Melihat Manipulator Bekerja: Yang Harus Dilakukan Saat Terjebak Relasi Manipulatif
Tak banyak orang yang cepat sadar saat terjebak dalam relasi yang manipulatif. Sebab tukang manipulasi—terutama yang jago memanipulasi emosi—tahu cara membuat korbannya patuh dan bertahan.
Di kehidupan sehari-hari, nampaknya banyak orang bisa melakukan manipulasi dalam kadar tertentu, mulai dari sales panci, ibu-ibu penjual daster, tukang kartu kredit, agen asuransi, hingga politisi dan calon presiden. Namun, hanya orang jahat yang bisa melakukannya untuk merendahkan dan mengontrol hidup kita secara bersamaan. Hal ini menjadi gawat saat orang tersebut mempraktikkannya dalam suatu hubungan romantis, baik pacaran maupun pernikahan. Alih-alih meyakinkan bahwa kita butuh peralatan makan atau kartu kredit baru, dalam hubungan macam itu, manipulator ulung bisa saja membuat kita merasa ketakutan atau bersalah, hingga menuruti kemauan mereka.
Baca juga: Pacar Tukang ‘Gaslighting’ Menjebakku dalam Hubungan Toksik
Bagaimana Manipulator Bekerja?
Dilansir dari artikel Signs of Emotional Manipulation di WebMd, situs kesehatan yang juga sering membahas masalah-masalah psikologis, manipulasi emosional bisa terjadi dalam suatu hubungan saat seseorang ingin lebih berkuasa terhadap pasangannya.
Sharie Stines, seorang terapis yang berbasis di California dan pakar dalam masalah toxic relationship, dalam artikel Time berjudul HowTo Tell If Someone Is Manipulating You, menyampaikan bahwa perilaku manipulatif dalam berpacaran bisa melibatkan tiga faktor: rasa takut, kepatuhan, dan rasa bersalah. Ketiganya bisa saja dihadirkan lewat kekerasan fisik, tapi yang paling sering dipraktikkan adalah lewat kata-kata.
Melati (28), seorang single mother, punya pengalaman terjebak dalam toxic relationship selama kuliah. Pacarnya yang berusia dua tahun lebih tua kerap menggiring Melati untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dengan macam-macam gagasan. “Dalam tiap kesempatan, dia seakan menyiratkan bahwa untuk mendapatkan afeksi darinya, saya harus mau berhubungan seksual,”ungkap Melati.
Dalam kesempatan lain, pacar Melati juga mengaku bahwa dirinya hanya bisa benar-benar mencintai seseorang saat ada kontak fisik berupa hubungan badan. Permintaan yang terus diulang-ulang, lama-kelamaan membuat Melati gerah dan setuju untuk memenuhi kemauan pacarnya. Namun, teror dan manipulasi tak berhenti di situ. Si pacar kembali meminta Melati untuk berhubungan badan, lagi dan lagi.
Saat Melati akhirnya mampu menggunakan sisi logis otaknya kembali, ia mendapati dirinya tengah hamil muda. Yang terjadi setelahnya dapat diprediksi: Melati dinikahkan dengan pacarnya, dan tinggal bersama pelaku selama masa kehamilan pertamanya. Padahal, pelaku adalah orang terakhir yang ingin dilihat Melati saat itu. Baginya, tak ada keadaan yang lebih membuatnya merana seumur hidup dibandingkan berada dalam pernikahan yang seumur jagung tersebut.
Dalam pembagian jenis manipulator milik Sharon Stine, pacar Melati termasuk dalam kategori “the bully”. Tipe ini menjalankan manipulasinya dengan melemparkan ancaman dan intimidasi secara agresif untuk menyuntikkan rasa takut dan memperoleh kontrol atas pasangan mereka. Tipe lainnya adalah “the victim”yang, seperti namanya, kerap bertingkah layaknya korban dan terlihat lemah sehingga ujung-ujungnya justru membuat si pasangan (korban sebenarnya) merasa bersalah.
Baca juga: Manipulasi dan ‘Gaslight’ dalam ‘All Too Well’, Taylor Swift adalah Kita
Stines juga menegaskan bahwa ketika berada cukup lama dalam suatu hubungan beracun, umumnya rasa percaya terhadap diri sendiri perlahan bisa hilang. Pasalnya, banyak tindakan manipulasi emosional juga melibatkan praktik gaslighting, situasi seseorang membuat pasangannya merasa rendah diri, mempertanyakan keabsahan pendapat dan perasaannya sendiri, dan membuatnya terus menerus merasa bersalah.
Caranya? Seorang manipulator bisa selalu memutarbalikkan fakta, atau apa pun yang kita katakan, dan menggunakannya untuk menyerang balik. Selain itu, metode silent treatment (mendiamkan pasangan saat tengah bertengkar), perilaku pasif-agresif dan metode tarik-ulur juga bisa menjadi senjata di dalam hubungan yang tidak sehat. Tapi jangan lupa, mereka bisa pula melakukannya dengan memberikan kita berjuta kata cinta, alias love-bombing, guna melunakkan hati. Cara mana pun yang mereka pilih, tujuannya sama: memperoleh kontrol total terhadap kehidupan pasangannya.
Tidak Semua Manipulator Sadar Ia Sejahat Itu
Demi menemukan jalan keluar dari sebuah toxic relationship, pertama-tama kita harus mengenali dulu bahwa hubungan kita memang tidak sehat. Sebab, banyak korban yang menerima perilaku kasar dalam jangka waktu lama, menjadi terbiasa dan menganggapnya wajar. Tentu saja, saat kita berulang kali disebut kurang ajar atau bodoh, di pengulangan yang ketiga ratus empat puluh lima kali, kita bisa saja percaya bahwa itu benar.
Sayangnya, perasaaan atau keadaan juga membuat kita lebih sulit untuk keluar dari lingkaran setan tersebut. Ada hal-hal yang sangat kita butuhkan dari pasangan—seperti afeksi, cinta, kedekatan personal, kenangan-kenangan romantis, kehangatan hingga rasa aman—sehingga sekasar apa pun perilakunya secara verbal, kita bertahan.
Melati mengamini pendapat tersebut. Meskipun sudah ingin berpisah sejak masa pacaran, nyatanya ia baru berhasil melakukan hal tersebut setahun setelah menikah dengan pelaku. Ada- ada saja sesuatu yang menahannya. Mulai dari rasa malu terhadap orang tua, ketidakpastian nasib ke depan tanpa pasangan, hingga ketergantungannya terhadap rasa aman yang diberikan pelaku. “Saya baru benar-benar punya keberanian untuk mengakhiri saat pandemi membuat kami terpisah selama beberapa bulan,” ujarnya.
Sama dengan Melati, Ira (27) juga pernah berada dalam hubungan beracun yang memuakkan semasa kuliah. Bedanya, posisi Ira bukan sebagai korban, melainkan si manipulator itu sendiri. Dia sendiri tidak pernah sadar akan perannya ini, sampai pada suatu hari, pacarnya berselingkuh.
Namun, selepas puluhan adu mulut kasar dan pembacaan ulang banyak kenangan semasa pacaran, Ira sedikit-banyak memahami mengapa pacarnya bertingkah demikian. Tanpa disadari, banyak hal yang ia lakukan memang benar-benar merugikan si pacar, mulai dari memaksa melakukan ini-itu hingga membatasi ruang gerak. Menurut pengakuannya, Ira bahkan secara tak sadar sering membuat si pacar merasa kerdil sebagai manusia dengan kata-kata yang merendahkan.“Saya rasa, siapapun yang menerima perlakuan begitu, laki-laki atau perempuan, tentu akan merasa tertekan dan megap-megap,” ujarnya.
Ini bukanlah hal yang baru dalam relasi manipulasi. Banyak orang bahkan tidak menyadari bahwa perilakunya bisa sejahat itu. Menurut artikel 3 Reasons People became Manipulative dalam website Psychology Today, seorang manipulator bisa lahir dari lingkungan yang kompetitif, saat ada satu pihak atau lebih (keluarga, teman sekelas, rekan kerja, dan masyarakat) saling memperebutkan posisi yang mengontrol.
Ira tidak sadar akan perilaku manipulatifnya, karena ia terbiasa diperlakukan sama oleh ayahnya semasa remaja hingga beranjak dewasa. Ia kerap berpikir, sikap tersebut wajar ditunjukkan saat seseorang menyayangi orang lain. Jika dialami secara menahun, perilaku ini bisa mandarah daging dan jadi kebiasaan dengan konsekuensi yang—tentu saja—destruktif. Apalagi jika pengaruh tersebut datang di tahun-tahun pembentukan jati diri seseorang. Ironisnya, perilaku manipulatif sering kali dimulai sebagai naluri untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang kompetitif.
Singkat cerita, Ira dan pasangan memutuskan untuk tetap bersama. Namun, dengan pemahaman kegagalan sebelumnya, mereka perlahan berhasil membenahi hubungan yang sebelumnya toksik dan berantakan. Saat kita sadar sebuah hubungan tidak sehat, butuh keberanian besar untuk meninggalkannya tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun, dibutuhkan nyali yang lebih besar lagi untuk tetap tinggal dan memperbaiki.
Baca juga: Lagu Patah Hati Olivia Rodrigo: Saatnya Rayakan Kehilangan dengan Elegan
Apa pun jalan yang kita pilih, pastikan kita benar-benar meninggalkan gaya berpacaran yang kasar, penuh hinaan, dan—tentu saja—manipulatif. Sebab pada dasarnya, alternatif untuk keluar dari perilaku manipulatif adalah menyadari betapa buruknya hal ini untuk diri sendiri, entah sebagai korban maupun pelaku.
Maraknya diskursus soal toxic relationship belakangan ini tidak muncul tanpa alasan. Hal tersebut harusnya sudah bisa memberi gambaran tentang seberapa banyak hubungan pacaran yang selama ini berlangsung secara timpang. Tidak jarang, beberapa kasus berakhir dengan korban yang mengalami depresi dan penurunan kesehatan mental.
Namun, bantuan tidak datang dengan sendirinya. Ia akan tiba jika dibarengi dengan sikap terbuka kita pada orang-orang terdekat, baik orangtua maupun rekan sejawat. Terakhir, berkaca dari dua kasus di atas, memutuskan untuk pergi ataupun tetap tinggal mestinya tak jadi soal pelik. Yang terpenting, adalah seberapa berani kita membuat komitmen terhadap diri sendiri untuk keluar dari jurang keterpurukan akibat hubungan yang tidak sehat.