December 22, 2025
Issues Politics & Society

Dari Bunga Anyelir, ‘Me Time’, hingga Surat Cinta: Beragam Cara Rayakan Hari Ibu

Saya ngobrol dengan banyak perempuan di dunia tentang bagaimana mereka memaknai dan merayakan Hari Ibu.

  • December 22, 2025
  • 6 min read
  • 150 Views
Dari Bunga Anyelir, ‘Me Time’, hingga Surat Cinta: Beragam Cara Rayakan Hari Ibu

Salah satu bentuk penghargaan saya untuk ibu adalah menuliskan kisahnya dalam buku The Colours of Mothers. Meskipun ibu saya sudah meninggal, cinta, kasih, pengorbanan, dan ikatan antara kami tidak pernah punah. Karena cinta kasih seorang ibu adalah bahasa umum, tanpa kenal batas ruang dan waktu. Itulah alasan saya menulis artikel ini: dengan mengumpulkan teman-teman perempuan dari berbagai belahan dunia, untuk mendengar bagaimana dan dalam bentuk apa mereka memaknai Hari Ibu

“Kami biasanya memberikan bunga anyelir warna merah,” kata Fujimori Hisae, teman saya yang berasal dari Jepang. 

“Kalau di Korea, enggak ada Hari Ibu, tapi kami punya Hari Orang Tua, namanya Eobeoinal (어버이날),” ujar Megan, teman fotografer asal Korea. Ia menambahkan bahwa di hari itu, kedua orang tua—ayah dan ibu—selain menerima bunga anyelir, juga mendapatkan surat cinta dan hadiah kecil dari anak. 

“Kalau di Amerika, Hari Ibu itu hari di mana kami dimanjakan—dimasakkan makanan kesukaan atau diberi hadiah,” tambah Aly Teeter, teman sekelas saya di Amerika dan seorang jurnalis yang tinggal di Seattle. 

Lain lagi ceritanya untuk Aisah Karim, koordinator anak berkebutuhan khusus (SEND) dan ibu muda asal Pakistan yang kini tinggal di Inggris. Hari Ibu ia rayakan bersama keluarga dalam bentuk yang sangat sederhana. 

“Suami saya merayakannya setiap hari dengan membawa anak-anak main sepeda, jalan ke taman, atau mengajak anak jajan makanan kecil supaya saya bisa punya me time untuk sekadar minum teh sambil main Word Search.” 

Aisah menyebut momen-momen kecil ini sebagai little pockets of peace, yang menunjukkan bagaimana keluarga kecilnya menghargainya sebagai seorang ibu. 

“Kalau di Indonesia kan, kebanyakan kita bikin postingan aja di IG,” ujar Listi, seorang ibu dari Jogja yang tak terlalu merasa perlu merayakan Hari Ibu secara istimewa. 

Di Eropa, seperti di Belanda, Hari Ibu biasa dirayakan dengan memberikan kado. “Biasanya dapat kado dari anak, tapi kadang juga dari pasangan. Kami juga merayakannya dengan makan pagi bersama keluarga besar seperti kakek dan nenek,” cerita Avy, seorang ibu yang tinggal di Venlo, kota kecil di Belanda. 

Bagaimana dengan Portugal? Menurut Carolina Remisio yang berdarah Angola–Portugis, Hari Ibu dirayakan dengan berkumpul bersama keluarga, memberikan bunga, hadiah, dan ucapan cinta. 

“Untuk saya, hadiah tidak terlalu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita merasa dihargai sebagai ibu,” ujarnya. 

Hari Ibu memang tidak dirayakan secara serentak. Di Belanda, Jepang, dan Amerika, Hari Ibu dirayakan setiap Minggu kedua bulan Mei. Di Inggris, jatuh pada Minggu keempat. Di Korea, Parents’ Day dirayakan setiap 8 Mei. Sementara di Indonesia, Hari Ibu diperingati setiap 22 Desember. 

Baca juga: 22 Desember adalah Hari Pemberdayaan Perempuan, Bukan Hari Ibu

Emotional Bonding lewat Menggendong 

Hubungan ibu dan anak, terutama secara emosional, sudah terbentuk sejak dalam kandungan dan berlanjut hingga proses melahirkan, menyusui, dan seterusnya. Selain itu, ikatan emosional juga bisa tercipta dari aktivitas lain seperti menggendong, karena sentuhan fisik memiliki dampak besar bagi ibu dan anak. 

Menggendong bayi di masa awal pertumbuhan sangat penting, terutama di kultur seperti Jepang. 

“Jepang enggak punya budaya memeluk seperti di negara lain. Sentuhan fisik antara orang tua dan anak hampir enggak ada setelah anak masuk usia 12 tahun,” kata Hisae, yang merasa beruntung sempat menggendong kedua anaknya saat masih bayi. 

Cara menggendong bayi antarbudaya di Asia, Eropa, dan Amerika ternyata memiliki banyak kesamaan, terutama dalam posisi menggendong. Bayi yang masih kecil biasanya digendong di depan karena posisi ini menyerupai posisi bayi dalam kandungan. Setelah bayi cukup kuat menegakkan kepala, posisi bisa bergeser ke samping atau ke belakang. 

Teman-teman saya memilih posisi ini karena memudahkan aktivitas sehari-hari seperti memasak atau membersihkan rumah. Untuk alat menggendong, saya pribadi memilih kain selendang—heko obi atau onbu sling (Jepang), podaegi (Korea), dan dupatta (Pakistan)—karena itu peninggalan ibu saya, sehingga memiliki nilai sentimental tersendiri. 

Di zaman modern, terutama di kota besar dengan mobilitas tinggi, banyak ibu beralih ke gendongan modern. Listi, misalnya, memilih baby carrier modern karena alasan keselamatan. 

“Aku pernah coba pakai kain jarik untuk posisi M-shape, tapi cukup sulit. Jadi aku pakai gendongan instan yang lebih nyaman buatku dan bayiku,” ujarnya. 

Meski posisi, alat, dan cara menggendong berbeda, pengalaman emosional yang didapat tetap sama. Carolina Remisio merasakannya dengan kuat. 

“Menggendong bayi dengan cara yang saya pilih sendiri punya dampak besar pada ikatan emosi kami. Saya bisa dekat secara fisik dengan anak dan bereaksi cepat untuk memberi rasa aman dan kenyamanan.” 

Baca juga: Hari Ibu dan Kakak Perempuan Sebagai Mentor

Stereotip tentang Ayah Menggendong 

Ikatan emosional sering diasosiasikan sebagai hubungan eksklusif antara ibu dan anak. Padahal, peran ayah juga penting. 

“Saya rasa kita perlu lebih banyak edukasi tentang pentingnya berbagi tanggung jawab untuk mendobrak stereotip bahwa menggendong itu hanya tugas ibu,” jelas Aly. 

Listi pun sepakat. “Keterlibatan laki-laki, terutama ayah, tentu penting dalam pembentukan ikatan emosional dengan anak.” Ia merasa beruntung karena suaminya cukup hands-on dalam merawat anak. Bahkan saat bayi mereka mengalami kolik, suaminya yang mengambil alih sementara Listi berjuang dengan migrain. 

“Aku tahu di luar sana masih banyak ibu yang berjuang sendirian karena suaminya kurang berperan,” tambahnya. 

Megan melihat ada pergeseran. “Sekarang sudah ada peningkatan keterlibatan suami dalam mengasuh anak, termasuk mau menggendong. Ini mencerminkan perubahan menuju pemahaman peran gender yang lebih egaliter.” 

“Saya percaya ketika laki-laki terlibat dalam membesarkan anak, ikatan keluarga menjadi lebih kuat dan perkembangan emosional anak lebih sehat,” ujar Carolina Remisio. 

Baca juga: How Being Raised by a Single Mother Has Shaped Me

Dari Ibu untuk Ibu 

It takes a village to raise a child memang benar adanya. Untuk menjalani peran sebagai ibu, kami membutuhkan tangan-tangan lain yang menopang. Ketika ibu mendapat dukungan, ruang tumbuh, dan kesempatan untuk bernapas, yang lahir adalah keluarga yang lebih sehat dan anak yang lebih bahagia. 

Di Hari Ibu ini, saya meminta teman-teman saya menyampaikan pesan untuk para ibu di Indonesia: 

Be proud of having brought a human being into this world.” — Fujimori Hisae, Jepang 

May you feel seen, appreciated, and supported in the incredible work that you do every day.” — Megan, Korea 

Be easy on yourself, this is hard work!” — Aly Teeter, Amerika 

“Aku berharap semua ibu di dunia ini jadi lebih bahagia karena ia telah menjadi dunia untuk anaknya.” — Listi Sukmawati, Indonesia 

You are the best. Even though you might sometimes think ‘what am I doing?’, you are doing great.” — Avy Simin, Belanda 

My wish is that all mothers feel supported, respected, and valued—not just on Mother’s Day, but every day.” — Carolina Remisio, Portugal 

Semua pesan itu bisa dirangkum dalam satu kalimat: Jadilah ibu yang bahagia, luangkan waktu untuk diri sendiri, dan percayalah bahwa kalian sudah melakukan yang terbaik. 

Selamat Hari Ibu untuk semua perempuan hebat di Indonesia. 

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.