Issues

Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas

Milenial yang memilih ‘childfree’ kerap dinilai egois, padahal pilihan ini dibuat karena masalah ekonomi struktural.

Avatar
  • August 25, 2024
  • 9 min read
  • 2040 Views
Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas

Memutuskan untuk childfree masih dinilai sebagai pilihan egois. Mereka yang memilih childfree juga sering dianggap bukan keluarga utuh. Padahal bagi banyak pasangan keputusan ini didasari alasan sederhana namun krusial: ekonomi. 

Dengan pendapatan bulanan sekitar Rp25 juta, Melodya (29) dan suaminya mungkin bisa dikatakan lebih berkecukupan dibandingkan kebanyakan penduduk Jakarta. Namun pasangan tersebut menganggap dengan pengeluaran mereka, pemasukan itu tidak cukup untuk membesarkan anak secara ideal dalam kondisi saat ini. 

 

 

Sebagai karyawan swasta di Jakarta, Melodya menggunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, disisihkan ke ibunya, dan membayar asuransi. Untuk biaya transportasi umum dan belanja online, ia memilih membayar dengan paylater.

Kadang-kadang, Melodya mengambil pekerjaan tambahan sebagai aktor suara, untuk dubbing film di layanan Over-The-Top (OTT). Namun nominal pendapatannya pun tak menentu, tergantung jumlah proyek. Dan hasilnya ia masukan ke tabungan, atau ia berikan ke ibunya.

Melodya (Foto oleh: Tommy Triardhikara/Magdalene.co)

Melodya bilang, ia dan suami belum bisa mengalokasikan dana untuk kebutuhan hari tua mereka. 

“Buat nanggung biaya hidup sendiri aja kami masih kesulitan,” katanya.

Alasan itulah yang membuat pasangan ini memilih untuk tidak memiliki anak. Bagi keduanya, kondisi finansial mereka masih jauh dari cukup untuk menanggung kebutuhan anak—apa lagi untuk jangka panjang. Ia dan suaminya memandang pasangan harus memiliki dana yang cukup sebelum punya anak, dan tenaga ekstra untuk mencari rezeki tambahan. Tidak cukup hanya percaya bahwa nanti rezeki akan datang, karena konsep itu justru mempertaruhkan kesejahteraan sang anak.

Alasan Melodya tidak berlebihan: inflasi bahan pangan, biaya pendidikan, kesehatan, sewa rumah, dan cicilan lain yang terus meningkat membuat biaya hidup terutama di kota besar menjadi sangat besar.

Pada 2022, Survei Biaya Hidup (SBH) mencatat, biaya hidup rata-rata di Jakarta per bulan mencapai Rp14,88 juta—tertinggi di Indonesia. Ini tidak sebanding dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang hanya Rp 5 juta.

“Kalau suami dan istri bekerja pun tetap nggak cukup memenuhi standar biaya hidup di Jakarta,” jelas Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira pada Magdalene.

Pasangan Melodya dan suaminya tidak sendirian, kondisi ekonomi yang semakin tak menentu melandasi keputusan banyak pasangan untuk tidak punya anak.

Baca Juga: Yang Lebih Penting dari ‘Childfree’: Hargai Pilihan Masing-Masing

Biaya Hidup Mahal, Yang Disalahkan Tubuh Perempuan

SBH pada 2022 dan UMP di Jakarta sebenarnya cukup menggambarkan bagaimana keadaan ekonomi saat ini masih jauh dari ideal bagi kebanyakan orang untuk punya anak. Biaya yang dibutuhkan mulai dari biaya persalinan, makan, pakaian, kesehatan, tempat tinggal, pengasuhan dan lain-lain. Selain itu faktor utama lain dalam membesarkan anak adalah pendidikan.

Dikutip dari Kumparan, Perencana Keuangan Finante.id Sayoga Risdya Prasetyo  memperkirakan anak yang dilahirkan pada 2023 membutuhkan sekitar Rp968 juta untuk biaya pendidikannya di sekolah swasta di Jakarta dari TK hingga kuliah.

Besarnya biaya pendidikan ini menjadi salah satu pertimbangan Caca (36) dan suami saat memilih childfree. Ia ingat ketika menghadiri Mahkamah Rakyat Luar Biasa di Universitas Indonesia (UI) pada Juni lalu, seorang mahasiswa menceritakan biaya kuliahnya sebesar Rp15 juta per semester.

Caca (Foto oleh: Tommy Triardhikara/Magdalene.co)

Realitas itu membuat Caca memikirkan betapa besarnya biaya kuliah dalam belasan tahun mendatang akibat pendidikan yang diprivatisasi dan Undang-undang tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang belum mempertimbangkan kemudahan masyarakat mengakses pendidikan. Wacana pemerintah tentang pinjaman mahasiswa atau student loan justru dianggap akan mendorong biaya kuliah makin lebih tinggi lagi karena memperkuat komersialisasi pendidikan.

Belum lagi, Caca khawatir, jika anaknya memiliki kebutuhan khusus fisik atau mental. Biaya pendidikan akan semakin mahal mengingat sistem pendidikan Indonesia belum ramah terhadap anak berkebutuhan khusus.

Padahal saat ini, karena ia mengidap diabetes, Caca harus mengeluarkan uang lebih untuk kebutuhan rumah tangganya. Selain untuk mengirimkan uang ke ibunya, gajinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk protein, buah-buahan, dan beras porang yang per kilonya seharga Rp130 ribu. 

“Sekarang seminggu bisa ngeluarin Rp500 ribu karena diet khusus. Padahal dulu itu cukup buat sebulan,” ucap Caca.

Pengeluaran lainnya termasuk rumah kontrakan sebesar Rp20 juta per tahun, iuran BPJS, asuransi kematian, angsuran laptop, dan makanan kucing.

Melodya juga punya kekhawatiran yang sama soal biaya pendidikan anak. Ia dan pasangannya ingin memberikan pendidikan terbaik jika mereka punya anak, dan sekolah negeri bukanlah opsi bagi mereka karena kualitasnya yang kurang terjaga.

Selain menilai sekolah swasta lebih mengakomodasi cara berpikir kritis, Melodya punya trauma bersekolah di SMA negeri yang membuatnya mengalami krisis identitas. Saat itu, ia merasa sulit menyampaikan pendapat, dan sekolahnya tidak menghargai siswa yang punya kedalaman pikiran. Bahkan, ia bercerita, beberapa gurunya sering memproyeksikan masalah pribadi dengan meluapkan kemarahan pada murid-murid mereka.

Melodya pernah direkomendasikan beberapa sekolah internasional yang kurikulumnya terstandarisasi secara global, serta punya fasilitas dan sumber daya lebih berkualitas. Namun biaya sekolah-sekolah tersebut sangat tinggi. “Dengar teman-teman nyekolahin anak di sekolah biasa aja, menurut kami, (biayanya) mahal,” ucapnya.

Melodya (Foto oleh: Tommy Triardhikara/Magdalene.co)

Dalam situasi semuanya serba mahal, pendidikan berkualitas sulit diakses, krisis iklim yang mengancam planet, dan kekerasan yang tinggi membuat Caca dan Melodya merasa tidak tega untuk membesarkan seorang anak. Menurut mereka, tak ada yang menjamin hidup generasi selanjutnya akan lebih mudah, karena itu childfree merupakan pilihan yang tepat.

Sampai artikel ini ditulis, tim Magdalene belum menemukan riset spesifik terkait jumlah perempuan dari generasi milenial yang childfree. Namun, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS)  menyebutkan, delapan persen perempuan usia produktif—sekira dengan 71 ribu orang—pernah menikah dan belum punya anak. Mereka juga tidak sedang memakai alat kontrasepsi.

Tapi, Bhima justru memperkirakan angkanya lebih besar dari itu. Sebab, tidak setiap orang mengungkapkan alasan mereka memilih untuk childfree kepada publik maupun lembaga survei.

Baca Juga: Bagaimana Islam Menilai ‘Childfree’? Sebuah Penjelasan Lengkap

Ia pun menggarisbawahi dampaknya bagi negara, apabila semakin banyak pasangan milenial memilih childfree, termasuk mengancam konsumsi rumah tangga—terutama pasca berakhirnya bonus demografi pada 2036. Selain itu, rasio ketergantungan usia lansia terhadap usia produktif  akan semakin tinggi, dan ekonomi akan sulit keluar dari middle income trap—keadaan saat negara tidak dapat keluar dari tingkat pendapatan menengah untuk jadi negara maju.

Masalahnya, pemerintah masih belum mengakui permasalahan struktural yang melandasi keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak, bahkan malah membingkai pilihan ini sebagai tren gaya hidup milenial yang terpapar oleh budaya barat. Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo bahkan mendorong agar setiap perempuan melahirkan satu anak perempuan agar regenerasi tetap berjalan.

Secara tidak langsung, Hasto menyalahkan orang-orang yang memilih childfree atas struktur demografi yang tak seimbang ini. Tugas agar negara tak mengalami depopulasi dibebankan pada perempuan, dan jika tugas ini tidak dijalankan berarti mereka “egois”. Alih-alih mengatasi kemiskinan dengan kebijakan yang adil dan pro-rakyat, malah tubuh perempuan yang dikontrol. 

milenial memilih childfree
Ilustrasi: Karina Tungari

Baca Juga: Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga

Intervensi yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah

Indonesia seharusnya melihat ke beberapa negara lain, yang telah mengalami populasi menua dan bagaimana mereka mencoba mengatasinya. 

Jepang adalah salah satu negara yang mengalami “resesi seks”. Pada 2023, hanya 758.631 bayi yang lahir, penurunan sebesar 5,1 persen dari tahun sebelumnya.

Penyebabnya adalah anak muda semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang stabil, karena tidak adanya jaminan pekerjaan seumur hidup seperti tahun 1960-an sampai 1980-an. Di sisi lain, biaya hidup dan pendidikan semakin mahal, sementara  perusahaan tidak menaikkan gaji karyawan. Perempuan pekerja yang membesarkan anak pun memiliki jam kerja panjang, padahal mereka masih dibebankan kerja rumah tangga.

Selain Jepang, Singapura juga mengalami penurunan angka kelahiran. Institute of Policy Studies—lembaga riset di Singapura, melaporkan alasan utama responden memilih childfree adalah biaya.

Mengutip media Jepang The Mainichi, untuk meningkatkan angka kelahiran, pemerintah Jepang menetapkan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah dengan memberikan subsidi pada pasangan muda—terutama yang punya anak, sebesar 15 ribu yen per bulan—sekitar Rp1,5 juta—bagi anak ketiga dan Rp3,1 juta bagi anak selanjutnya. Pemerintah Jepang juga berencana menggratiskan semua biaya pendidikan.

Selain itu, tahun lalu pemerintah Jepang menyusun strategi untuk mendukung keluarga membesarkan anak-anak dengan mengalokasikan 3,6 triliun yen—atau setara Rp385 miliar. Strategi itu termasuk  menaikkan tunjangan cuti orang tua menjadi 100 persen dari pendapatan bersih bagi pasangan yang keduanya mengambil cuti. Insentif juga diberikan kepada  orang tua yang tidak bekerja, yang bisa menitipkan anak mereka di daycare atau tempat penitipan anak.

Selain insentif untuk mendorong angka kelahiran, pemerintah Jepang juga meningkatkan layanan perawatan bagi warga usia lanjut, salah satunya dengan mendorong penggunaan robot di panti jompo. Hal ini untuk mengatasi kurangnya tenaga pengasuh untuk menjawab kebutuhan penuaan populasi yang cepat. 

Di Singapura, pemerintah memberikan insentif sebagai dukungan terhadap pernikahan dan peran orang tua. Salah satunya adalah dengan meningkatkan anggaran “Baby Bonus” menjadi 3.000 dolar Singapura—sekitar Rp35 juta. Anggaran tersebut diberikan setiap enam bulan, sampai anak berusia 6,5 tahun. Pemerintah juga memiliki program ComCare Long Term Assistance Scheme sehingga masyarakat bisa menerima bantuan sosial, serta layanan kesehatan gratis bagi warga yang usianya di atas 65 tahun.

Caca (Foto oleh: Tommy Triardhikara/Magdalene.co)

Menurut Bhima, akan sulit bagi Indonesia untuk mengadopsi kebijakan pemerintah Jepang dan Singapura, mengingat kita bahkan belum mencapai industri 4.0. Menurutnya, dibutuhkan integrasi teknologi ke hidup manusia agar usia produktif di masa depan diganti dengan otomatisasi di berbagai sektor. Selain itu, jaring pengaman di Indonesia pun baru 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk belanja perlindungan sosial minimal seharusnya lima hingga tujuh persen dari PDB.

Namun langkah awal penting agar pemerintah bisa mengintervensi lewat kebijakan adalah dengan mengakui bahwa masalah struktural ekonomi telah mendorong sebagian milenial untuk menjadi childfree. Pengakuan negara akan akar permasalahan ini dapat mendorong kebijakan yang lebih terarah dan efektif. 

“Nanti diikuti kenaikan upah yang layak dan menurunkan beban biaya hidup. Termasuk suku bunga cicilan, biaya transportasi, sewa rumah, dan pendidikan,” jelas Bhima.

Namun, untuk mencapai itu, pemerintah perlu merevisi Undang-undang Cipta Kerja untuk mengubah formulasi upah sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Soalnya, terkait pengupahan ini harus ada perubahan paradigmatis bahwa upah yang naik akan mendorong daya beli dan menciptakan banyak kesempatan kerja baru.

Sedangkan untuk biaya pendidikan, solusinya adalah dukungan yang lebih serius dari sisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), untuk menurunkan atau menggratiskan biaya perguruan tinggi. Sebab, dibutuhkan Rp42,9 triliun untuk menggratiskan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri, dalam satu tahun ajaran.

Reporter: Jasmine Floretta, Aurelia Gracia

Penulis: Aurelia Gracia

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.

Series artikel lain bisa dibaca di sini:

Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian I)

Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian II)

Bahagia dan Kejar Mimpi Pasca-Bercerai: Cerita Tiga Perempuan

Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *