21 Tahun Digantung, Pekerja Rumah Tangga Tak Kunjung Punya Payung Hukum
“Kami akan segera membahas RUU (Rancangan Undang-Undang) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Saya telah mendapat laporan dari Pak Sufmi Dasco, minggu depan RUU ini mulai dibahas. Mudah-mudahan tidak lebih dari tiga bulan undang-undang ini selesai,” kata Prabowo, lewat pidatonya di hari Buruh 2025, Monumen Nasional, Jakarta (1/5), dilansir dari Tempo.
Janji Prabowo itu jadi angin segar bagi para pekerja rumah tangga yang selama 21 tahun menanti pengesahan RUU PPRT. Selama ini, pekerja rumah tangga tidak punya payung hukum, membuat mereka dihinggapi berbagai kerentanan. Berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), terdapat 2.641 kasus kekerasan kepada pekerja rumah tangga. Dari mulai psikis, ekonomi, sampai fisik.
Setelah pidato Prabowo, pada Juli diadakan proses penyaringan aspirasi. Aktivis JALA PRT Lita Anggraini menyebut di awal September pembahasan sudah sampai pada tahap final.
“Final artinya tinggal tanggal 15 September itu diplenokan untuk menjadi RUU yang dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai RUU Inisiatif. Tetapi kemudian RUU ini diganjal kembali oleh pimpinan DPR, khususnya Ketua DPR yang mengatakan bahwa perlu kajian kembali. Ini bentuk pengganjalan secara halus,” imbuh Lita, di Konferensi Pers Menagih Janji Prabowo untuk RUU PPRT (29/10).
Kenyataannya, ujar Lita, kajian sudah dilakukan selama 21 tahun, dengan melalui banyak Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Di tahun 2023 pun RUU PPRT sudah menjadi RUU inisiatif. Namun, sampai rezim berganti, RUU PPRT tak kunjung disahkan.
“Ini pertanyaan politis, ada apa sebenarnya sikap DPR terhadap RUU PRT? Jadi kita mempertanyakan kenapa sudah mau pleno untuk disahkan sebagai RUU inisiatif tanggal 15 September, kemudian dalam rapat Bamus (Badan Musyawarah) dikatakan bahwa perlu kajian kembali?” ucap Lita.
Baca juga: Kupas Tuntas RUU PPRT: Siapa Untung, Masalah Upah, hingga Langkah Selanjutnya
Bola Sudah di DPR, ‘Political Will’ Jadi Hambatan
Terhitung sudah enam bulan sejak Prabowo memberikan janji, RUU PPRT masih mandek di DPR. Dila dari Kalyanamitra menyebut penundaan yang berlarut-larut ini bukan sekedar keterlambatan birokrasi semata.
“Tetapi sebenarnya juga menunjukkan lemahnya political will dari penyelenggara negara dan bentuk pengabaian sistematis terhadap jutaan pekerja rumah tangga yang menjadi tulang punggung ekonomi perawatan nasional,” terang Dila.
Lemahnya political will semakin terlihat ketika DPR meloloskan RUU BUMN secepat kilat, alih-alih memprioritaskan RUU PPRT yang sudah tertahan 21 tahun. “Kita bisa menyaksikan bagaimana sebetulnya pemihakan dari DPR itu sangat lemah di tengah kita berjuang 21 tahun, ternyata mereka memproses undang-undang BUMN secepat kilat,” ujar Eva Sundari, Direktur Eksekutif Institut Sarinah.
Menurut Eva, ini menjadi cerminan kepentingan kekuasaan selalu diutamakan di atas kepentingan rakyat. “Harusnya ketika dia (RUU PPRT) ini inisiatif, DPR seharusnya berjuang habis-habisan untuk memenangkan agenda atau inisiatif dari DPR. Ini enggak, yang dimenangkan adalah agenda-agenda pemerintah terus.”
Padahal, tarik ulur pengesahan RUU PPRT membuat nasib jutaan pekerja rumah tangga terus digantung. Mengutip Kertas Kebijakan Komnas Perempuan 2024, berdasarkan data International Labour Organization (ILO) di tahun 2015, jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia mencapai 4,2 juta, dimana Dila menyebut 90 persen di antaranya adalah perempuan.
Anindya Nastiti Restuviani atau Vivi, aktivis Jakarta Feminist mengatakan rendahnya political will dikarenakan kultur patriarkis yang masih kental di Indonesia.
“Kita melihat bahwa kerja-kerja domestik dan juga kerja-kerja perawatan ini adalah kerja yang sering sekali dianggap sebagai naturalnya atau alamiahnya pekerjaan perempuan, karena ini dititikberatkan pada peran gender,” jelas Vivi.
