Sukahaji Dikepung Batu dan Senjata, Kemana Perginya Negara?
Pada (3/12) siang, ratusan orang bertopeng menyerbu pemukiman warga Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung. Batu dilemparkan bertubi-tubi ke rumah-rumah warga. “Mau saya bubarkan atau bubar sendiri,” teriak salah satu anggota ormas saat menghadapi para ibu yang berdiri di barisan depan.
Kesaksian warga kepada BandungBergerak menyebut para penyerang tak hanya membawa batu, tapi juga bambu runcing, petasan, katana, bahkan senjata api. Warga yang bertahan hanya berbekal helm, peralatan dapur, dan benda apa pun yang bisa dijadikan tameng. Hasilnya, puluhan korban luka, satu warga mengalami bacokan dan patah tulang jari, sementara empat keluarga kehilangan rumah. Barang-barang seperti TV dan ponsel dijarah kelompok penyerang.
Belakangan, massa ini diduga terkait dengan ormas yang bekerja untuk PT Xressi Jaga Nusantara (PT XJN). Ia adalah perusahaan yang mengeklaim kepemilikan lahan tujuh hektare di Sukahaji atas nama Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar. Klaim kepemilikan inilah yang memicu sederet intimidasi warga sepanjang tahun.
Sebelum bentrok, PT XJN mengirim surat peringatan agar warga RT 02, 03, dan 04 mengosongkan rumah mereka paling lambat (3/12). Surat yang ditandatangani Direktur Utama PT XJN, Asep Djauhari, diikuti ancaman pihak mereka bakal menurunkan seribu personel dan dua alat berat.
Banyak warga menolak hengkang. Rudianti, 55, yang tinggal di Sukahaji sejak 1999, mengatakan kepada BandungBergerak (5/12), “Waktu diliatin suratnya sama pihak perusahaan, ternyata enggak asli.”
Serangan (3/12) adalah kali kelima. Akun Instagram Sukahaji Melawan mencatat serangan fisik tahun ini terjadi pada 21 April, 29 Juli, 18 Oktober, dan 3 Desember. Warga sudah berulang kali melapor, tetapi tak pernah mendengar kabar pelaku ditindak tegas aparat.
Baca juga: Walhi: Risiko Banjir dan Longsor Jabar Bisa Lebih Parah dari Sumatera
Jejak Panjang Sengketa Agraria
Konflik lahan Sukahaji bermula pada 2009 ketika Junus dan Juliana mengajukan klaim atas tanah yang ditempati kios kayu dan rumah warga. Warsidi, perwakilan Forum Warga Sukahaji Melawan, menjelaskan kepada BandungBergerak, pertemuan sengketa pada 2013 antara warga, perusahaan, Badan Pertanahan Nasinal (BPN), dan kecamatan tidak menghasilkan kejelasan.
Warsidi mengaku dimintai keterangan aparat, kemudian mengetahui perusahaan yang awalnya mengeklaim memiliki 82 sertifikat hanya mampu menunjukkan sebelas fotokopi.
“Setelah itu kita kerahkan warga sini untuk mengecek sertifikat tersebut, dan ternyata ketemu bukan sertifikat daerah Sukahaji tetapi di Jamika dan Pagarsih. Ketemu BPN katanya itu sertifikat Jamika,” ujarnya (5/12).
“Kita itu warga tetap, bukan warga liar, yang punya hak suara juga. Kenapa kok digitukan? Enggak ada satu pun pihak pemimpin daerah yang menengok,” tambahnya kepada sumber yang sama.
Di tengah ancaman penggusuran paksa, enam warga kini dikriminalisasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menyebut empat pasal digunakan aparat terhadap warga. Di antaranya, Pasal 167 KUHP (memasuki pekarangan orang lain secara melawan hukum), Pasal 169 KUHP (keikutsertaan dalam perkumpulan terlarang), Pasal 389 KUHP (perusakan tanda batas), dan Pasal 385 KUHP (penyerobotan tanah).
LBH Bandung menilai pengerahan ormas untuk mengusir warga melanggar UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 dan mencederai hak dasar warga atas tempat tinggal aman.
“Penggusuran 3 Desember dipaksa oleh ormas tidak hanya merusak sendi-sendi hukum dengan mengabaikan proses peradilan yang sah, tetapi secara konkret melanggar hak dasar warga atas tempat tinggal yang aman, keamanan pribadi, serta perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang,” tulis LBH dalam rilis resmi yang diterima Magdalene.
Baca juga: Bencana Sumatera Bukan Panggung Hiburan, Setop jadi ‘Performative Government’
LBH menambahkan konflik tanah Sukahaji tidak lagi sekadar sengketa agraria, melainkan potret panjang penyalahgunaan kekuasaan, pembiaran negara, dan pengesahan kelompok non-negara untuk menundukkan warga.
Sementata itu, Ketua RT 04, Ahmadin, mengatakan rangkaian intimidasi dan kebakaran rumah sejak 2018 membuatnya trauma.
“Saya sudah capek, sampai begadang tiap malam, karena takut dibakar lagi. (Kami) keluar memantau lagi. Dulu setelah kebakaran, (kami) dihalang-halangi (untuk tinggal lagi), karena belum ada izin,” tuturnya kepada BandungBergerak.
















