Lifestyle

Pengalaman Nonton Konser Dewa 19 di JIS: Penampilan Magis dan Jalan Pulang yang Sesak

Setelah menanti sejak umur tujuh, akhirnya saya nonton reuni Dewa 19. Sayangnya, akses JIS yang jelek juga jadi warna penampilan magis mereka.

Avatar
  • February 9, 2023
  • 13 min read
  • 1220 Views
Pengalaman Nonton Konser Dewa 19 di JIS: Penampilan Magis dan Jalan Pulang yang Sesak

Selagi hidup, isi bucket list yang ingin saya capai beragam. Salah satunya menonton penampilan Dewa 19, dengan formasi Once Mekel sebagai vokalis dan Tyo Nugros yang menabuh drum. Karenanya, begitu mereka mengumumkan akan menggelar “Pesta Rakyat 30 Tahun Berkarya” di Jakarta International Stadium (JIS), saya enggak berpikir panjang untuk beli tiket.

Baca Juga: Waspada Euforia Keramaian: 7 Tips Tonton Konser, ‘Meet and Greet’ dengan Aman

 

 

Penjualan tiket September lalu sempat bikin putus asa karena saya gagal dapat. Beruntung, seorang teman berhasil dapat tiket kategori gold selatan untuk kami. Namun, hasrat menonton itu harus dipendam selama lima bulan, karena jadwal konser ini sempat diundur. Salah satunya, takut mengulangi tragedi kerumunan yang ramai terjadi sepanjang 2022.

Ketika waktu yang dinantikan tiba, saya enggak bisa menyembunyikan excitement. Konser itu jadi impian saya sejak berusia tujuh.

Saya tumbuh bersama Dewa 19 di tahun aktif Once dan Tyo—dari album Bintang Lima sampai Kerajaan Cinta. Awalnya diperkenalkan bapak, ketika saya berusia lima tahun. Ia senang memutar kaset Dewa 19 di tape mobil, membuat saya jatuh cinta dengan musiknya, dan senang menyanyikan “Mistikus Cinta”.

Sejak saat itu, Dewa 19 bukan sekadar grup band legendaris. Lagu-lagunya juga bukan hanya mahakarya, yang diciptakan Ahmad Dhani dan Andra Ramadhan. Merekalah yang memberikan pengalaman fangirling pertama dalam hidup saya, sekaligus membentuk emotional bond antara saya dan bapak.

Sesekali bapak mengajak ke toko kaset. Di sana kami mendengarkan album terbaru Dewa 19 menggunakan headphone, sebelum membawanya ke meja kasir. Kemudian, kami kembali mendengarkannya di perjalanan pulang, maupun setiap bepergian, tanpa mengenal rasa bosan—setidaknya bagi saya.

Memori tersebut meluap di kepala, setiap kali saya mendengarkan lagu-lagu Dewa 19. Lalu mempertanyakan kapan bisa menghadiri konsernya. Sampai keinginan itu berhasil direalisasikan pada Sabtu, (4/2) lalu.

Penampilan Magis, tapi Kurang Memuaskan

Malam itu, Dewa 19 membuka penampilan dengan membawakan lagu “Angin”, salah satu hits dari album Cintailah Cinta. Seisi stadion menyambut dengan riuh, usai harus menanti satu jam lebih lama akibat ngaret.

Sayangnya, saya yang menonton di kategori gold selatanlantai dua tribun JIS bagian tengah–tidak dapat mendengar suara Virzha dan Marcello Tahitoe (Ello) dengan jelas. Kualitas suara di stadion tidak begitu bagus, dan kalah dengan euforia penonton yang sing along. Begitu juga saat Virzha dan Ello menyampaikan kata sambutan.

Pengalaman serupa dialami penonton di kategori silver–lantai tiga tribun JIS. Bahkan, mereka tidak bisa mendengar lagu-lagu yang dinyanyikan Ello dan Virzha. Hal itu disampaikan Gagas, penonton di kategori silver yang berdomisili di Bekasi.

“Pas Virzha dan Ello nyanyi di awal tuh enggak kedengeran, bergema banget. Beberapa penonton di tribunku bahkan sempat teriak (protes) gara-gara itu,” katanya pada Magdalene.

Gagas menuturkan, kualitas suara baru membaik saat Ari Lasso tampil–yang sudah memasuki babak terakhir dari konser tersebut. “Jadinya part paling disuka sih Ari Lasso, karena kedengeran. Sisanya nikmatin karena kedengeran aja dari penonton lain,” ucap Gagas.

Saya miris, mendengar cerita Gagas yang seharusnya menyenangkan. Kelihatan bagaimana promotor, Redline Kreasindo, dan jajaran panitia belum mempersiapkan teknis dengan baik. Mengingat acara itu berbayar, terlepas dari beragamnya harga tiket yang dijual. Jadi, seharusnya semua penonton bisa menikmati acara. Minimal mendengar penyanyi dengan jelas.

Namun, saya berusaha enggak begitu menghiraukan dan tetap menikmati suasana. Tak lain tak bukan karena telah menantikan kesempatan itu seumur hidup. Untungnya, lama-lama suara Virzha dan Ello terdengar semakin jelas.

Meskipun jauh dari panggung, rasanya tempat duduk saya adalah posisi terbaik malam itu. Menyapu pandangan ke seisi stadion, saya takjub dengan antusiasme penonton. Seluruh bangku hampir terisi penuh. Area festival pun membludak. Semua orang yang hadir ingin menyaksikan penampilan yang sama, grup band legendaris asal Surabaya dengan lagu-lagu populernya.

Suasana magis begitu terasa, ketika Virzha menyanyikan “Selimut Hati”. Seketika stadion bermandikan cahaya terang, yang berasal dari flashlight ponsel penonton. Sekujur tubuh saya merinding menyaksikan momen tersebut. Lagu yang biasanya didengarkan dan dinyanyikan sendiri, kali itu dilakukan bersama puluhan ribu orang lain. Walaupun rasanya akan semakin magis, jika Once yang menyanyikannya.

Enggak lama dari momen yang bikin takjub, beberapa penonton yang lalu-lalang di area gold selatan menyita perhatian saya. Tampaknya mereka tidak kebagian tempat duduk, hingga terpaksa berdiri di tangga maupun lorong.

Ternyata, dugaan saya benar. Lewat sambungan telepon, Alitt Susanto, digital creator yang juga menonton konser Dewa 19 di JIS, mengungkapkan kisahnya. Ia sempat kelimpungan, saat memasuki venue dan tempat duduknya sudah ditempati orang lain. Padahal, area tribun menggunakan sistem tempat duduk bernomor.

Baca Juga: Belajar dari Tragedi Itaewon: Yang Harus Dilakukan Saat Terjebak Kerumunan

“Kami (Alitt dan teman-temannya) tanya ke panitia untuk nomor ini row yang mana, seat yang mana. Pas ditunjukin udah full orang,” terang Alitt. “Terus kami keluar, tanya panitia lain, katanya sistemnya memang double print dan banyak yang komplain. Tapi mereka enggak tahu kenapa begitu, karena kerja sama dengan pihak lain. Jadi enggak ada solusi.”

Sebenarnya, tribun di JIS memiliki nomor baris dan bangku yang sama, di ketiga sisi sayapnya. Saya sendiri mendapatkan bangku nomor tiga di baris ke-47. Lalu menuju sayap kanan, dan menemukan tempat duduk telah ditempati orang lain. Akhirnya pun mendapatkan tempat duduk di bagian tengah.

Sayangnya, semua bagian kursi Alitt sudah penuh. Bagaimana pun caranya, ia meminta solusi untuk mendapatkan haknya supaya bisa menonton, karena kondisi di tribun tidak memungkinkan. Alitt disarankan bertanya ke petugas di lantai bawah, tapi tak ada satu pun panitia yang dapat mencari jalan keluar.

“Aku menyayangkan, panitia enggak briefing gimana menghadapi situasi ini,” terang Alitt. Ia dan teman-temannya hampir pasrah dan mau pulang, akibat dioper ke sana-sini.

Akhirnya, Alitt diselamatkan oleh panitia kenalan temannya. Sebagai kompensasi, mereka diberikan akses ke festival. “Aku menganggapnya blessing in disguise. Enggak dapat di atas, tapi dapat (di area) yang suaranya lebih clear,” tuturnya. Namun, Alitt baru masuk ke venue saat Once tampil.

Ngomong-ngomong soal Once, saya menyayangkan vokalis Dewa 19 favorit saya itu hanya menyanyikan kurang lebih enam lagu. Tidak termasuk lagu-lagu yang saya harap Once nyanyikan. Begitu pun Tyo yang tidak memainkan drum sebanyak Agung Yudha.

Tapi, jika menuliskan daftar ekspektasi dan kekurangan pesta rakyat malam itu, rasanya tak akan cukup. Termasuk beberapa lagu yang banyak penonton pun kecewa tidak dibawakan, seperti “Kamulah Satu-satunya” dan “Cukup Siti Nurbaya”.

Tampaknya itu akibat durasi, terdengar dari ucapan Ahmad Dhani di penghujung konser. Alhasil, Dewa 19 terpaksa memotong beberapa penampilan. Padahal, secara pribadi, saya menilai ada beberapa penampilan enggak perlu. Salah satunya Andre Taulany yang tiba-tiba hadir di atas panggung, menyanyikan “Mungkinkah”.

Setidaknya kekecewaan saya sedikit terbayar dengan penampilan Ari Lasso, menyanyikan “Cinta ‘kan Membawamu Kembali” tanpa cue apa pun. Dan “Separuh Nafas” oleh keempat vokalis, sambil berjalan ke bagian depan panggung.

Terlepas dari penampilan Dewa 19, sebenarnya kesiapan JIS dan promotor untuk menyelenggarakan konser lebih patut disorot. Selain tempat duduk bernomor, minimnya signage juga jadi perkara lain yang seharusnya dapat difasilitasi. Saya sendiri perlu berulang kali bertanya pada panitia, arah jalan menuju gold selatan karena minimnya petunjuk.

Hal ini disepakati Co-Founder Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) – Transport for Jakarta, Adriansyah Yasin Sulaeman. “Di dalam stadion yang paling lacking itu signage. Padahal petunjuk arah itu penting, harusnya ada signage lebih besar lagi. Soalnya bantuan visual itu sangat membantu,” papar Adrian, (6/2).

Adrian menambahkan, JIS perlu mempersiapkan crowd management yang lebih baik—berkaca pada konser Dewa 19 kemarin yang menurutnya nol. Termasuk aksesibilitas menuju JIS yang perlu ditingkatkan.

Akses  Menuju JIS (Masih) Jauh dari Sempurna dan Ramai Dikritik

Saya pergi bersama dua orang teman. Kami memarkirkan mobil di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, untuk menghindari kemacetan di sekitar JIS. “Toh penyelenggara acara menyediakan shuttle bus dari JIExpo,” pikir kami.

Namun, kami mendengar dari penonton lain, antrean shuttle bus sangat ramai. Jam menunjukkan pukul 17.45. Jalur di Google Maps pun menampilkan warna merah–mencerminkan kemacetan, dengan estimasi satu jam untuk tiba di JIS. Sementara berdasarkan rundown, Dewa 19 tampil pukul 18.30. Satu-satunya opsi yang memungkinkan adalah naik ojek online.

Meninggalkan kedua teman yang masih menunggu ojeknya, saya bergegas menuju JIS. Selama 45 menit, saya menerjang kemacetan dengan jarak kurang lebih lima kilometer. Sambil menyeka peluh akibat merasa cemas, jika melewatkan penampilan grup band favorit.

Pasalnya, mobil, motor, maupun shuttle bus “berbaris rapi” di jalanan. Tidak ada yang bisa bergerak, termasuk penonton yang memutuskan berjalan kaki. Warga yang bikin parkir liar dadakan semakin merampas trotoar, yang belum sepenuhnya jadi.

“Menurutku promotor kurang sosialisasi juga ke masyarakat, untuk nggak buka parkir liar di area itu. Jadinyajalanan makin sempit,” ujar Alitt.

Alitt sendiri mengikuti saran promotor untuk parkir di JIExpo Kemayoran. Dikarenakan antrean shuttle bus membludak, ia dan teman-temannya memutuskan naik taksi. Itu pun hanya sejauh tiga kilometer, lantaran kondisi jalanan yang mulai tidak bergerak.

“Saya dan teman-teman mutusin jalan kaki. Terus ketemu warga lokal nawarin nganter (naik motor) sampai JIS, katanya tahu jalan alternatif kecil, bayarnya Rp50 ribu. Eh beneran nggak sampai 10 menit udah sampai,” kata Alitt.

Ia tiba di JIS lebih dari pukul 17.00, lalu masuk ke stadion pukul 19.00. Menurut Alitt, saat itu sedang jam sibuk sehingga security check membutuhkan waktu cukup lama.

Pengalaman berbeda justru dirasakan Gagas. Sama seperti saya dan Alitt, Gagas memarkirkan mobilnya di JIExpo Kemayoran. Ia pun mengamini antrean shuttle bus yang mengular. Namun, petugas mengarahkan antrean dengan tertib dan jalanan enggak macet.

“Perjalanan nggak ada masalah. (Antreannya) terkoordinir dengan baik. Dari JIExpo ke JIS juga kurang lebih 20 menitan, cuma macet di Sunter,” tutur Gagas pada Magdalene. Ia sengaja berangkat lebih awal untuk menghindari macet. Alhasil, setibanya di JIS suasana masih lengang.

Melihat kepadatan lalu lintas di sekitar JIS saat penghelatan Pesta Rakyat Dewa 19, Adrian menilai, JIS belum siap melangsungkan konser yang sifatnya besar. Menurutnya, akses transportasi umum begitu terbatas, untuk kapasitas stadion yang mencapai 82 ribu orang. Sedangkan penonton Dewa 19 tercatat sebanyak 75 ribu orang.

Adrian sendiri menghadiri konser tersebut. Dikarenakan mengetahui terbatasnya akses transportasi umum, ia membawa kendaraan pribadi, dan memarkirkan mobil di area pemukiman warga di bilangan Sunter, Jakarta Utara. Kurang lebih 2,5 kilometer dari JIS, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, melewati jalanan yang tidak memiliki trotoar.

Permasalahan aksesibilitas lainnya terletak pada Plaza Barat, satu-satunya jalur keluar masuk stadion. Tanpa opsi lain, 75 ribu orang melewati pintu yang sama, menyebabkan saling berdesakan menuju jalan raya.

Kondisi itu menyebabkan kekacauan di luar area JIS. Terutama setelah konser, membuat semuanya tumpah ruah di jalanan. Pedagang kaki lima, antrean shuttle bus yang tak diatur, pengguna kendaraan bermotor yang terjebak macet, dan nihilnya trotoar yang memadai.

Sebagai pejalan kaki malam itu, saya mendapati sejumlah lubang galian dan sak-sak semen di trotoar. Akibatnya, selama berjalan, saya harus naik turun trotoar, sambil menghindari kendaraan bermotor. Belum lagi minimnya penerangan jalan, membuat harus ekstra berhati-hati agar tidak terperosok ke lubang.

Benar saja, Gagas bercerita pada saya, ada penonton yang tercebur ke lubang galian. “Selepas turunan (Plaza Barat) itu ramai banget, sampai tersendat. Mungkin orang-orang numpuk di situ, nunggu shuttle bus. Ada yang bilang ke saya, hati-hati di depan ada galian, tadi ada yang nyemplung.”

Kesulitan itu bukan hanya dialami pejalan kaki, melainkan penumpang shuttle bus menuju JIExpo dan Transjakarta yang tidak ditertibkan. Antrean yang menunggu shuttle bus bercampur dengan penumpang menuju rute Harmoni. Sebagian penonton pun mencuri start naik shuttle bus, dengan berjalan kaki beberapa kilometer, termasuk saya. Kalau enggak demikian, entah kapan akan kebagian naik shuttle bus.

Hal yang sama dilakukan Gagas. Ia bertanya pada polisi dan petugas Dinas Perhubungan (Dishub), perihal akses ke shuttle bus. Keduanya tidak memberikan jawaban solutif.

“Sama Dishub disuruh jalan ke area yang kosong. Kalau polisi bilang, mereka nggak tahu karena cuma mengamankan aja. Terus disuruh nyegat bus yang kosong,” cerita Gagas.

Situasi tersebut menunjukkan minimnya koordinasi promotor dengan petugas keamanan maupun penyedia jasa transportasi. Aksesibilitas JIS pun belum selaras dengan konsep yang diusung, yakni terintegrasi dengan transportasi publik. Padahal, itu merupakan alasan JIS membatasi daya tampung fasilitas parkir.

Sebagai pusat aktivitas berskala besar, pembangunan JIS melupakan segi holistis—hal yang sering luput dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Hal itu ditegaskan Adrian, melihat JIS yang didesain dengan bagus, tetapi PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai pengelola, belum memfasilitasi akses pergerakan manusia yang sangat besar.

“Di sana belum ada transportasi umum yang layak, otomatis orang-orang pakai kendaraan (pribadi). Kalau dibagi dalam satu Transjakarta pun nggak efektif,” kata Adrian. “Akhirnya di luar stadion itu ya udah, (anggapannya) you’ll find your own way to get back to your vehicles. Padahal enggak bisa begitu dalam hal planning,” tambah Adrian.

Sebagai penonton, Gagas mengungkapkan kekecewaannya terhadap aksesibilitas ke transportasi umum. Ia mengira perjalanan pulang menuju JIExpo akan semulus sewaktu berangkat. Kenyataan justru sebaliknya.

“Benar-benar di luar ekspektasi sih. Aku mikirnya jalanan udah diblok, khusus buat (lalu-lalang) penonton. Shuttle bus udah standby kayak pas berangkat, begitu penuh langsung jalan,” aku Gagas.

Baca Juga: Belajar dari Kasus Pamungkas, Sejauh Mana ‘Fan Service’ Boleh Dilakukan?

Banyaknya Catatan untuk Aksesibilitas JIS

Berkaca pada perhelatan “Pesta Rakyat 30 Tahun Berkarya Dewa 19” akhir pekan lalu, JIS meraup segudang evaluasi perkara aksesibilitas, yang masih bertumpu pada kendaraan pribadi.

Sebenarnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah melakukan langkah yang tepat, dengan meminimalisasi lahan parkir untuk mendorong publik menggunakan transportasi umum. Permasalahannya, transportasinya tidak dibangun bersamaan dengan stadion—yang sebenarnya fundamental untuk menyelenggarakan aktivitas publik berskala besar.

Kita bisa berkaca pada National Stadium Bukit Jalil, Malaysia. Stadion tersebut terintegrasi dengan stasiun Lintas Rel Terpadu (LRT), dengan jalanan yang lebar untuk menampung lalu lintas pejalan kaki. Setiap ada acara besar pun, LRT beroperasi hingga pukul 01.00.

Atau Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), yang tidak hanya tersambung dengan berbagai akses transportasi publik, tapi juga memiliki 12 pintu masuk yang memudahkan pengunjung dari berbagai penjuru. Sedangkan JIS hanya satu pintu masuk, dengan kapasitas 82 ribu orang.

“Dengan adanya opsi itu salah satu cara memecah crowd. Ini penting supaya orang bisa memilih mau mengakses pakai apa. Mengatur crowd-nya juga lebih mudah. Sementara di JIS parkirnya di sana-sini, enggak beraturan,” jelas Adrian.

Adrian pun mencatat beberapa hal untuk aksesibilitas menuju JIS. Pertama, memberlakukan car free area di jalanan sekitar JIS. Tujuannya adalah mendedikasikan ruang bagi pejalan kaki dan shuttle bus, agar pergerakanya terkontrol.

Kedua, menggunakan akses stasiun yang sudah ada, seperti Stasiun Ancol yang berjarak satu sampai dua kilometer dari JIS. “Sebenarnya jarak yang lumayan okelah, dan bisa dibangun trotoar lebar untuk mengatasi traffic. Tapi di sekitar situ lagi dibangun jalan tol layang, mungkin akan susah banget,” ucap Adrian.

Ketiga, perlunya koordinasi antara promotor atau pihak stadion, dengan pihak Transjakarta. Terlebih karena 13 koridor Transjakarta telah beroperasi 24 jam, dan area di sekitar JIS seharusnya termasuk dalam salah satunya. Tepatnya lewat koridor 14 dengan rute Senen-JIS.

“Kalau itu ada dan beroperasi 24 jam, harusnya lumayan jadi jawaban. Minimal ada angkutan yang bisa mengangkut orang dari JIS ke Senen, terus mereka bisa lanjut naik Transjakarta ke penjuru Jakarta lainnya,” terang Adrian.

Keempat, soal transportasi publik itu sendiri, seperti LRT yang rencananya dibangun Jakpro. Sayangnya, belum ada kejelasan karena perencanaan pembangunan rute Kelapa Gading-JIS ditunda. Digantikan rute Velodrome-Manggarai.

Maka itu, Adrian menyarankan, setidaknya Stasiun Tanjung Priok dapat memperpanjang waktu operasi. “Perlu ada koordinasi (antara penyelenggara acara) dengan pihak KCI (Kereta Commuter Indonesia), supaya pengunjung JIS punya opsi transportasi,” ujarnya.

Dengan demikian, selama Pemprov DKI Jakarta belum mampu mengakomodasi transportasi publik, dapat dikatakan pembangunan JIS belum 100 persen terselesaikan. Mengingat pembangunannya bersifat politis, dan kemungkinan terdapat perubahan pola perencanaan sejak pergantian pemerintahan.

Adrian pun sepakat dengan hal ini. Ketika ditanya apa yang menjadi hambatan pembangunan akses untuk JIS, ia menjawab, “Harus ada political will-nya dulu. Selama itu enggak ada dan jadi tanjakan politik, kurasa akan sulit membuat hal-hal itu terwujud.”


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *