 2020 lalu.
Orang-orang sempat ramai-ramai membicarakannya. Bahkan teman-teman terdekatku sampai bilang, “Kok tumben kamu gak nonton drakor ini?”. Bukan karena tak ingin, tapi aku yakin tak bisa menontonnya. Aku sempat membaca sinopsisnya, dan paham kalau plotnya bisa memicu traumaku. Namun beberapa waktu lalu aku memberanikan diri untuk menikmati drakor ini.
Secara garis besar Hi Bye Mama! bercerita tentang seorang perempuan bernama Cha Yu-ri (Kim Tae-hee) yang meninggal karena kecelakaan tragis. Ia pun menjadi hantu dan selalu menggentayangi keluarganya. Namun, ia reinkarnasi (hidup lagi tapi di tubuh yang berbeda) dan diberi kesempatan menjadi manusia selama 49 hari.
Kematian Yu-ri menimbulkan kesedihan dan luka mendalam bagi keluarganya, terutama sang suami, Jo Kang-kwa (Lee Kyu-hyung). Ia bahkan berkali-kali mencoba untuk bunuh diri karena merasa bersalah atas kepergian istrinya.
Ketika Kang-hwa menikah lagi pun ia masih tetap tak bisa merelakan Yu-ri, istrinya. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa Yu-ri tak pernah kembali ke akhirat. Kang-hwa masih berada dalam tahap keempat yaitu depresi dari rangkaian five stages of grieving. Meski tak pernah ia ditunjukkan secara terang-terangan.
Tapi traumanya yang tak bisa masuk ke ruang operasi, seakan memperlihatkan depresi mendalam yang dialami Kang-hwa. Sebab, di ruang operasi inilah ia melihat tubuh istrinya untuk terakhir kali.
Meski tak sama persis, aku rasanya bisa mengerti kesedihan mendalam yang dialami Kang-hwa. Aku belum punya pasangan. Tapi, duka ditinggal orang tersayang ternyata tak habis dan sirna dengan tangis dan bersedih. Ada tahapan-tahapan yang ternyata tak mudah dilalui, bahkan bikin aku mempertanyakan pameo, “Time will heal everything.”
Baca juga: Adakah Cara Berduka yang Tepat Saat Pandemi?
Melewati 5 Stages of Grieving Saat Kehilangan Orang yang Disayang
Saat orang ditinggal oleh orang yang kita sayang, ternyata ada lima tahapan berduka atau five stages of grieving yang umumnya akan kita lalui. Konsep ini pertama kali diperkenalkan Elizabeth Kübler-Ross, seorang psikiater asal Swiss dan Amerika. Di bukunya yang berjudul On Death and Dying (1969), ia membagi duka ini dalam lima tahap: penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
Beberapa tahun yang lalu, bapak meninggal dunia. Perasaan marah, kesal, dan sedih, semua bercampur jadi satu. Aku, mama, dan adik perempuanku seperti tak ada tumpuan untuk bertahan hidup lagi. Aku dan adikku berhasil untuk melewati kelima tahapan ini, sedangkan mama masih ada di tahapan ketiga.
Di tahap pertama, sama seperti orang lain yang tengah berduka, aku masih menyangkal kepergian bapak. Entah beberapa kali aku terbangun di malam hari, hanya untuk melihat lewat jendela, kalau bapak akan datang dengan motor kesayangannya. Keadaan ini juga aku dapati pada mama, yang selalu melamun di teras rumah, seakan menunggu bapak untuk segera pulang.
Penyangkalan ini pun akhirnya menimbulkan kemarahan—tahap kedua dalam diriku. Aku merasa seakan tak terima dengan kepergian bapak. Emosiku menjadi tak stabil dan mood yang jadi sering berubah-ubah. Padahal aku tipe orang yang hampir tak pernah moody-an. Aku seakan mempertanyakan, Kenapa aku mengalami hal ini? Kenapa aku harus kehilangan bapak sekarang? Bapak gak akan bisa lagi melihatku sukses di masa depan.
Baca juga: Tak Bisa Rasakan Duka Saat Ditinggal Mati, Normal?
Bermacam skenario terus bermunculan dalam otakku. Tapi, aku selalu berandai-andai jika bapak masih hidup.
Bapak meninggal ketika pandemi terjadi. Rumah sakit penuh oleh pasien Covid-19. Mama tak membawa bapak ke rumah sakit, karena takut penyakit bapak akan semakin parah. Kami bertiga pun bergantian merawat bapak di rumah, karena mama dulunya seorang perawat.
Di tahap ketiga—tawar menawar inilah yang membuat mama menyesal sewaktu bapak meninggal. Ia merasa bersalah setiap kali mengingat hal ini. Seandainya ia membawa bapak lebih cepat ke rumah sakit, kejadian ini tak akan terjadi. Aku dan adikku juga merasakan hal yang sama seperti mama.
Mama sampai sekarang masih di tahap tawar-menawar tersebut. Meski aku dan adikku berhasil melewatinya, tapi kami berdua mengalami depresi karena rasa penyesalan ini. Tahap keempat, depresi menjadi yang paling berat bagi aku dan adikku.
Depresi ketika itu membuatku seakan susah untuk bertahan tetap hidup. Sebagai anak pertama, aku sempat merasa enggak ada gunanya. Aku mengalami stres berat—walaupun gak pernah menunjukkannya di depan mereka, karena takut membuat mama sedih.
Aku mengalami menstruasi hingga setahun lebih karena stres kehilangan bapak. Ditambah pekerjaan dan beasiswa yang terus ditolak, aku makin putus asa. Rasa bersalah terus menghantuiku karena aku sebagai anak sulung yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sempat sebersit tendensi untuk mengakhiri hidup. Tapi aku meyakinkan diri. Aku kembali teringat bapak. Jika aku melakukannya, bapak pasti akan sedih di atas sana. Mama dan adik perempuanku juga akan terus bersedih nantinya.
Perlahan tapi pasti, aku mulai bangkit untuk menerima kenyataan bahwa bapak telah tiada, dan enggak akan bisa hidup lagi. Mantra ini cukup berhasil untukku. Aku berjalan maju ke depan, mulai merefleksi diri dan mencoba untuk memulai kehidupan yang baru. Walau aku tahu perjalanannya memang tak akan mudah. Tapi setidaknya aku sudah bisa menerima dan melewati tahap kelima—penerimaan.
Baca juga: Dampak Kematian Teman Ternyata Tak Lebih Remeh dari Kematian Keluarga
Memang ada banyak cara mengatasi berduka tersebar di internet. Tapi, tak ada solusi tunggal tentang mencapai tahap penerimaan ini. Yang kutahu, waktu bisa jadi konsep yang berbeda-beda buat tiap orang. Buat sebagian orang, bisa jadi mengikhlaskan kepergian orang tersayang jadi jalan panjang dan sepi. Tapi, kalau ada satu hal yang bisa kubagi, dan semoga bisa menguatkan kita yang sedang mengalaminya, adalah please be gentle on yourself while grivieng.
Berduka adalah bagian dari proses hidup manusia. Ambillah waktu sebanyak-banyaknya untuk memproses kehilangan itu. Tapi, jangan lupa untuk mengasihi diri sendiri saat mengalaminya. Dan saling menjaga saat menghadapinya bersama-sama.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari