Merry Utami dan Kerentanan Perempuan dalam Kasus Narkotika
Relasi kuasa dan pasal-pasal karet turut membuat perempuan rentan dipidana dan hadapi kekerasan dalam kasus-kasus narkotika.
Kasus Merry Utami diawali dari perkenalannya dengan seorang laki-laki bernama Jerry, yang menjanjikannya kehidupan lebih baik bagi mantan buruh migran itu. Jerry juga mengajaknya berlibur ke Nepal pada pertengahan Oktober 2001. Sebelum pulang ke Indonesia, Jerry meminta Merry membawa tas tangan yang dititipkan melalui dua temannya. Ketika menjalani pemeriksaan di bandara Soekarno-Hatta, ibu beranak dua itu baru mengetahui bahwa tas tersebut telah disisipi heroin seberat 1,1 kilogram.
Merry ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman mati. Empat tahun lalu, Merry lolos dari eksekusi mati, tetapi tidak otomatis dibebaskan dari penjara. Saat ini dia sedang menunggu keputusan Presiden atas permohonan grasi yang diajukannya.
Merry adalah contoh paling nyata bagaimana perempuan rentan terjebak dalam kasus narkotika, salah satunya karena faktor ekonomi. Aisya Humaida, staf penanganan kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, mengatakan bahwa kelompok rentan seperti Merry mudah dijerat dengan pasal-pasal karet di Undang-Undang Narkotika No. 35/2009, salah satunya pasal 111.
Pasal 111 menyebutkan unsur “memiliki, menyimpan, dan menguasai” narkotika, sehingga seseorang bisa saja menguasai narkotika, tetapi barang tersebut bukan miliknya, ujarnya.
“Namun, karena pada pasal 111 tidak ada (pembuktian) unsur ‘niat’ atau ‘kesengajaan’, maka, apa pun alasannya, seseorang dapat dijerat dengan pasal tersebut,” ujar Aisya dalam sesi belajar daring bertema “Perang Melawan Narkotika Pemicu Kekerasan terhadap Perempuan” yang diadakan Jaringan Indonesia Inklusi (11/9) .
“Jadi, problematikanya, orang yang menguasai (narkotika), meskipun (barang tersebut) bukan miliknya, dapat dipidana. Padahal bisa saja (barangnya) milik orang lain yang dititipkan tanpa diketahui olehnya,” ia menambahkan.
Aisya mengatakan, dalam relasi kuasa, posisi tawar perempuan sering kali lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dengan adanya perumusan pasal-pasal yang tidak menyertakan elemen “niat” atau “kesengajaan”, perempuan rentan dipidana.
Baca juga: Ratu Heroin? Jalan Hidup Merry Utami Berkata Lain
Pelanggaran hak atas kesehatan
Penerapan pasal-pasal karet UU Narkotika membuat penjara kelebihan penghuni, yang rata-rata adalah narapidana kasus narkotika, ujar Aisya. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2018 menunjukkan, jumlah narapidana narkotika mencapai 95 persen dari total narapidana khusus.
“Data per Agustus 2020 menunjukkan, kelebihan penghuni penjara mencapai 75 persen. Ini sedikit berkurang karena adanya kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang menerapkan pelepasan warga binaan dalam rangka mencegah penularan COVID-19,” katanya.
Narapidana perempuan sering kali tidak dipenuhi hak-haknya, salah satunya adalah hak atas kesehatan. Fisqiyyatur Rohmah, Project Officer Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah untuk pendampingan penjara perempuan mengisahkan, salah satu hal yang dikeluhkan oleh warga binaan pemasyarakatan (WBP) adalah kesulitan mendapatkan kebutuhan higien pribadi.
“PKBI mendistribusikan pembalut dan peralatan mandi. Kami melakukannya karena kebutuhan personal hygiene di sana tidak disediakan secara cuma-cuma, tetapi harus membeli di koperasi,” ujarnya.
Masalah kesehatan reproduksi juga dialami narapidana warga binaan perempuan (WBP) akibat kondisi sarana dan prasarana sanitasi yang kurang memadai.
“Hasil pap smear yang kami lakukan menunjukkan, WBP mengalami peradangan ringan sampai berat,” kata Fisqiyyatur.
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Semarang sudah menjadi lapas percontohan, tetapi itu saja masih kekurangan tenaga kesehatan.
“Di Lapas Perempuan Semarang hanya ada satu dokter gigi, yang terpaksa menangani masalah di luar keahliannya. Selain itu, di sana ada satu bidan dan dua perawat,” ujarnya.
WBP kasus narkotika juga sering kali tidak memperoleh hak-haknya. Astried Permata, Koordinator Umum Pamflet, menuturkan, tidak semua lapas perempuan memiliki fasilitas rehabilitasi bagi terpidana yang mengalami adiksi.
Baca juga: Vonis Hukuman Mati Tak Hasilkan Efek Jera
“Seorang WBP kasus narkotika, yang mengalami ketergantungan metamfetamin, mengatakan bahwa dia harus dealing dengan reaksi gejala putus zat. Dia mengobatinya dengan cara meminum obat warung,” katanya kepada Magdalene melalui telepon.
WBP tidak hanya rentan mengalami gangguan kesehatan fisik, tetapi juga mental. Pada 2018, LBH Masyarakat menerbitkan hasil penelitian mengenai kematian di Lapas dan rumah tahanan. Salah satu hal yang terungkap adalah bahwa bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua terbanyak di penjara dan rutan. Di Lapas, tidak ada psikolog maupun psikiater yang berpraktik secara reguler.
“Pihak lapas mengakui bahwa biasanya, psikolog didatangkan karena adanya kerja sama dengan pihak luar, misalnya, mahasiswa psikologi yang sedang ada project di situ. Namun, pihak lapas tak menyediakan psikolog secara terus menerus,” ujar Astried.
Rawan kekerasan
Penderitaan perempuan yang terjerat kasus narkotika tak hanya dialami di Lapas, melainkan telah dimulai sejak penangkapan.
Pada 2016, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dan Universitas Oxford meluncurkan hasil penelitian terhadap 700 pengguna narkotika suntik berjudul “Perempuan Bersuara: “Memahami Pengguna Napza Perempuan di Indonesia”.
Penelitian tersebut menunjukkan, 45 persen responden mengaku mengalami penangkapan oleh polisi. Dari yang tertangkap, 93 persen di antaranya berkaitan dengan narkotika, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Sebanyak 87 persen dari mereka yang ditangkap menjadi korban pemerasan. Selain itu, mereka juga dilecehkan dalam proses penggeledahan tubuh dan mengalami pemukulan,” Rosma Karlina, Koordinator Perempuan Aksi Keadilan Indonesia.
“Penggunaan narkotika tidak seharusnya menyebabkan perempuan mengalami pelecehan dan kekerasan. Mereka adalah manusia, yang mempunyai hak yang sama seperti perempuan lainnya,” kata Rosma.
Dalam relasi kuasa, posisi tawar perempuan sering kali lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dengan adanya perumusan pasal-pasal yang tidak menyertakan elemen “niat” atau “kesengajaan”, perempuan rentan dipidana.
Seseorang yang menjadi korban kekerasan polisi dapat melapor ke unsur pengawas internal, namun Aisya dari LBH Masyarakat mengatakan, kliennya lebih memilih mengungkap hal itu di persidangan.
“Tidak semua kritikan terhadap polisi didengarkan. Biasanya, ketika ada pelecehan atau penyiksaan, kami sampaikan hal itu di ruang persidangan. Hal ini lebih bisa kami andalkan daripada melapor ke bagian pengawasan kepolisian,” katanya.
Pada situasi pandemi COVID-19, Rosma mengakui adanya kesulitan apabila tersangka ingin mengungkap kekerasan yang dilakukan oleh polisi karena terdakwa tidak langsung bertemu majelis hakim.
“Selama pandemi, teman-teman ditahan di kantor polisi sehingga intimidasi masih terjadi. Tahanan mengikuti sidang (jarak jauh) di ruang penyidik, jadi agak sulit untuk mengungkapkan fakta di persidangan,” ujarnya.
Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika
Padahal beberapa pengungkapan fakta kekerasan oleh polisi berdampak positif dalam penjatuhan putusan, sehingga hukuman bisa jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa.
Kendati demikian, dalam kasus perkara Merry Utami, fakta bahwa terpidana mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui kepemilikan heroin dalam tasnya tidak menjadi hal yang meringankan hukumannya.
“Di kasus Merry, hakim tetap menjatuhkan hukuman mati. Mayoritas penegak hukum tidak sensitif gender sehingga isu-isu semacam ini tidak selalu dibahas. Kita harus bicara dalam kerangka reformasi lembaga hukum, tetapi inisiatif untuk melakukan perubahan baru muncul pada individu-individu,” tutur Aisya.