Menjadi Perempuan dalam Skena Musik
Pandangan kapitalisme yang menjadikan perempuan komoditas di dunia musik dapat juga menjadi senjata untuk menyuarakan kebutuhan-kebutuhan perempuan.
Sejak kecil sampai beranjak 26 tahun sekarang ini, hidup saya tak pernah lepas dari musik. Saya tidak punya latar belakang sebagai seniman atau musisi, dan seperti masyarakat pada umumnya, keluarga saya lebih suka saya kuliah di perguruan tinggi negeri favorit dan kemudian menjadi pekerja ibukota yang memiliki penghasilan tinggi.
Namun, dua tahun lalu, saat saya baru saja lulus kuliah dan mulai menjalani krisis usia seperempat abad, saya pergi ke salah satu acara musik di Jakarta bersama kedua teman saya. “Nge-band yuk, Cin!” kata salah satu teman. Saya berpikir ia bercanda karena saya merasa tidak bisa memainkan instrumen musik. Pengalaman bermusik saya hanya sebatas bermain pianika atau suling di bangku SD dan SMP, melantunkan nada-nada Mengheningkan Cipta atau Ibu Kita Kartini.
Entah mengapa ajakan sederhana itu membuat saya bersemangat ingin belajar musik dan membuat saya terjun lebih jauh dalam skena musik, khususnya musik di Jakarta. Kami bertiga masuk studio dan memulai membuat musik. Saya diminta main bass, alat musik yang baru saya pelajari ketika band itu terbentuk, dan jari-jari saya sering sakit.
Rasa senang yang membuncah membuat saya terus menjalani proses pembuatan karya. Saya mulai belajar bereksperimen sendiri dengan mengeksplorasi pola, suara yang saya suka, dan belajar main gitar serta mencoba harmonisasi suara. Memang bukan upaya yang mudah, tidak segampang kalimat bijak ala Mario Teguh “tak ada kata terlambat untuk belajar”. Pada praktiknya, cobaan mental lebih banyak ketika memutuskan ingin memulainya. Banyak tantangan dan kadang pula merasa stres ketika saya merasa inferior dalam band saya sendiri. Apalagi karena saya perempuan.
Menjadi perempuan dalam sebuah band ternyata memiliki tantangan tersendiri. Meskipun saya bukan perempuan satu-satunya dalam grup ini, saya harus selalu siap dengan pemikiran bahwa saya adalah sebuah obyek.
“Wuih, bassist-nya cewek.”
“Wah, asik nih bandnya personelnya cakep-cakep.”
“Ah, paling mainnya gitu doang.”
“Dih, cewe ngerokok, apa kata orangtuanya?”
Pemikiran patriarkal yang pernah menghantui saya tersebut pernah terucap tak hanya dari laki-laki, perempuan pun tanpa sadar juga melakukan hal yang sama. Saya pikir jika kami semua secara fisik laki-laki tak akan terucap semua lelucon yang sebetulnya tidak lucu itu.
Ketika ada anggota perempuan dalam sebuah band, seringkali muncul pandangan bahwa perempuan itu sebenarnya sedang “dijual” untuk popularitas. Jodi, salah satu pemilik label independen yang fokus merilis kaset, Nanaba Records, mengakui hal tersebut. Jodi merasa band yang memiliki anggota perempuan akan mempunyai daya tarik lebih. Nanaba Records sendiri baru saja merilis band asal Surabaya bernama Nonanoskins yang memiliki vokalis perempuan.
“Mereka itu keren, ditambah lagi vokalisnya cewek,” kata Jodi, meski ia menambahkan bahwa ia tidak semata-mata melihat “ada perempuan” tapi juga menilai segi kualitas dan selera pribadinya. Akan tetapi, hal ini menjadi sebuah kritik besar dari para feminis Marxis-Sosialis yang menganggap perempuan adalah komoditi dari sebuah kapital. Artinya, perempuan hanyalah korban untuk dijual dari para pemilik label yang dikuasai laki-laki untuk menciptakan keuntungan sebesar-besarnya.
Perkembangan ilmu feminisme pun sebetulnya sudah melewati tahap di mana kita tak lagi memandang perempuan sebagai obyek. Pemikiran Marxis-Sosialis, masih memandang bahwa perempuan adalah objek yang tak berdaya melawan sistem kapital. Perempuan masih dianggap kelompok yang homogen, padahal ada perempuan yang memiliki daya juang, yang diam-diam melakukan perlawanan dan memiliki agensinya masing-masing. Perempuan di dalam skena musik bisa saja melawan sistem tersebut dengan cara yang paling halus, tersembunyi dan tak terlihat oleh siapa pun.
Saya pribadi menilai, pandangan kapitalisme di atas memang menjadi merugikan ketika perempuan di dalam band sudah tidak dapat lagi bergerak sesuai keinginan dirinya sendiri. Namun demikian, pemikiran tersebut juga menjadi salah satu senjata untuk membuat perempuan menonjol dalam dunia musik. Setidaknya, perempuan diberikan ruang untuk mengekspresikan dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Walaupun ‘ruang’ ini pun kadang masih dirasa tidak nyaman bagi perempuan, di sini lah memang posisi kita sebagai perempuan sedang diuji. Hal ini mungkin dapat dimulai dengan bersuara (speak out) mengenai kebutuhan-kebutuhan perempuan melalui lingkungan terkecil dari kelompok band-nya sendiri, atau memulai bersuara lewat perbincangan personal dengan teman-teman terdekat.
Memang menjadi pekerjaan besar bagi perempuan untuk “dianggap” dalam sebuah band tanpa terlepas dari pandangan tersebut. Seperti perjuangan Kartini dan para feminis yang belum juga berakhir hingga saat ini. Menyuarakan narasi-narasi perempuan adalah hal yang harus kita lanjutkan. Saya pikir, masalah ini juga tak terjadi di dalam dunia musik saja tetapi juga bersemayam di dalam beberapa permasalahan di lingkungan sosial. Kita dapat memulai mengubah pola pemikiran kita dengan tak hanya melihat perempuan hanya sebagai pemanis, figuran, ataupun objek pencari keuntungan. Peran partisipatif perempuan dan berani bersuara di dalam sebuah kelompok menurut saya menjadi penting dan juga sebuah awal menuju lingkungan sosial yang lebih baik.
Cinta Marezi sedang belajar di Kajian Gender, Universitas Indonesia. Suka kucing. Beraktivitas bersama band yang mengklaim genre nya adalah Indie-Pop, @wearepeonies .