Menghadapi Skena Musik Penuh Ujaran Seksis
Meski tujuannya sekedar untuk humor, seksisme tetaplah merendahkan.
Beberapa waktu yang lalu, kelompok musik indie favorit saya sejak sekolah menengah merayakan ulang tahun ke-10 dan menggelar konser dadakan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Demi konser dadakan tersebut, sejak pagi saya ribut mencari cara membeli tiket yang dijual terbatas hanya untuk 2.000 orang. Hampir saja saya menyerah sebab jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, namun tiket belum ada di tangan. Akhirnya seorang teman baik hati mendapatkan tiket tersebut. Perasaan gembira membuncah, sudah lama saya tidak melihat mereka konser.
Kelompok musik tersebut menjadi favorit saya karena dari merekalah saya mengerti bahwa tidak semua orang harus mendendangkan lagu cinta. Cinta dan jatuh cinta harus didefinisikan ulang atas nama memanusiakan manusia itu sendiri. Perihal sakitnya bumi hingga penghargaan bagi mereka yang mencintai sesama jenis pun mereka dendangkan. Mereka bahkan berani untuk bercerita tentang orang-orang yang hilang di masa lalu. Lagu-lagu mereka adalah mercusuar masa remaja, tempat makna dari prinsip kebenaran, makna perjuangan, dan idealisme saya letakkan di puncak tertinggi. Barangkali saya tidak akan seberani hari ini tanpa lagu-lagu mereka. Barangkali saya tidak akan mengerti kemanusiaan serta segala perihal memanusiakan tanpa lirik yang mereka tulis.
Malam itu, seharusnya saya diliputi kegembiraan dalam rangka merayakan satu dekade kelompok musik favorit saya mengudara. Faktanya sebaliknya, saya bertahan dalam konser semata untuk menghargai teman-teman saya. Atas nama kekecewaan yang mendalam saya menuliskan pengalaman malam itu.
Ketika memasuki ruangan konser, saya sudah mengira bahwa ruangan tersebut akan sesak. Konser dalam ruangan tertutup memang mendatangkan suara musik yang lebih bagus tetapi tidak ada jaminan keleluasaan bergerak di sana. Apalagi dengan harga tiket murah serta label dadakan, tentu saja semuanya akan serba seadanya.
Tidak lama setelah saya duduk bergabung bersama penonton yang lain, dua orang pembawa acara yang cukup terkenal dalam skena independen naik panggung. Saya mulai menyadari keduanya laki-laki ketika mereka memulai acara dengan mencoba melucu dengan menggunakan bagian tubuh tertentu seorang perempuan sebagai bahan. Saya tidak peduli siapa orang yang dijadikan lelucon tapi merujuk pada perempuan dan spesifik pada bagian tubuh tertentu itu jelas ujaran seksis.
Selanjutnya, ketika ruangan mulai sesak karena penonton membludak, panitia pun panik. Penonton yang sejak awal duduk mulai diatur untuk merapat. Mereka kembali menggunakan ujaran yang fisik pada seorang penonton perempuan, lalu menutupnya dengan membahas keperawanan si penonton perempuan tadi. Walaupun pembahasannya tidak eksplisit tapi saya rasa semua orang dalam ruangan tersebut paham maksud ujaran tersebut karena tawa terdengar riuh atas setiap kelakar pembawa acara.
Setelah ruangan sudah dapat dikendalikan, seorang stand up comedian perempuan dipanggil untuk menemani kedua pembawa acara laki-laki tadi. Hal yang lebih buruk terulang, kedua pembawa acara tadi sengaja melontarkan lelucon dengan menggunakan bagian fisik serta suara si perempuan. Saya pun tercekat ketika si perempuan menerimanya sebagai bentuk usaha untuk melucu. Banyak dari penonton yang tertawa, tapi saya bisa melihat teman-teman perempuan di samping saya menelan ludah pertanda marah.
Dalam pikiran saya terlintas berbagai asumsi. Pertama, tidak mungkin kelompok musik favorit saya tidak paham isu kesetaraan gender atau tidak peka terhadap ujaran seksis, mengingat sepak terjang mereka dalam skena musik. Kedua, dalam hajatan besar ulang tahun, mereka dengan sadar mempercayakan acara mereka diisi dengan humor yang sebagian besar seksis. Ketiga, apakah para penikmat skena musik di Indonesia belum peka gender hingga diam saja bahkan ikut tertawa atas ujaran seksis? Jika memang ada polisi skena yang merazia para penonton yang tidak bergoyang, kenapa mereka tidak ada saat ujaran seksis berkumandang menggelegar?
Kejadian malam tersebut ingin saya lupakan tetapi ternyata tidak mudah. Setiap saya mendengar lagu dari kelompok musik tersebut, ujaran-ujaran seksis tersebut turut hadir mengisi ruang lain dari otak saya.
Meski tujuannya sekedar untuk humor, seksisme tetaplah merendahkan. Ketika suatu ujaran yang merendahkan diterima bahkan dianggap wajar maka sesungguhnya pelanggengan suatu hierarki sedang dimulai. Suatu kelompok menganggap lebih tinggi dari kelompok lain sehingga relasi kuasa yang menjadi pangkal dari segala ketidakadilan dianggap sebagai hal biasa. Dalam konteks tersebut, jangankan menertawakan, bahkan membiarkan hal tersebut terjadi adalah sebuah kesalahan.
Sudah saatnya kita mulai memaknai bahwa seksisme sebagai sesuatu yang serius. Hegemoninya membentuk segala kebiasaan sosial yang lain untuk berperilaku tidak adil terhadap salah satu golongan, dalam hal ini perempuan. Membersihkan ruang-ruang publik dari ujaran seksisme merupakan kewajiban kita bersama.
Bagaimana seharusnya kita menghadapi skena yang penuh ujaran seksis? Pertama, mari merebut ruang skena. Saya yakin ada banyak tulisan seperti ini di luar sana karena terlalu banyak pertunjukan musik yang bernuansa male gaze (pendeknya, seksualisasi dan obyektifikasi perempuan). Kedua, tidak ada jaminan pertunjukan dari kelompok musik yang punya perspektif gender yang baik bebas dari ujaran seksis. Sebab mereka bukanlah satu-satunya aktor dalam skena musik. Masih ada event organizer ataupun penonton lain. Oleh karenanya yang ketiga, jangan takut menjadi polisi skena. Mari mengkritik dan beropini ketika punya pengalaman buruk tentang ujaran seksis dalam pertunjukan musik supaya banyak kelompok musik, event organizer, atau perempuan korban yang membaca. Bisa jadi mereka membiarkan hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengerti. Berbagi berarti peduli.
Terakhir, sebarkan tulisan ini jika kamu berpikir bahwa sudah saatnya kita punya skena yang terbebas dari ujaran seksis.