Issues

Merdeka dari ‘Insecurity’ lewat ‘Self-Love’, Mungkinkah?

Lebih dari sekadar tidak percaya diri, ‘insecure’ bisa menghambat perkembangan seseorang. Kami ngobrol dengan psikolog soal ini.

Avatar
  • September 16, 2022
  • 7 min read
  • 1184 Views
Merdeka dari ‘Insecurity’ lewat ‘Self-Love’, Mungkinkah?

Mungkin kamu enggak asing lagi dengan insecurity atau perasaan tak aman yang disebabkan oleh kecemasan, keraguan, hingga rasa tidak percaya diri. Entah terkait penampilan fisik, dalam hubungan, kemampuan finansial dan kebutuhan mendasar, pekerjaan, hingga merasa enggak berharga.

Sebenarnya insecurity wajar untuk dirasakan. Bahkan, psikolog pendidikan Rosa Virginia Kartikarini mengatakan, agak berbahaya apabila kita tak punya rasa takut dan cemas.

 

 

Saat berbincang di Instagram Live Magdalene, Bisik Kamis, berjudul “Self-Love: Memerdekakan Diri Memaksimalkan Potensi” pada (25/8) lalu, Rosa justru menyatakan perasaan insecure bisa memotivasi kita untuk berkembang.

Namun, tak dimungkiri insecurity juga dapat merugikan dan berdampak buruk bagi diri sendiri, maupun orang-orang di sekitar. Lalu, bagaimana perasaan tersebut perlu diseimbangkan?

Berikut rangkuman obrolan kami dengan Rosa

Baca Juga: Maudy Ayunda dan ‘Insecurity’ Kita

Magdalene: Mungkin hampir setiap orang pernah merasa insecure. Rasanya ada aja yang kurang dari kita. Sebenarnya apa yang menyebabkan seseorang insecure?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang merasa insecure.

Pertama, ketika kebutuhan tidak terpenuhi. Misalnya, kebutuhan untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Ketika ketemu atau berinteraksi dengan banyak orang, ternyata kita enggak dapet pujian itu.

Jadi muncul insecure dari dalam diri, kenapa ya orang-orang enggak memuji gue? Apa yang salah dengan diri gue? Karena itu, sebenarnya penting untuk mengetahui kebutuhan kita.

Kedua, ketika kita punya ekspektasi dan harapan. Menurut kita yang ideal itu standarnya segini, tapi kenyataannya enggak ketemu. Contohnya sekarang di media sosial kita gampang banget lihat foto-foto perempuan yang cantik. Akhirnya itu membentuk keinginan untuk punya body image yang ideal kayak mereka. Nah, jarak antara sesuatu yang menurut kita ideal dengan realitas itu bisa bikin insecure.

Ketiga, kurang mengetahui kelebihan diri. Kalau ditanya orang lain tentang kekurangan, biasanya kita bisa jawab cepet. Namun, ketika ditanya soal kualitas diri, biasanya agak mikir. Itu bikin kita insecure karena kita cuma mikirin hal-hal negatif, jadinya lupa kalau punya potensi dan kelebihan.

Keempat, lingkungan di sekitar yang berkontribusi terhadap cara kita memandang diri sendiri. Kita bisa berkembang kalau ada di lingkungan yang suportif, sering mengapresiasi dan memberikan kritik membangun. Kalau yang terjadi sebaliknya, justru bikin semakin insecure.

Kelima, self-love. Mungkin kita butuh pujian dan validasi dari orang lain, tapi enggak bisa mengandalkan orang lain terus. Kita perlu belajar bagaimana mencintai dan merasa cukup dengan diri sendiri. Soalnya, ketika mencintai diri sendiri dengan penuh, tulus, dan cukup, mau ada pujian atau enggak, kita tetap menganggap diri sendiri berharga.

Magdalene: Ada pengaruhnya enggak dari trauma atau bagaimana masa kecil kita dibentuk?

Salah satu faktornya memang pengalaman sebelumnya, seperti pola asuh dalam keluarga dan bagaimana orang tua serta saudara memperlakukan kita. Kalau ada pengalaman yang bikin cemas atau takut, kemungkinannya saat semakin besar, pengalaman itu memberikan dampak tersendiri.

