Culture Prose & Poem

Menonton Doraemon itu Haram

Garda kesal karena Haji Firza melarangnya menonton Doraemon, produk kartun kafir yang bisa menyesatkan anak-anak muslim.

Avatar
  • June 8, 2018
  • 5 min read
  • 2664 Views
Menonton Doraemon itu Haram

Aku ingin begini,
aku ingin begitu,
ingin ini,
ingin itu,
banyak sekali….
 
Garda bersenandung kecil sambil berjingkrak-jingkrak riang menuju rumahnya. Tiba-tiba saja ada suara berat dari belakang yang ikut bersenandung. Dia Om Firza, tetangga Garda yang sekarang lebih suka dipanggil Haji Firza karena sudah pergi ke Makkah, rumah Allah.
 
“Kalau kamu bisa nyanyi, kamu juga pasti bisa ngaji,” kata laki-laki paruh baya itu. Ia mengenakan sarung, kelihatannya dia sedang menuju masjid untuk salat Magrib.
 
“Ogah, anjing!” hardik Garda menepis tangan si Om yang mendekat, lalu kembali menggumamkan lagu yang sama meskipun tidak selantang sebelumnya.
 
Plak! Wajah Garda lebam ditampar bapaknya sendiri. Siapa yang tidak malu anaknya menghardik seorang haji. Apalagi beberapa bulan terakhir ini Haji Firza sering memberikan tausiyah di masjid. Menurut bapak dan ibunya, tidak ada yang pernah mengajarkan Garda berperilaku seperti itu.
 
Ketika mereka berdua menyampaikan permintaan maaf pada Haji Firza, entah bagaimana mereka akhirnya menyalahkan Doraemon karena anak -anak di kartun itu berperilaku kasar. Lalu Haji Firza membenarkan asumsi itu. Menurutnya, kartun adalah produk kafir yang bisa menyesatkan anak-anak muslim. Sejak percakapan itu, Garda dilarang menonton Doraemon lagi.
 
Garda tidak menyerah dengan keadaan. Di minggu pagi, dia bilang mau bermain di taman dekat lapangan, padahal dia pergi ke rumah tetangga menonton film kartun jepang kesukaannya itu.
 
Nahas, Haji Firza yang sedang berjalan menuju lapangan untuk main bulu tangkis melihat sandal Garda di depan rumah temannya. Dia tiba-tiba saja menerobos masuk dan mengagetkan kedua anak yang sedang menonton di ruang tengah.
 
“Bubar, bubar!” serunya. “Jangan menonton kartun! Haram!”
 
Bapak pemilik rumah itu merasa tersinggung karena ada orang yang asal masuk rumahnya. Terbawa emosi, dia mengambil celurit, senjata warisan leluhurnya. Haji Firza lari kocar-kacir, raket badmintonnya melayang sampai memecahkan jendela.
 
Makin terbakar amarah, bapaknya teman Garda itu mengejar Haji Firza sampai yang bersangkutan bersembunyi di rumah. Selesai menonton, Garda bergegas pulang dan dia berani sumpah bahwa dia melihat bercak-bercak air seni di jalan yang dilalui sang kyai.
 
Haji Firza tidak mengerti kenapa tetangga yang satu itu tidak sepakat dengannya soal haramnya menonton kartun. Bukankah sudah jelas mudharat-nya! Pastilah ini karena dia tidak seagama dengannya. Orang itu bahkan tidak pernah ke masjid! Kafir, ateis, PKI! Benar, benar, lambang PKI itu palu dan celurit, pikirnya. Mungkin kalau ada yang mengingatkan bahwa simbol PKI itu adalah palu dan arit pun Haji Firza tidak akan ambil pusing; kesimpulannya sudah pasti benar!
 
Asumsi ini memengaruhi Haji Firza hingga berlarut-larut, merasuki ceramah-ceramahnya, sampai-sampai ustaz-ustaz lain mengingatkan dia akan bahaya gibah. Namun, Haji Firza tidak peduli, kecurigaannya pastilah kebenaran yang belum dilihat banyak orang!
 
Sepulang salat Jumat, Garda dinasihati orang tuanya untuk tidak lagi bermain dengan anak PKI.
 
“Apa itu PKI?” tanya Garda.
 
