Bill ‘The Last of Us’: ‘Trope Survivalist’ yang Hidup untuk Kemungkinan Terburuk
Episode 3 ‘The Last of Us’ memperlihatkan karakter Bill yang adalah survivalist, orang yang selalu siaga kalau-kalau kiamat datang.
Di Indonesia, tempat tinggal muslim paling banyak di Bumi, kata kiamat mungkin hal yang sering kita dengar. Konsep bahwa Bumi, suatu saat nanti, akan menemui akhirnya bukanlah sesuatu yang asing. Banyak yang percaya kalau kiamat tiba, Bumi akan hancur, bencana alam seperti longsor dan tsunami mungkin jadi penyebabnya. Umat manusia binasa bersamanya.
Di banyak film, situasi itu coba digambarkan. Tapi, sering diikuti dengan premis: bagaimana hidup manusia yang tersisa jika mereka selamat dari kiamat—apokaliptik?
Genre ini biasanya memperlihatkan manusia kebingungan memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan, air bersih, dan tempat tinggal. Negara, institusi yang biasanya bertanggung jawab menyediakan semua kebutuhan itu, juga ikut kacau dan kewalahan. Situasi itu juga jadi tema besar di serial The Last of Us, garapan HBO, yang belakangan menarik perhatian penonton global.
Sebagaimana film genre apokaliptik lainnya, di serial ini kita juga melihat trope survivalist—mereka yang percaya kalau kiamat akan datang lalu mempersiapkan diri demi kedatangan hari itu—hadir. Kali ini namanya Bill (Nick Offerman), dari episode 3.
Selama hidup, Bill mempersiapkan diri untuk momen terburuk saat dunia dan masyarakat tak bisa berfungsi lagi karena tragedi atau bencana besar. Ia membuat bunker lengkap dengan CCTV, monitor, dan senjata. Tak lupa membekali diri dengan persediaan makanan yang cukup agar tak kelaparan, walau harus bertahan seorang diri tanpa bantuan orang lain.
Persiapan menuju kiamat dunia yang dilakukan Bill memang berbuah manis. Saat dunia hancur oleh jamur pengontrol pikiran, Cordyceps, Bill tak hanya terbebas dari infeksi. Ia juga terbebas dari jeratan FEDRA (Federal Disaster Response Agency) yang kemungkinan besar akan mengeksekusinya.
Jika kamu menganggap cara Bill hidup tak masuk akal dan hanya bisa terjadi di dunia fiksi, kamu salah besar. Sosok seperti Bill atau orang yang hidup selalu siaga karena ketakutan kiamat akan datang, memang nyata.
Baca Juga: Review Episode 3 ‘The Last of Us’: Yang Bikin Satu Bumi Nangis Berjemaah
Asal Usul Survivalisme
Teknologi yang semakin canggih dengan segala modernitas yang ada menciptakan banyak peluang baru bagi umat manusia. Richard G. Mitchell Jr. profesor sosiologi dari Universitas Negeri Oregon yang menuliskan buku Dancing at Armageddon: Survivalism and Chaos in Modern Times mengatakan kini kita bisa mendapatkan banyak kemudahan dengan lebih banyak hal yang bisa kita miliki dan konsumsi. Begitu pula dengan lebih banyak cara untuk berkomunikasi.
Namun, dengan segala kemudahan, dunia modern juga menciptakan kondisi ketidakpastian. Hal yang sebenarnya lahir karena “ketamakan” manusia untuk bisa melampaui dirinya sendiri di masa lalu. Hal begini justru membuat kehidupan manusia ada di ambang batas. Bumi yang terus dikeruk sampai habis menciptakan krisis iklim. Perang yang dicetuskan untuk memenuhi ego kuasa manusia. Hingga inovasi bidang sains teknologi yang entah bisa berakibat fatal ke depannya.
Para survivalist mengerti kondisi ketidakpastian ini. Mereka percaya akan ada kondisi saat kemanusiaan gagal bertahan. Dr Susannah Crockford, sosiolog dari Universitas Exeter mengatakan kegagalan ini dalam imajinasi sebagian besar survivalist disebabkan karena bencana ekologi, keruntuhan ekonomi, perang saudara, dan serangan nuklir. Dengan kepercayaan ini, para survivalist memfokuskan hidupnya untuk mempersiapkan diri bertahan hidup dengan resistensi dan pemulihan sebagai dua bagian sentralnya.
Mereka menimbun sumber daya, merencanakan rute pelarian, dan membeli properti terpencil untuk ‘mengungsi’. Beberapa survivalist telah hidup dengan pindah ke lokasi terpencil dan mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat luar. Tetapi ada juga yang melanjutkan gaya hidup mainstream, namun berinvestasi dalam berbagai tingkat persiapan untuk menghadapi ‘kiamat’ di masa depan.
Menariknya dalam tulisan Crockford yang dimuat dalam The Centre for the Critical Study of Apocalyptic and Millenarian Movements (CenSAMM), survivalisme atau gerakan sosial tentang cara bertahan hidup ini paling umum terjadi di Amerika Serikat dan merupakan gerakan yang bisa dikatakan cukup baru. Hal ini tak lain karena menurut sosiolog Philip Lamy survivalisme muncul berkaitan erat dengan kehancuran Perang Dunia II dan munculnya era nuklir.
Perang Dingin dan konflik militer di Korea dan Vietnam menciptakan teror bagi masyarakat di Amerika Serikat. Teror yang salah satunya diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat pada era Perang Dingin saat meluncurkan program pertahanan sipil. Program yang mempromosikan tempat perlindungan bom atom untuk umum, tempat perlindungan kejatuhan bom atom pribadi, dan pelatihan untuk anak-anak seperti pemutaran wajib film propaganda pertahanan sipil Duck and Cover (1952).
Inilah yang kemudian mendorong minat masyarakat Amerika Serikat terhadap kesiapsiagaan bencana. Strategi bertahan hidup yang sederhana dengan bersembunyi dan memanfaatkan sumber daya seadanya dari lingkungan rumah hingga strategi yang lebih kompleks, yaitu membangun bunker nuklir mulai dilirik dan semakin melonjak semasa resesi ekonomi sampai pada 1975, Kurt Saxon, mulai mengenalkan istilah survivalisme. Istilah yang dikenalkan lewat buletin bulanan ciptaannya The Survivor, yang menggabungkan editorial Saxon dengan cetakan ulang tulisan-tulisan abad ke-19 dan awal abad ke-20 tentang berbagai keterampilan bertahan hidup dan teknologi lama.
Barulah sejak tahun 1980-an, survivalisme kemudian berkembang menjadi industri bernilai miliaran dollar. Publikasi khusus seperti majalah Soldier of Fortune dan situs web pun dirilis. Pameran peralatan bertahan hidup mulai diadakan bagi mereka yang tertarik untuk mengumpulkan sumber. Semua berkat trauma dan teror masa lalu yang masyarakat Amerika Serikat alami yang sayangnya kembali muncul serangan 11 September 2001 dan pengeboman di Bali, Madrid, dan London.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, gerakan ini tak hanya ada di Amerika Serikat. Tetapi meluas hingga Eropa terutama di masa pandemi saat ketidakpastian jadi teman setia sehari-hari manusia. Di Spanyol misalnya dilansir dari Euro News, pandemi berperan kuat dalam peningkatan minat sebagian masyarakat Spanyol untuk mulai mengambil kursus bertahan hidup.
“Orang-orang mulai berpikir bahwa hidup dari hari ke hari adalah hal yang kontraproduktif,” kata Instruktur di ‘Sekolah Bertahan Hidup Spanyol’, Juan Lopez. “Jika kita memiliki pengetahuan dan dapat menyesuaikan peralatan kita untuk bertahan hidup selama beberapa hari, maka pada puncak pandemi ini, atau pada situasi darurat, kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri.”
Gerakan Elitis yang Bias Kelas
Semua orang pasti ingin hidup dalam kepastian. Tetap aman dan nyaman bertahun-tahun dengan persediaan makanan, air bersih, obat-obatan, hingga tempat tinggal layak bahkan di tengah kekacauan dunia. Keinginan ini mendorong para survivalist untuk hidup dengan caranya sendiri. Namun sayang, cara hidup mereka ini bukan untuk semua orang. Hanya orang-orang yang memiliki privelese baik secara akses pengetahuan dan finansial yang bisa menjalaninya.
Ini misalnya terbukti dalam laporan mandalam New Yorker yang menemukan bagaimana gerakan survivalisme justru sangat diminati oleh para orang-orang kaya atau para elit. Mereka salah satunya adalah orang-orang yang memiliki jabatan manajerial hingga CEO di Silicon Valley. Dengan akses pengetahuan yang mereka miliki terkait teknologi yang secara harfiah menggerakan dunia modern kita, mereka memiliki privelese khusus untuk mengidentifikasi faktor resiko. Hal yang bahkan tak terpikirkan oleh masyarakat pada umumnya apalagi masyarakat kelas bawah yang untuk makan sehari-hari saja masih harus berjuang sekuat tenaga.
Misal CEO dari perusahaan teknologi besar yang diwawancarai New Yorker mengatakan bagaimana ia mengkhawatirkan kerentanan masyarakat modern terhadap serangan siber. Hal yang terlihat pada serangan siber Rusia terhadap Komite Nasional Demokratik dan peretasan berskala besar pada 21 Oktober yang mengganggu Internet di Amerika Utara dan Eropa Barat.
“Pasokan makanan kita bergantung pada G.P.S., logistik, dan prakiraan cuaca dan sistem-sistem tersebut umumnya bergantung pada Internet, dan Internet bergantung pada D.N.S. (sistem yang mengelola nama-nama domain). Dengan menyadari ini maka anda jadi bertanya, ‘Apa kemungkinan yang akan terjadi dalam dekade berikutnya?” ujarnya.
Akses pengetahuan yang tak dimiliki oleh semua lapisan masyarakat inilah yang kemudian juga diperkuat oleh privelese finansial yang dimiliki para elit Silicon Valley. Dalam grup Facebook pribadi, para survivalist kaya ray aini misalnya saling bertukar tips mengenai masker gas, bunker, menyetok makanan, dan lokasi yang aman dari dampak perubahan iklim.
Salah satu anggota, kepala perusahaan investasi, mengatakan bahkan mengatakan ia memiliki helicopter, bunker bawah tanah dengan sistem penyaringan udara. Dia mengatakan bahwa persiapannya mungkin menempatkannya pada posisi yang “ekstrem” di antara rekan-rekannya. Namun ia menambahkan, “Banyak teman saya yang membawa senjata, sepeda motor, dan koin emas. Itu sudah tidak terlalu langka lagi di antara kami,” jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Tim Chang, direktur pelaksana berusia empat puluh empat tahun di Mayfield Fund, perusahaan modal ventura. Ia mengatakan pada New Yorker bahwa ada banyak survivalist di Silicon Valley. Mereka biasanya bertemu dan mengadakan makan malam yang secara khusus membahas tentang peretasan keuangan dan rencana cadangan.
Ini mulai dari cara menimbun Bitcoin dan mata uang kripto, mencari cara untuk mendapatkan paspor kedua jika mereka membutuhkannya, hingga memiliki rumah aman di negara lain yang bisa menjadi tempat pelarian. Untuk rumah aman, New Zealand kini menjadi tempat perlindungan yang disukai para elit.
Reid Hoffman, salah satu pendiri LinkedIn dan investor terkemuka, ingat pernah mengatakan kepada seorang temannya tentang rencana pergi ke Selandia Baru tapi ia justru mendapatkan komentar cukup mengagetkan.
“Oh, apakah kamu akan membeli asuransi kiamat?” tanya temannya. Ternyata temannya ini mengira Hoffman ingin membeli silo (ruang bawah tanah) sebagai tempat pelarian jika kiamat dunia terjadi. Hal yang menariknya banyak dilakukan oleh 13.401 orang kaya Amerika. Mereka mendaftar ke otoritas imigrasi Selandia Baru untuk mendapatkan izin tinggal sebagai akibat terpilihnya Donald Trump pada 2016, dikenal dengan “Kiamat Trump”.
Pada akhirnya, kendati survivalisme tercipta karena beban trauma masa lalu dan teror akan ketidakpastian di masa depan, gerakan ini hanya bisa dilakukan oleh setidaknya orang-orang kelas menengah ke atas. Mereka adalah orang yang punya akses pengetahuan dan finansial yang memadai untuk mendanai segala keperluan bertahan hidup selama bertahun-tahun di masa depan. Sedangkan bagi kelompok masyarakat pada umumnya, gerakan ini nampaknya belum jadi concern utama. Tinggal di dunia penuh konflik dan ancaman krisis iklim untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari di masa sekarang bahkan sudah jadi kemewahan tersendiri.