Contoh saat di sekolah ada isu bullying, dan yang menjadi sasaran adalah penampilan fisikentah warna kulit atau bentuk tubuh. Ketika dewasa, ada kemungkinan pengalaman itu sudah berlalu dan bisa dimaafkan, atau semakin membuat insecure karena pernah menerima label.

Itu tergantung setiap orang, bagaimana mereka memproses pengalamannya. Kalau bisa memproses dengan baik, saat beranjak dewasa perasaan insecure-nya bisa lebih berkurang.

Magdalene: Kalau disebabkan dari masa kecil, bagaimana caranya supaya kita punya kesadaran?

Coba tanya ke diri sendiri, kira-kira insecure-nya gara-gara apa ya? Bangun dialog dengan diri sendiri, untuk memulai berefleksi. Kalau kesulitan, cari temen yang dipercaya dan bisa menjadi pendengar yang baik. Tapi, kalau benar-benar mengusik dan enggak tahu akarnya dari mana, boleh pergi ke psikolog untuk meminta bantuan. Mungkin sebenarnya jawabannya udah ada, cuma belum bisa menemukan.

Baca Juga: 5 Tips Mencari Tahu Potensi Diri

Magdalene: Berdasarkan pengalamanku, insecurity ini juga bisa menghambat diri sendiri. Misalnya takut mencoba berbagai hal. Mengapa itu bisa terjadi? Apakah bisa digambarkan?

Insecure itu ibarat rantai yang menjerat diri sendiri, dan yang bisa melepas juga cuma kita sendiri. Semakin insecure, rantai itu semakin memberatkan. Soalnya belum mencoba, biasanya kita udah kalah duluan dengan rasa takut dan itu yang memberatkan diri ketika mau berkembang ke arah yang lebih baik.

Sekalipun orang lain udah memuji. Ketika orang lain mau mengangkat kita dengan pujian setinggi apa pun, kalau diri sendiri masih dibebani rantai itu, kita enggak akan ke mana-mana. Alhasil tetap merasa kurang dan cemas. Makanya, rasa aman dan pujian perlu datang dari diri sendiri, dan perasaan insecure itu sebaiknya diolah.

Magdalene: Sebenarnya insecure itu harmful dan ada tingkatan seriusnya enggak?

Perasaan itu munculnya dari dalam diri. Kita yang mengontrol dan akan kembali ke diri kita lagi. Tinggal apakah kita mau mengolah dan mengalahkan, atau membiarkannya jadi beban dan membiarkan diri sendiri layu?

Nah, kita bisa menyebut insecurity sebagai sesuatu yang perlu ditangani atau dilihat sebagai masalah, dengan memperhatikan beberapa hal.

Pertama, apakah insecurity ini membahayakan diri sendiri atau orang lain. Contohnya melukai fisik atau emosional lewat perkataan. Ketika merasa luar biasa takut, sebagian orang bisa mengekspresikannya dengan marah ke orang lain sampai nggak bisa dikontrol.

Kedua, fungsinya ketika menjalankan kehidupan sehari-hari menurun, seperti sampai tidak bekerja ataupun sekolah. Mereka cenderung tidak memiliki energi, memilih menghabiskan waktu di kamar, dan nafsu makan yang turun drastis.

Ketiga, ditemukan tanda-tanda yang terjadi secara fisik dengan tidak biasa. Misalnya susah tidur, mimpi buruk terus-menerus, jantung berdegup lebih kencang, dan gemetaran.

Keempat, menimbulkan stres pada diri sendiri maupun orang-orang di sekitar. Mungkin kita punya rekan yang selalu insecure, walaupun udah dipuji. Ujung-ujungnya kita juga capek ngelakuinnya, dan merasa udah enggak bisa meng-handle sampai terkungkung dan enggak tahu apa yang perlu dilakukan.

Magdalene: Apakah artinya insecurity juga bisa lari ke depresi dan gangguan kecemasan?

Bisa mengarah ke sana, tapi jangan self-diagnosed. Kalau kamu menemukan insecure ini mengganggu keseharian kamu dan mulai bikin stres, jangan takut untuk datang ke psikolog atau psikiater untuk memastikan.