Akibatnya, pekerjaan domestik menjadi tidak dihargai, dan berujung dengan subordinasi perempuan. Kondisi ini berkelindan dengan sistem kapitalis yang terus-menerus memiskinkan perempuan.
“Diperparah dengan sistem kapitalis yang akhirnya terus-menerus memiskinkan perempuan, karena seperti kita ketahui tidak adanya perlindungan upah yang dibayarkan, juga (upah) sering sekali tidak layak, bahkan tidak mendapatkan upah, atau bahasa lainnya adalah dijadikan budak, modern slavery kita bilangnya seperti itu,” papar Vivi.
Baca juga: Jalan Panjang Pekerja Rumah Tangga Cari Keadilan, Negara ke Mana?
Pengesahan RUU PPRT untuk Mengakui Kerja Perawatan
Mengesahkan RUU PPRT bukan hanya soal memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga, tetapi juga merupakan langkah penting menuju keadilan sosial dan pengakuan atas nilai kerja perawatan, tutur Syahar Banu, Koordinator Jaringan Pekerja untuk Negara Peduli Pengasuhan (JAGA PENGASUHAN).
Namun, hingga saat ini pekerja rumah tangga bekerja tanpa jaminan sosial. Padahal, Banu menyampaikan setidaknya ada tiga manfaat perlindungan sosial buat PRT. Pertama, secara ekonomi, perlindungan sosial bagi pekerja rumah tangga bisa menciptakan rantai kerja domestik yang lebih stabil dan profesional.
“Pekerja yang memiliki kepastian upah, jaminan kesehatan, dan akses perlindungan ketenagakerjaan, ia akan bekerja lebih tenang, produktif, dan loyal. … Hal ini berdampak langsung pada kualitas pengasuhan dan kesejahteraan keluarga pemberi kerja,” terang Banu.
Kedua, secara sosial, undang-undang ini akan memperbaiki stratifikasi kelas gender yang selama ini menempatkan kerja domestik—terutama yang dilakukan perempuan—sebagai pekerjaan yang dianggap tidak penting.
“Padahal kerja pengasuhan dan perawatan adalah fondasi kehidupan masyarakat. Pengakuan negara lewat jaring pengaman sosial berarti mengubah paradigma bahwa merawat, membersihkan, dan menjaga adalah kerja produktif yang sama berharganya dengan pekerjaan di sektor formal,” ucap Banu.
Terakhir, secara kelembagaan dan kebijakan, UU PPRT akan mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memperluas sistem jaminan sosial yang inklusif. “Ini juga akan memperkuat kapasitas negara dalam melindungi warganya yang paling rentan. Menurut saya ini adalah sebuah langkah nyata menuju sistem perlindungan sosial yang universal untuk seluruh warga demi keadilan sosial seluruh warga Indonesia.”
“Dengan kata lain, Undang-Undang PPRT ini bukan hanya soal perlindungan terhadap satu profesi saja, tetapi tentang transformasi struktural menuju negara yang benar-benar peduli pada keadilan, perawatan, dan kesejahteraan manusia,” tambah Banu.
Vivi menambahkan, pengesahan RUU PPRT dapat menjadi momentum pengakuan kerja domestik dan perawatan secara sah oleh negara.
“Pengesahan RUU PPRT ini akan menjadi momentum yang sangat besar untuk teman-teman perempuan. Ini menjadi momentum yang penting bahwa negara ini akhirnya mengakui bahwa kerja domestik dan juga kerja-kerja perawatan ini adalah kerja-kerja yang pantas untuk dihargai,” imbuh Vivi.
Baca juga: Cerita Mereka yang Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga
Yang Bisa Dilakukan Pemberi Kerja sebelum RUU PPRT Disahkan
Banu menekankan bahwa perubahan tidak harus menunggu pengesahan undang-undang. Ada langkah konkret yang bisa dilakukan pemberi kerja untuk menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap pekerja rumah tangga dengan membiayai iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mereka.
“Saya juga menyerukan kepada para pemberi kerja, harga BPJS Ketenagakerjaan dalam satu bulan itu tidak lebih mahal daripada harga segelas kopi yang kita minum di kafe, kok,” ujar Banu.
Memberikan akses BPJS Ketenagakerjaan atau BPJS Kesehatan, kata Banu, adalah bentuk perlindungan dasar yang bisa dilakukan siapa pun di tingkat rumah tangga, bahkan sebelum negara mengesahkan RUU PPRT.
“Itu bisa meringankan sedikit, hanya sedikit dari beban pekerja rumah tangga kita,” jelas Banu.
Diketahui, saat ini pekerja informal juga berhak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan, antara lain bisa merasakan manfaat dari program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Berdasarkan laman BPJS Ketenagakerjaan, iuran terendah sebesar Rp36.800.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















