Menjadi Pribadi yang Lebih Baik Karena Itu Harus, Bukan Karena Hijab
Saya menjadi lebih tenang dan aman setelah berhijab, tapi itu bukan penanda ketakwaan saya.
Juni 2018. Pada hari ke-18 Ramadan tahun ini, saya memutuskan untuk berhijab, menutup kepala dan rambut saya. Banyak yang mempertanyakan keputusan saya itu. Mulai dari pertanyaan sederhana seperti, “Kenapa lo tiba-tiba pakai hijab?” hingga ke pertanyaan yang mendetail seperti, “Kepentok apa lo?”, ”Udah sadar sekarang?”, dan ”Bukan edisi Ramadan kan?”, sampai ”Mau jadi hijaber nih sekarang?” dan “Mau nyari jodoh ya?” Dan setumpuk pertanyaan lainnya.
Saya selalu menjawab dengan, “Tidak” atau “Di kantor, gue duduk di bawah AC jadi biar kepada gue ketutup aja, biar enggak dingin.”
Alasan utama saya memutuskan untuk berhijab bukan karena bahwa hijab katanya adalah “kewajiban” dari seorang perempuan muslim.
Bukan karena dilandasi rasa takut ayah saya akan masuk neraka atau alasan teologis lainnya. Bukan pula agar dilihat sebagai “perempuan baik-baik” di masyarakat. Bagi saya, keputusan berhijab jauh lebih besar dari alasan-alasan itu.
Saya perempuan 26 tahun, anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga yang cukup ketat menerapkan aturan agama dan norma konvensional masyarakat Indonesia pada umumnya.
Menurut didikan keluarga saya, perempuan jika sudah akil balig diwajibkan menutup semua auratnya (semua anggota tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah); perempuan tidak boleh pulang malam; perempuan tidak boleh berpakaian ketat; perempuan haruslah menjaga tubuhnya untuk suaminya kelak; dan sebagainya. Saya bukanlah orang yang mendukung aturan-aturan tersebut.
Di usia saya ini, ibu saya masih membuat peraturan jam 10 malam harus sudah di rumah. Setiap saya mau pergi, semua pakaian saya dicek. Dulu, jika saya memakai rok mini, maka ibu saya dengan sengaja akan membuka rok saya dan bertanya, “Kamu pakai celana ketat lagi enggak?”. Setiap ada kumpul keluarga, satu persatu anggota keluarga besar saya akan menceramahi saya dan menutup ceramah tersebut dengan kata, “Semoga kamu cepat mendapatkan hidayah.”
Semuanya hanya saya telan bulat-bulat, masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri. Saya sudah berhubungan seks, dan berbicara tentang seks bukanlah hal yang tabu bagi saya. Saya sering keluar malam, merokok, minum. Saya orang yang suka bicara blak-blakan, emosional, dan hal-hal lainnya yang terkadang saya merasa tidak perlu melakukannya tapi tetap dilakukan.
Tiba-tiba kemudian muncul pertanyaan, “Saya ini sedang apa, sih?” dan “Saya mau apa lagi ke depan?” di benak saya. Jadi saya memutuskan menghentikan semua hal yang saya lakukan. Tapi saya perlu sesuatu yang menghentikan saya, seperti sebuah pertanda. Tapi apa?
Tepat sehari setelah pertanyaan-pertanyaan itu muncul saya mengikuti Diskusi “Keberagaman dan Feminisme dalam Islam” dengan akademisi Islam Lailatul Fitriyah atau Mbak Laily sebagai pembicaranya. Saat itu saya mengajukan pertanyaan, “Benarkah hijab wajib bagi kita sebagai perempuan muslim?” dan jawaban dari Mbak Laily sangat sederhana dan menyentuh saya, “Hijab yang saya pakai adalah penanda bahwa saya unik.” Itu jawaban dari Mbak Laily. Dan saya pun mengiyakan.
Hijab bukan penanda takwa
Maka, per hari itu, 3 Juni 2018, saya memutuskan untuk berhijab. Hingga saat ini. Awalnya sulit, sangat sulit. Ayah saya adalah satu-satunya orang di keluarga saya yang menentang saya untuk berhijab. Maka ketika saya pulang kantor dalam keadaan berhijab, ekspresi dan komentarnyalah yang saya tunggu. Dan begitu melihat saya, Ayah saya tersenyum, bahkan menyuruh saya untuk tidak membuka hijab saya lagi.
Lalu, semua perlahan berubah. Saya yang terbiasa memakai pakaian terbuka kini harus terbiasa memakai pakaian yang tertutup. Saya yang terbiasa membiarkan rambut ikal saya terurai kini harus mengikat rambut dan membungkusnya rapat-rapat. Hingga munculah hal-hal yang harus saya biasakan seperti mendengar komentar orang lain, “Oh, kamu sudah sadar” atau “Oh, kamu sudah dapat hidayah”. Saya iyakan saja. Bahkan tak jarang banyak yang mengatakan pada saya, “Sudah menjadi pribadi yang lebih baik dong ya, sekarang”. Atau “Ih, kamu makin cantik ya setelah berhijab.” Entah. Saya tetap merasa menjadi saya, tidak ada yang berbeda, tidak ada yang berubah, tidak menjadi lebih cantik pula, biasa saja.
Karena saya kini tidak bisa menilai sudah berada dimana nilai “menjadi lebih baik” saya. Saya tidak bisa menilai ketakwaan saya, saya tidak bisa menilai penampilan saya, saya tidak bisa menilai itu semua.
Tapi kain yang menutup kepala saya ini membuat saya menjadi lebih tenang, menjadi lebih aman, menjadi lebih terbuka terhadap apa saja yang akan hadir atau yang telah hadir dalam hidup saya. Jika saya dinilai sudah menjadi lebih baik dibanding saat saya belum berhijab dulu, alhamdulillah, berarti keputusan saya untuk berubah dan menghentikan semuanya (saya tak ingin menyebut diri saya berhijrah) memberikan dampak positif bagi llingkungan dan sekeliling saya.
Karena saya percaya, menjadi cantik atau menjadi lebih baik tidak harus dengan berhijab kok. Tenang saja.