Baca Juga: Tidak Apa-apa Menjadi Biasa Saja di Dunia Luar Biasa

Magdalene: Kalau dari penjelasan yang ada, insecurity selalu berupa hal negatif. Bisa nggak kita mengubahnya jadi potensi atau sesuatu yang positif?

Bisa. Itu tergantung diri sendiri, mau menjadikan insecurity sebagai hal memberatkan atau kendaraan menuju pengembangan diri. Kuncinya ada di kamu, tapi bisa kok tanya ke orang-orang di sekitar kalau membutuhkan validasi. Soalnya, sering kali itu yang ada di balik insecurity.

Intinya, langkah pertamanya ada pada diri sendiri. Mau selamanya jadi rantai yang menahan dan memberatkan kita, atau jadi roda yang menggerakkan. Lagi pula, justru bahaya kalau kita enggak merasa takut dan cemas. Nanti yang mendorong motivasi dari mana? Selama insecure itu seimbang dan memotivasi kita untuk memperbaiki diri, enggak apa-apa.

Magdalene: Lalu apa yang perlu dilakukan untuk mengontrol insecurity ini?

Dengan mencintai diri sendiri. Kalau pernah mendengar love language dan biasanya digunakan untuk pasangan, coba gunakan itu untuk diri sendiri. Dari situ kamu bisa mempraktikkan dan menunjukkan rasa sayang ke diri sendiri.

Nah, self-love dibutuhkan karena dengan mencintai diri sendiri, kita punya value yang tinggi tentang diri sendiri. Jadi merasa berharga misalnya, bernilai, punya kualitas, tahu kalau kita cukup, dan menyadari apa yang dirasakan. Nanti sedikit demi sedikit bisa mengontrol insecurity itu, soalnya udah merasa cukup.

Kalau menganalogikan dengan tanaman, self-love itu ibaratnya kita menyiram atau memperbaiki diri sendiri. Alhasil ketika ada sesuatu yang berusaha mematahkan, kita udah cukup kuat walaupun perasaan insecure itu tetap ada.

Selain itu, bisa didukung dengan mindset karena selain emosi, pola pikir juga perlu diubah. Lewat pikiran itu kita membuat makna dari peristiwa-peristiwa yang ditemukan dalam hidup, sehingga proses berpikir dan mindset-nya juga berbeda.

Magdalene: Kalau self-love sendiri apakah ada jenis-jenisnya?

Ada. Pertama, merasa sebagai manusia yang layak dan berharga. Kedua, self-esteem. Ini tentang bagaimana kita mengevaluasi diri sendiri. Salah satunya ketika melakukan kesalahan, apakah dilihat sebagai kegagalan total atau pembelajaran.

Cara kita menghargai diri sendiri itu akan berpengaruh pada bagaimana mengevaluasi diri kita sendiri. Jadi, kalau kamu mau membentuk konsep diri yang positif, tingkatkan cara kamu menghargai diri sendiri.

Ketiga, self-awareness. Sadar dengan apa yang kita pikirkan dan rasakan, tanpa takut itu salah atau benar. Yang penting kita mengenal apa yang sedang terjadi pada diri sendiri. Misalnya sedang marah, apa penyebabnya? Kesadaran itu termasuk self-love, karena kita jujur dengan diri sendiri.

Keempat itu self-care. Mungkin selama ini lebih dipahami secara fisik, seperti tidur, pergi ke salon, pijat, dan sebagainya. Padahal, self-care enggak cuma tentang fisik, tapi juga lifestyle—bagaimana kita peduli terhadap tujuan hidup, nutrisi yang didapatkan melalui makanan, dan peduli terhadap emosi yang dirasakan.

Ini juga menyangkut cara kita memuji dan berbuat baik pada diri sendiri, lalu mengizinkan diri untuk merasakan apa yang membuat kita nyaman dan enggak. Bahkan, komunikasi dengan Tuhan dan mengimani kepercayaan masing-masing juga termasuk self-care.

Yang penting ketika melakukannya, didasarkan pada self-love sebagai bentuk kepedulian terhadap diri sendiri.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *