#KaburAjaDulu adalah Kemarahan yang Valid, tapi Bagaimana Jika Kita Tak Punya Privilese?
#KaburAjaDulu dinilai jadi solusi keluar dari kondisi #IndonesiaGelap. Sayangnya enggak semua orang punya privelese untuk melakukan itu.

Di usia pemerintahan yang baru seumur jagung, Prabowo Subianto sudah memancing beragam kontroversi. Keracunan siswa di program Makan Siang Bergizi (MBG), kematian ibu rumah tangga akibat kelangkaan gas LPG 3 kilogram, ancaman putus sekolah buntut efisiensi anggaran pendidikan adalah beberapa contohnya.
Di tengah centang perenang ini, muncul tren #KaburAjaDulu di X, yang mengajak Warga Negara Indonesia (WNI) kabur ke luar demi mencari penghidupan lebih layak. Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dalam cuitannya mengungkapkan, tagar ini sudah hadir di September 2023. Lalu kembali populer sejak awal Januari 2025 alias tiga bulan sejak pelantikan Prabowo-Gibran.
Tagar #KaburAjaDulu sempat menduduki trending topic nasional hingga total ada lebih dari delapan ribu akun yang mencuitkan tagar ini. Dari X, tagar tersebut merambah ke media sosial lain, seperti Instagram dan TikTok. Saking viralnya, sejumlah pejabat urun rembug—mayoritas bernada sinis.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menilai, mereka yang ikut tren ini kurang nasionalis atau patriotik sejati. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan bahkan melarang mereka yang kabur untuk balik ke Tanah Air.
“Kabur saja, kalau bisa jangan balik lagi,” ungkapnya kepada media, (17/2) lalu.
Baca Juga: Dari Pelanggar HAM, Agamis, hingga ‘Gemoy’: Cara Prabowo Poles Citra demi Kuasa
Rasa Frustrasi Generasi Muda
Dari pemantauan Drone Emprit selama 1 September 2023 sampai 8 Februari 2025, tagar #KaburAjaDulu muncul sebagai reaksi frustrasi atas situasi di Indonesia yang dirasakan oleh warganet. #KaburAjaDulu kebanyakan disuarakan oleh generasi muda. Sebanyak 50,81 persen adalah Gen Z dan Milenial berusia antara 19-29 tahun, sedangkan 38,1 persen berusia kurang dari 18 tahun, dilansir dari keterangan tertulis, (19/2).
Rasa frustasi generasi muda ini bukan datang tiba-tiba, melainkan akumulasi dari berbagai macam ketidakpuasan. Beberapa di antaranya yang diidentifikasi Drone Emprit adalah ketidakpuasan ekonomi, menurunnya kualitas hidup, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Dalam hal ketidakpuasan ekonomi, rasa frustrasi didorong oleh tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya upah. Warganet mengeluhkan upah yang tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Kualitas hidup pun menurun, dilihat dari masalah polusi, infrastruktur yang buruk, dan minimnya ruang publik.
Rasa frustrasi itu semakin menjadi ketika warga kesulitan mengakses peluang penghidupan yang lebih baik. Sebab kemakmuran dan kemudahan adalah hak segelintir orang saja. Celakanya, kondisi ini tak membuat pemerintah responsif. Sebaliknya, mereka dinilai abai dan tidak mau mendengarkan suara rakyat.
Ketika harapan rakyat tak terpenuhi, banyak individu yang mencari peluang penghidupan di luar negeri. Mereka mencari lowongan kerja, tips persiapan berangkat ke luar negeri (LN), risiko yang harus dipertimbangkan dan perbandingan tinggal di Indonesia vs luar negeri.
Laras, 32, juga mempertimbangkan #KaburAjaDulu. Ia sebenarnya sempat bekerja empat tahun di Jepang sebagai backend engineer, tapi terpaksa pulang tahun lalu karena kontraknya habis. Kembali ke indonesia, membuat ia sadar ada perbedaan kualitas hidup yang sangat timpang dibanding Jepang.
Laras bilang, gajinya dahulu jika dirupiahkan sudah lebih dari Rp20 juta. Namun saat kembali ke Indonesia, mencari posisi yang sama dengan gaji yang setara hampir mustahil.
“Yang kudapatkan masih berkisar di belasan saja. Beda jauh. Padahal di Jepang dengan gaji segitu, aku juga dapat semacam kos-kosan karyawan di sana. Bagus, kayak apartemen kecil. Di sini cari sendiri. Yang layak di atas Rp1,4 juta (di daerah ibu kota). Ini belum ditambah pengeluaran lain, gimana mau hidup layak?” curhatnya.
Ketimpangan lain juga ada pada urusan transportasi. Di Jepang, transportasi publik lebih terintegrasi dan efisien. Buat Laras, hal ini jelas membantu efisiensi pengeluaran bulanan, bahkan Laras bisa menabung karenanya. Suatu hal yang tampaknya sulit ia lakukan di Indonesia.
“Di sana semua enak bisa dijangkau. Ada fasilitas juga kayak Teikiken, kartu bulanan langganan kereta atau bis yang lebih murah dibanding tiket harian. Kalau di sini, mau naik ke stasiun kereta atau ke kantor dari stasiun pake ojol lagi. Pengeluarannya bengkak,” sebut Laras.
Dengan perbedaan ini, Laras tak punya alasan untuk tetap tinggal di Indonesia. Sekarang ia sibuk mencari lowongan pekerjaan di Jepang. Ia berdoa secepatnya bisa kabur dari negara ini.
Baca juga: Setelah Kemenangan Prabowo, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Privilese Mereka yang Kabur ke Luar Negeri
#KaburAjaDulu memang didasari rasa frustrasi atas kondisi negara belakangan. Buat orang seperti Laras, ini memberikan kesempatan emas untuk menikmati hak-hak dasar sebagai warga negara yang gagal dipenuhi pemerintah. Ini juga jadi cara Laras untuk memprotes pemerintah yang abai.
Sayangnya enggak semua orang bisa seperti Laras. Tren ini hanya bisa dilakukan buat mereka yang punya privilese, baik dari segi akses informasi maupun finansial. Sementara, mereka yang ada dalam lingkar kemiskinan atau kelompok rentan miskin tak punya pilihan lain selain tetap berada di Indonesia.
Hal ini dirasakan oleh Eni, perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Depok. Ketika ditanya soal tren #KaburAjaDulu, Eni mengaku ingin tapi tak mampu. Ia tidak punya modal, baik dalam bentuk keterampilan maupun finansial. Menabung pun ia masih kesulitan dengan gaji bulanan Rp1,3 juta dan gaji suami Rp2 juta.
“Palingan saya bisanya jadi TKW (buruh migran), tapi kan itu butuh modal. (Bikin) paspor masa enggak pakai uang. Ke luar memangnya saya juga enggak butuh bawa duit. Kalau ada apa-apa di sana gimana?” jelas Eni.
Belum lagi Eni masih punya dua anak yang duduk di bangku sekolah. Itu membuat mimpi mencari kehidupan lebih baik di luar negeri semakin jauh jadi angan-angan.
Selain Eni, ada pula Widuri. Meski berpenghasilan lebih besar ketimbang Eni, ia adalah generasi sandwich yang menanggung hidup orang tua dan neneknya. Dibutuhkan lebih banyak usaha dan dana jika Widuri ingin membawa kabur orang tua dan neneknya sekaligus.
Tak cuma itu, pekerjaan-pekerjaan yang ditawarkan di pasar tenaga kerja luar negeri, juga tidak memungkinkannya memboyong keluarga. Jika nekat kabur seorang diri, Widuri khawatir tak ada yang bisa menjamin perawatan orang tua apalagi neneknya yang sudah berusia 81 tahun.
“Kalau bener dapet gaji gede di luar, aku juga enggak tenang nyokab bokap sama eyang putri siapa yang jaga? Hire caretaker juga enggak menjamin,” tutur Widuri.
Ketiadaan privilese untuk kabur dialami pula “Nisa” (bukan nama sebenarnya) karena ia terikat kontrak dengan pemerintah. Nisa adalah guru yang bekerja dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Guru PPPK tidak bisa bebas bepergian ke luar negeri karena statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) non-PNS.
Jika ingin bepergian ke luar negeri, mereka harus mendapatkan izin resmi dari instansi terkait agar tidak melanggar aturan kepegawaian. Kalau pun kontrak sudah habis, Nisa tidak bisa serta merta mudah cari peruntungan di luar negeri. Masih ada suami dan anak semata wayangnya yang tak bisa ia tinggalkan.
Baca Juga: 5 Catatan Penting dari 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
Pentingnya Solidaritas Saat Tak Semua Orang Bisa #KaburAjaDulu
Dari penggalan kisah Eni, Widuri, dan Nisa, kita belajar memahami bahwa tak semua orang punya privilese untuk lari. Karena itu, agar setiap warga bisa meraih hak-hak dasarnya atas penghidupan layak, satu-satunya yang bisa dilakukan bukan mencari jalan untuk kabur, tetapi merapatkan barisan. Kita perlu bersolidaritas atau melakukan perlawanan secara kolektif.
Angela Davis, aktivis perempuan kulit hitam, akademisi, dan penulis Amerika Serikat terus menggaungkan betapa pentingnya solidaritas sebagai bentuk perlawanan kolektif. Dalam esainya Struggle, solidarity, and social change (2020) dan bukunya Women, Race, & Class to Freedom Is a Constant Struggle (1981), Davis menyatakan bagaimana solidaritas adalah kunci untuk menggugah kesadaran bersama dan memobilisasi perlawanan yang efektif.
Dengan bersolidaritas, kata Davis, kita tidak hanya menumbuhkan rasa kebersamaan, tetapi juga membangun fondasi bagi transformasi sosial. Dengan bersatu, kelompok masyarakat bisa saling mendukung, berbagi pengalaman, merancang strategi yang efektif untuk menentang ketidakadilan, bahkan mencari solusi bersama.
Bersolidaritas membangun modal sosial dan memudahkan mobilisasi sumber daya. Nantinya rakyat jadi mamembuka jalan bagi pembentukan tatanan sosial baru yang lebih adil dan inklusif setelah pembebasan. Ini dimungkinkan karena perlawanan kolektif mengatasi kecenderungan isolasi yang sering muncul ketika individu terkucilkan di depan sistem.
Dalam situasi #IndonesiaGelap, bersolidaritas bisa dilakukan dengan banyak hal. Ini bisa dilakukan di jalan, menggelar demonstrasi atau aksi bersama. Jika tak kuat ikut aksi, solidaritas bisa dilakukan dengan memberikan saling bantu warga dengan membagikan makanan gratis seperti yang dilakukan para ibu selama demo, (20/2) atau memberikan donasi untuk sewa ambulans. Bahkan solidaritas bisa dilakukan di media sosial, semudah kita membagikan konten edukasi di media sosial demi membangun kesadaran kolektif tentang situasi ketidakadilan yang ada.
Intinya, pastikan semua orang bisa ikut serta di dalamnya. Jangan ada yang tertinggal, jangan ada pula yang fokus pada solusi individual. Sistem yang menindas kita saat ini berpengaruh pada semuanya, jadi harus dilawan bersama-sama. Agar nantinya saat kita telah terbebas dari sistem, perubahan yang kita bangun bisa menyejahterakan semua.