“Mereka orang-orang tidak beragama dan tidak bermoral,” jawab bapaknya.
 
“Apa itu moral?” dia bertanya lagi.
 
“Husy! Pokoknya dengarkan saja!” kata bapaknya.
 
Apa pun arti moral, yang jelas Garda kecewa. Dia tidak bisa menonton Doraemon lagi di rumah temannya.
 
Meskipun dikritik pemuka agama lainnya, Haji Firza berhasil menggaet hati warga karena dia memiliki bakat berorasi. Menurutnya, kesulitan-kesulitan yang dihadapi warga — warung yang tidak laku, banyaknya pemuda yang menganggur, dan meningkatnya tingkat kejahatan, adalah azab. Dan azab ini dikarenakan mereka tidak berbuat apa-apa terhadap kafir PKI yang mengundang murka Tuhan! Tindakan mengipas-ngipasi benci ini berujung pada inisiatif untuk melakukan demonstrasi pengusiran tetangga kafir dari lingkungan tersebut.
 
Tiga puluh dua warga datang meneror rumah sederhana yang pagar pintunya lebih sering dikunci akhir-akhir ini. Mereka berteriak-teriak agar PKI pergi dari kompleks tersebut. Bapaknya Garda juga ikut demonstrasi, meminta pintu dibuka, memaksa diskusi sambil mengentak-entakkan pagar.
 
Akhirnya, si tetangga yang dimaksud pun menunjukkan batang hidungnya. Dia keluar dengan wajah pucat pasi, meminta maaf sampai tersedu-sedu kepada warga yang marah-marah. Situasi reda karena warga melihat si PKI yang tidak lagi garang, patuh seperti anak anjing. Mengangguk-angguk ketika diberikan ceramah panjang oleh Haji Firza. Tetangga itu bahkan mencium kakinya! Haji Firza akhirnya tampil sebagai sosok yang bijak dan pemaaf. Tidak lupa, dia meminta si PKI itu untuk bertobat dan memeluk Islam supaya hidupnya tenang dan tidak dipenuhi amarah.
 
Betapa terkejutnya Haji Firza ketika si tetangga mengaku bahwa dia adalah muslim! Mengabaikan fitnah yang sudah dia sebarkan, Haji Firza menganjurkan dia untuk lebih sering pergi ke masjid. Belum puas memberikan nasihat, Haji Firza juga menambahkan supaya anak laki-lakinya juga pergi mengaji dan tidak menonton Doraemon. Begitu semua sarannya diiyakan, Haji Firza pun merasa sudah melakukan tugasnya.
 
Menyaksikan semua ini, bapaknya Garda pulang dengan harapan anaknya pun mau diajari mengaji oleh Haji Firza. Kalau anak PKI itu saja mau, apalagi anak seorang muslim taat seperti dirinya. Tentu harus mau.
 
“Ogah!” kata Garda lagi. “Om Firza kalau bercanda suka melorotin celanaku terus pegang-pegang aku!” tambahnya sambil menunjuk bagian tengah celananya.
 
Kemudian Garda menceritakan bahwa dia juga pernah diminta memegang alat vital laki-laki setengah baya itu setelah bermain bulu tangkis dengannya dulu.
 
“Aku enggak suka bercandanya,” kata Garda.
 
Bapak dan ibunya terperangah. Mereka bertanya beberapa kali lagi pada sang anak, melihat ekspresinya dengan saksama, dan pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa anak mereka sudah dilecehkan tetapi anak lugu itu sama sekali tidak sadar bahwa dia dilecehkan.
 
Kedua orang tua itu tidak tahu harus berbuat apa karena Haji Firza sudah menjadi orang yang disegani di perumahan mereka. Namun, jelas mereka merasa gelisah. Lain reaksi orang tua, lain reaksi anak. Setelah percakapan itu, Garda merasa senang karena sekarang dia boleh menonton Doraemon lagi. Dia juga tidak dipaksa pergi mengaji karena orang tuanya pun tidak pergi ke masjid lagi.
 

Noor Ramadani adalah penulis yang berdomisili di Jakarta. Dia menulis cerita fiksi dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan topik seksualitas dan agama. Salah satu karyanya, “Salim’s Secret” telah diterbitkan oleh Naz and Matt Foundation di Inggris.


#waveforequality


Avatar
About Author

Noor Ramadani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *