Politics & Society

Mengadili Naluri Keibuan dalam Kasus Pembunuhan Bayi

Seorang terdakwa kasus pembunuhan bayi dituduh menyalahi kodrat sebagai ibu, padahal masalahnya jauh lebih kompleks dari itu.

Avatar
  • November 9, 2017
  • 7 min read
  • 496 Views
Mengadili Naluri Keibuan dalam Kasus Pembunuhan Bayi

“Apakah masalah yang tadi itu bisa menjadi pemicu seorang ibu, yang tadinya seharusnya menyayang, tapi bisa berubah menjadi seorang yang sadis?”

Pertanyaan anggota majelis hakim itu terdengar jelas hingga ke bagian belakang ruang sidang, padahal Pengadilan Negeri Jakarta Utara sedang ramai-ramainya saat itu. Kasus mantan Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan beberapa hari libur nasional membuat banyak jadwal sidang tertunda dan bertumpuk Kamis itu. Para pengunjung yang terdiri dari para terdakwa, keluarga dan penasihat hukumnya, duduk berimpitan di atas kursi panjang, mencuri-curi kesempatan untuk mengobrol.

 

 

Sepanjang sidang itu, klien kami, “Desri”, memilih lebih banyak menunduk. Sikap ini terus diperlihatkan dalam lima sidang sebelumnya di mana ia dituduh membunuh bayinya.

Pertanyaan yang diajukan hakim tidak mudah dijawab. Saksi ahli, seorang dosen mata kuliah Perlindungan Anak dan Perempuan di Universitas Indonesia, mengaku setelah selesai sidang bahwa ia sempat kebingungan dengan pertanyaan itu.

Ia menjawab: “Ada tekanan-tekanan yang di luar dirinya yang sangat berat, yang kemudian berpengaruh (pada) tindakan dia untuk mengambil keputusan untuk menggugurkan, atau memelihara, atau merawat anaknya, atau kemudian membuang dan membunuh.”

“Memengaruhi?” tanya hakim.

“Iya.”

“Tapi bukan menghilangkan naluri keibuan?”

“Bukan, Ibu.”

Untuk melacak tekanan-tekanan yang menjadi dasar asumsi ahli mengenai perbuatan Desri, kita perlu mundur. Lama sebelum ia diperkarakan karena membunuh bayinya, Desri lahir dan tumbuh di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Melacak kembali keseharian Desri bukanlah urusan mudah karena ia tidak memiliki sahabat dekat, sesuatu yang tidak biasa pada orang berusia 28 tahun. Namun hal itulah yang terlihat.

Kepribadian Desri memang tertutup, seperti yang dinyatakan dalam pemeriksaan psikologis oleh Yayasan Pulih. Informasi mengenai hubungan asmara, misalnya, Desri tidak mengizinkan banyak orang untuk tahu. Waktu SMA, ia menjalin hubungan dengan adik kelasnya dan ia harus putus sekolah di kelas 3 SMA karena hamil.

Keluarga pacarnya menginginkan aborsi agar pacar Desri bisa tetap lancar bersekolah. Keluarganya sendiri memaksa pacar Desri “bertanggung jawab” dengan melangsungkan pernikahan. Jalan tengah diambil: mereka dikawinkan secara siri.

Anak mereka kemudian dimasukkan dalam Kartu Keluarga, dianggap adik Desri. Sementara Desri pontang-panting mencari kerja dan berhasil mendapatkannya dua bulan setelah persalinan, ibu Desri yang lebih banyak mengasuh anak pertamanya. Suami Desri tidak pernah memberikan nafkah untuknya dan untuk anak mereka, dan tak lama setelah pernikahan siri mereka, suaminya kawin lagi. Ia kini berada di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Pada 2010 atau ketika berusia 23 tahun, Desri menjalin hubungan dengan laki-laki bernama “Sugeng”. Kali ini perkawinan dilakukan secara resmi, Desri yang menentukan sendiri bahwa ia akan menikah, dan, setidaknya, suaminya memiliki penghasilan dari toko otomotif sepeda motor di dekat rumah Desri. Mereka mengontrak rumah yang tidak jauh dari rumah orang tuanya. Suami kedua seperti berjanji bahwa kehidupan akan membaik.

***

Suatu hari pada April 2011, Desri pulang ke rumah dan menemukan Sugeng sudah minggat. Beberapa hari sebelumnya, mereka bertengkar karena masalah ekonomi. Sugeng memiliki flek pada paru-parunya dan hal ini menyebabkan ia uring-uringan. Ia sudah pergi ke dokter tapi membuang obatnya dan memilih jamu sebagai gantinya. Desri memarahinya. Anak Desri yang kedua sudah lahir enam bulan sebelumnya dan mereka butuh uang.

Tak lama, ipar Desri membawa kabar bahwa Sugeng ingin bertemu ia dan anak mereka. Namun Desri juga sedang sakit parah saat itu. Ipar yang sama datang lagi untuk kali kedua beberapa hari kemudian, membawa berita bahwa Sugeng sudah meninggal dunia. Mendengar kabar itu, kondisi tubuh Desri memburuk dan ia dilarikan ke Rumah Sakit Koja. Dokter yang memeriksa Desri memberikan diagnosis bahwa ia terinfeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Desri meyakini bahwa suaminya juga terinfeksi virus yang sama. Gejala-gejala sakit yang terus menimpa suaminya mirip dengan gejala virus HIV yang tidak tertangani.  Bagaimana Sugeng tertular tidak diketahui secara jelas, tetapi semasa hidupnya ia sempat menginjeksikan narkotika ke tubuhnya dan sering membuat tato dengan jarum yang tidak steril. Desri percaya bahwa ia tertular dari suaminya.

Setelah kematian Sugeng, Desri kembali ke rumah orang tuanya. Di rumah berukuran tidak lebih dari lima kali tiga meter itu, kembalinya Desri membuat total penghuni rumah menjadi delapan orang.

Desri kemudian mencari pekerjaan dan keluar masuk beberapa tempat kerja, seperti toko sandal dan toko kaset. Pada 2013, ibu Desri meninggal dunia. Desri memutuskan untuk berhenti bekerja untuk mengasuh anaknya yang masih berumur tiga tahun. Untuk kebutuhan sehari-hari, ayahnya yang bekerja serabutanlah yang menanggung, ditambah sumbangan dari beberapa tetangga.

Dalam kondisi ekonomi yang demikian, pada 2015, Desri bertemu dengan “Steve”, laki-laki beristri yang umurnya dua kali lipat dari dirinya. Steve membantu kebutuhan finansialnya dan suka memberikan uang kepada Desri, meskipun jumlahnya semakin berkurang sejak mereka berdua berhubungan intim di hotel.

Pada Februari 2016, Desri memberitahu Steve bahwa ia hamil. Steve memarahi Desri karena bisa sampai hamil, padahal ia sendiri yang tidak ingin menggunakan kondom. Ia kemudian memberi uang Rp 500.000 untuk menggugurkan kandungan. Sejak saat itu, Steve tidak bisa ditemui lagi.

***

Ketika berkasnya sampai di pengadilan, peristiwa pembunuhan bayi itu sudah terang. Desri mengakui ia memang melahirkan anaknya tanpa bantuan siapa pun kemudian membekapnya agar tangisannya tidak menyebar di malam yang sunyi. Setelah melihat bayinya sudah tidak bernyawa, ia membuang bayi itu ke sungai. Saksi-saksi sudah membuktikan bagaimana selama beberapa bulan Desri berusaha menutup-nutupi perutnya dengan pakaian longgar. Ahli forensik telah menemukan kesamaan DNA antara bayi yang ditemukan mengambang di sungai dengan Desri.

Ketika mendiskusikan rencana pembelaan, pengacara Desri selalu berkata, “Kecil harapan memenangkan argumen dari sisi hukum, kita harus incar sisi sosialnya.”

Namun dengan segala kompleksitasnya pengalaman hidupnya, tidak mudah untuk mengubah posisi Desri dari pelaku kejahatan menjadi korban. Meskipun majelis hakim dan jaksa penuntut umum menunjukkan belas kasihan pada kondisi Desri sebagai orang dengan HIV-AIDS (ODHA), ia tetap dianggap bersalah.

Lebih mengenaskan lagi: bersalah karena menyalahi kodrat perempuan untuk menjadi ibu.

Arah pertanyaan yang diberikan oleh anggota majelis hakim telah menunjukkan sangkaan berbasiskan “kodrat” ini. Ia beranggapan bahwa naluri ibu dan perempuan terhadap janinnya adalah melindungi, mengasuh, dan menyayangi. Tindakan membunuh adalah sesuatu yang begitu bertolak belakang sehingga perempuan yang melakukannya seolah-olah tidak layak dikategorikan ibu.

Namun kita bisa menggunakan perspektif lain. Kita bisa bertanya hal yang selama ini mungkin tidak pernah diajukan secara sungguh-sungguh kepada Desri: apakah ia pernah dipersiapkan dan didukung untuk menjadi ibu.

Apakah ia pernah mendapatkan pendidikan seksual yang memadai sehingga ia bisa menghindari dirinya dari kehamilan tidak diinginkan? Apakah ia siap untuk menghadapi kehamilan ketika berusia 18 tahun? Ketika ia dipaksa melakukan aborsi, dipaksa kawin, lalu akhirnya dinikahkan secara siri, apakah pernah ada yang bertanya apa pilihannya? Apakah kondisinya yang putus sekolah membantu dia mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi dua orang anak? Apakah ia mendapatkan kesetaraan dalam hubungan pacaran dan pernikahannya? Apakah ia bebas dari stigma dan diskriminasi sebagai perempuan yang hamil di luar nikah, janda, dan ODHA?

Jika jawaban dari semua pertanyaan itu ‘ya’, Desri mungkin menjadi ibu yang lebih siap, dan barangkali ia tidak akan melakukan pembunuhan itu.

Ketika diinterogasi oleh hakim dalam sidang pemeriksaannya, terlihat bagaimana Desri bergulat dalam sebuah dilema tentang statusnya. Ia menyesali perbuatan membunuh bayinya, tetapi ia takut. Tanpa perencanaan kehamilan yang matang, janin di dalam rahimnya mungkin terinfeksi HIV. Tanpa pekerjaan yang jelas, tiga anaknya kelak mungkin tidak hidup layak.

Dalam sidang pledoinya, Desri membacakan surat kepada Majelis Hakim dengan suara serak dan susah payah. Ia teringat akan dua anaknya ketika berkata, “Mereka masih membutuhkan saya sebagai ibu dan ayah. Mereka masih butuh pengawasan, perhatian, pendidikan, kasih sayang, dan cinta dari saya.”

Pada 19 Juni 2017, Desri divonis tiga tahun penjara atas tindak pidana yang dilakukannya. Jika dipotong dengan masa tahanan dan kemungkinan menjalani pembebasan bersyarat, Desri masih harus bertahan di penjara selama enam belas bulan lagi. Anaknya yang pertama sudah akan lulus sekolah dasar, sedangkan anaknya yang kedua sudah mulai masuk sekolah dasar.

Desi tidak memiliki rencana apa pun setelah bebas. Ia hanya ingin pulang ke rumahnya dan bertemu anak-anaknya. Pada saat itulah, ia akan kembali menjadi ibu. Tidak hakim, pengadilan, ataupun penjara yang bisa mengambil predikat itu dari Desri – pekerjaan yang telah diterimanya selama lebih dari setengah masa hidupnya.

Albert Wirya adalah peneliti di Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat). Sedang merintis karir menjadi seorang pembaca serius, sesekali menulis cerita di kanal pribadinya pelurukosong.wordpress.com



#waveforequality


Avatar
About Author

Albert Wirya