Membantah ‘Slippery Slope’ LGBT ke Pedofilia
Kelompok LGBT sering kali difitnah sebagai predator seksual yang tak segan memanipulasi dan menggunakan kekerasan demi kepuasan seksual.
Ada argumen berulang yang sama amati selalu muncul dari pengkritik lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di seluruh dunia sejak lama. Argumen itu adalah pernyataan bahwa emansipasi LGBT akan mengarah pada penerimaan pedofilia.
Jawaban atas argumen itu jelas bagi pendukung LGBT: tidak akan. Tetapi terkadang sulit untuk menjelaskan mengapa slippery slope itu tidak akan terjadi. Kegamangan ini terutama berlaku bagi mereka yang belum sepenuhnya memihak dalam masalah ini. Saya merasa seperti ini ketika saya baru mulai kenal dengan gerakan LGBT. Lebih buruk lagi, ketika saya masih dalam lingkaran konservatif yang merupakan latar belakang saya, argumen tadi terasa meyakinkan.
Saat itu, nurani saya tahu bahwa itu salah. LGBT tidak berarti pedofilia. Tetapi saya merasa saya juga harus bisa menyusun pembenaran yang logis. Melalui artikel ini saya ingin membagi apa yang telah saya dapat dari pencarian itu. Saya berharap tulisan ini dapat membantu teman-teman yang sedang berada pada posisi saya dulu.
Argumen anti-LGBT sendiri tidak menganggap bahwa penerimaan LGBT itu akan dengan serta merta berarti menerima pedofilia. Penerimaan itu dianggap akan terjadi secara bertahap sebagai konsekuensi logis dari emansipasi LGBT. Perubahan bertahap yang tidak disadari inilah yang dinamakan slippery slope. Di sini kita melihat adanya upaya pembentukan penyamaan yang keliru (false equivalence) antara LGBT dan pedofilia.
Mengapa saya sebut sebagai penyamaan yang keliru? Karena ada perbedaan yang mendasar antara perbuatan LGBT dan pedofilia. Pertama, karena pedofilia berhubungan dengan atraksi seksual, maka tidak semua komponen LGBT dapat dibandingkan dengan pedofilia secara apple to apple. Transeksualisme jelas-jelas tidak berhubungan dengan atraksi seksual sehingga tidak dapat dibandingkan dengan pedofilia.
Lalu bagaimana dengan lesbian, gay, dan biseksual? Mengapa atraksi seksual sesama jenis dapat dan harus dapat diterima sedangkan pedofilia tidak? Jawabannya lebih mengakar pada objek atraksi seksual dan tindakan seksual yang terjadi dari atraksi tersebut.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) edisi ke-5, pedofilia didefinisikan sebagai adanya atraksi atau fantasi seksual terhadap anak prapubertas (umumnya di bawah 13 tahun). Pengidap pedofilia sendiri dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya dorongan untuk mewujudkan fantasi seksual mereka terhadap anak-anak. Jadi dapat dilihat bahwa yang membedakan objek seksual homoseksual dan pedofil adalah usia dan status pubertasnya.
Mengapa perbedaan ini kemudian menjadi penting? Karena adanya konsep consent atau persetujuan.
Masalahnya pada pedofilia, objek atraksi seksualnya dianggap belum berkapasitas memberi persetujuan untuk perbuatan seksual. Anak prapubertas secara biologis belum memiliki dorongan seksual dan tidak mampu memahami konsep hubungan seksual. Karenanya, walaupun seorang anak setuju berhubungan seksual, persetujuannya dianggap tidak sah secara moral. Jika pengertian moral ini telah dituangkan dalam produk hukum, hubungan seksual dengan anak di bawah batasan umur yang dianggap mampu memberi consent menjadi statutory rape atau pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
Lalu, apa yang mencegah masyarakat yang menerima LGBT kemudian akan menerima pedofilia? Apa jaminan konsep persetujuan yang membedakan pijakan moral LGBT dan pedofilia ini tergerus melalui kebiasaan? Kali ini jawabannya terkait siapa yang memperjuangkan hak-hak LGBT ini.
Pegiat LGBT umumnya adalah orang-orang yang peduli hak asasi manusia (HAM). Consent merupakan konsep penting dalam hubungan antarpersonal dalam konsep HAM. Ia menegakkan derajat seorang manusia sebagai makhluk dengan agensi yang dapat menentukan sendiri apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya. Pelanggaran consent, terutama dalam hal seksual, sudah lama menjadi perhatian para pegiat HAM, orang-orang yang juga memperjuangkan emansipasi LGBT. Tidak mungkin mereka membuang nilai-nilai consent dalam HAM hingga kemudian membela pedofilia.
Hal ini sudah terbukti. Ketika kelompok pedofilia melakukan rebranding dan berusaha bergabung dalam kelompok LGBT mereka ditolak mentah-mentah. Bahkan saat ini kelompok-kelompok LGBT berusaha mengedukasi masyarakat untuk membedakan simbol-simbol pedofilia yang disisipkan sebagai simbol LGBT. Pun juga ketika DSM-5 menyebut pedofilia sebagai orientasi seksual, mereka mengkritik keras hingga akhirnya Asosiasi Psikiater Amerika merevisi istilah tersebut agar tidak terjadi asosiasi yang menyesatkan dengan komunitas LGBT.
Masyarakat LGBT di seluruh dunia sudah lama berusaha melawan stigma. Mereka sering kali difitnah sebagai predator seksual yang tak segan memanipulasi dan menggunakan kekerasan demi kepuasan seksual. Merekalah orang-orang yang paling getol menjaga citra pergerakan LGBT agar tidak tercemar citra buruk pedofilia.