Menegakkan Kesetaraan Gender lewat Pemahaman Islam Secara Kontekstual
Sebagian besar umat memahami Islam tanpa berpikir secara kritis dan rasional.
Kita sering kali mendengar ceramah-ceramah agama yang sangat menyudutkan perempuan, mulai dari urusan pakaian sampai persoalan rumah tangga yang semuanya dibebankan kepada perempuan. Islam seakan-akan merupakan agama yang tidak ramah terhadap perempuan, padahal sebenarnya ajaran Islam berdasar pada nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan, menurut cendekiawan Islam Siti Musdah Mulia.
Musdah, yang juga Sekretaris Jenderal sekaligus Ketua Lembaga Kajian Agama dan Gender pada Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), mengatakan bahwa Islam menginspirasi konsep kesetaraan gender antar sesama umat manusia melalui ajaran tauhidnya.
“Yang diajarkan dalam tauhid, bahwa hanya ada satu Allah, berarti yang lain itu adalah makhluk. Berarti kita semua sama. Pemahaman yang benar terhadap Allah, mau enggak mau membawa kita pada prinsip persamaan, bahwa kita semua adalah makhluk Allah, kita itu sederajat,” ujar Musdah dalam sebuah diskusi Minggu (16/9) di kantor ICRP, Jakarta.
Diskusi berjudul “Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Islam” itu merupakan kelanjutan dari paket perjalanan menjelajah Cirebon bersama tim Xpedisi Feminis. Dari perjalanan di Cirebon selama dua hari satu malam, para peserta banyak mendapatkan perspektif baru mengenai Islam dan feminisme dan mereka semakin ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana konsep kesetaraan gender dalam Islam. Untuk itu maka diskusi lanjutan di Jakarta diselenggarakan lagi bersama Musdah. Ia menjawab berbagai pertanyaan seputar Islam dan feminisme, salah satu contohnya pertanyaan mengapa ayat-ayat suci dan pemahaman tentang Islam seperti menyudutkan pihak perempuan.
Menurut Musdah, hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, bahasa yang digunakan oleh Alquran adalah bahasa Arab yang pada dasarnya memang seksis. Kedua, faktor sosiokultural dan sosiopolitik masyarakat Arab pada masa tersebut. Pada saat alquran diturunkan, budaya yang berkembang dalam masyarakatnya merupakan budaya yang kental dengan feodalisme dan juga patriarkal, ujar Musdah.
“Maka dari itu, dalam memahami ayat-ayat suci, saya selalu mengatakan pentingnya konteks dalam membaca sebuah ayat,” katanya.
Langkah-langkah untuk mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam teks-teks hadis juga Alquran tidaklah mudah. Menurut Musdah, ada beberapa hal yang membuat teks-teks tersebut memiliki interpretasi yang sangat menyudutkan perempuan.
Pertama, sebagian besar umat memahami Islam tanpa berpikir secara kritis dan rasional. Kedua, secara umum masyarakat hanya mendengarkan dan memperoleh pengetahuan tentang Islam hanya dari ulama-ulama yang sebagian besar bias gender. Ketiga, pemahaman dan penafsiran teks-teks yang membahas tentang relasi laki-laki dan perempuan hanya terbatas pemahaman secara tekstual dan melupakan konteks ketika teks suci tersebut disampaikan.
“Kita bisa mendebat bagaimana terjemahan ayat-ayat tersebut. Itu interpretasi yang dibuat oleh manusia. Kalau terjemahan atau tafsiran tersebut tidak sesuai dengan akal sehat dan prinsip kemanusiaan, saya mendebat tafsir tersebut. Hal ini ‘kan bukan berarti saya menentang agamanya,” ujar Musdah, ahli fikih atau yurisprudensi Islam yang telah banyak menulis buku mengenai kajian Islam yang berfokus pada relasi gender dan kesetaraan gender dalam Islam.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk upaya reinterpretasi teks Alquran dan juga hadis, kata Musdah.
“Kita harus mau mempromosikan, dan mendorong penafsiran ramah gender. Kedua, kita harus memahami konteks ayat tersebut turun apalagi dalam hal menafsirkan hadis. Dalam menafsirkan hadis, kita harus tahu siapa audiens Nabi Muhammad pada saat hadis itu diucapkan olehnya. Nabi itu menjawab pertanyaan dari umatnya sesuai dengan kondisi orang yang bertanya, dari kondisi psikologis orang yang bertanya,” tutur Musdah.
Ia menambahkan bahwa kita harus mulai memahami Alquran secara keseluruhan, dan jangan sekali-kali mengambil kesimpulan terhadap satu isu hanya berlandaskan pada satu atau dua ayat.
“Seorang ulama perempuan dari Mesir bernama Aisyah Binti Abdu Al Rahman, yang menulis banyak kitab dengan nama pena Bint Al Shati, mengatakan kalau ingin membaca satu isu dalam Alquran kamu harus kumpulkan semua ayat yang tersebar di dalam Alquran, hal ini dilakukan agar kalian membaca seluruh isi Alquran,” ujarnya.
Musdah menyadari bahwa jalan untuk mencapai Islam yang ramah dan memihak pada kesetaraan masih sulit karena banyak orang yang terganggu karena pandangan-padangan tersebut.
“Menghilangkan dominasi itu enggak mudah loh. Kalau kita ingin menegakkan hak asasi manusia, kita harus rela mengurangi kenikmatan dari mengeksploitasi seseorang. Tidak mudah menghilangkan dominasi tersebut karena banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut,” ujarnya.
Praktik sunat perempuan masih marak di Indonesia akibat gabungan tradisi, konservatisme agama, dan komersialisasi layanan medis.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin