Meskipun Krisis, Konsumen Tetap Belanja Ramadan
Perlengkapan ibadah dan fesyen tetap diburu, konsumen perbanyak vitamin dan kurangi gorengan serta minuman manis.
Meski dilanda krisis, 46 persen konsumen tetap akan membeli perlengkapan ibadah dan 43 persen belanja produk fesyen untuk Ramadan. Perilaku konsumen ini tercermin pada gelombang ketiga riset SurveySensum COVID-19 Consumer Behaviour Track yang diselenggarakan pada 18 – 20 April 2020.
“Dalam survei tersebut, SurveySensum mencatat serangkaian daftar kategori yang akan dibeli dan yang tidak jadi dibeli konsumen selama Ramadan. Perlengkapan ibadah dan produk fesyen tergolong masih cukup tinggi peminatnya dibanding kategori lain. Sebaliknya, konsumen harus membatalkan rencana belanja kategori lain yaitu furnitur, ponsel, barang elektronik rumah tangga, perhiasan, mainan anak, dan kendaraan bermotor,” tutur Rajiv Lamba, CEO SurveySensum & NeuroSensum di Jakarta pada 5 Mei 2020.
Dalam survei yang dilakukan terhadap konsumen usia 18 hingga 55 tahun ini, terungkap bahwa lebih dari 30 persen konsumen menunda belanja furniture dan ponsel. Untuk kategori lainnya, terdapat 20 hingga 25 persen konsumen yang batal atau menunda membeli barang-barang tersebut. “Keputusan ini diambil konsumen untuk menjaga stabilitas dan keamanan finansial mereka. Selain itu, konsumen memperkirakan tidak akan sering keluar rumah dan bertemu orang lain, sehingga barang-barang tersebut tidak lagi menjadi prioritas dalam waktu dekat,” Rajiv memaparkan.
Tidak seperti Ramadan sebelumnya, tahun ini sebagian besar konsumen mengencangkan ikat pinggang di tengah krisis akibat pandemi COVID-19. 500 responden baik kelas ekonomi atas maupun kelas menengah di 10 kota besar di Indonesia juga ditanya mengenai pos-pos pengeluaran rutin Ramadan yang berkurang maupun yang bertambah tahun ini. Secara keseluruhan terdapat 37 persen konsumen yang mengurangi pengeluaran jalan-jalan di bulan Ramadan ini. Di kalangan konsumen kelas menengah, hampir separuh konsumen menekan pengeluaran di pos tersebut. Pos pengeluaran lain yang berbeda dibanding Ramadan tahun lalu adalah THR untuk asisten rumah tangga atau supir pribadi. Yang menarik, 4 persen konsumen kelas atas justru menambah budget THR, sedangkan 35 persen kelas menengah mengurangi pengeluaran untuk THR.
Pola serupa juga terjadi dalam kebiasaan memberi hadiah Ramadan kepada teman dan keluarganya. Lebih dari 30 persen kelas menengah mengurangi pengeluaran hadiah Ramadan. Sementara mayoritas responden kelas atas masih akan membeli hadiah Ramadan dalam jumlah yang sama atau lebih besar dari Ramadan tahun lalu. Menurut Rajiv, “Dari sini kita bisa lihat bagaimana kelas menengah ikut terpukul oleh situasi krisis akibat pandemi ini. Konsumen kelas atas pun terpukul, namun mereka masih punya cukup daya untuk berbagi dengan memberikan THR dan hadiah untuk orang-orang terdekat.”
Sebelum pandemi COVID-19, platform belanja online lebih banyak digunakan untk membeli produk-produk fesyen dan elektronik. Namun sejak pandemik konsumen pun membeli produk lain secara online termasuk kebutuhan sehari-hari termasuk sembako, sayur, makanan jadi, dan buah. Produk yang paling banyak dibeli online adalah vitamin. Sekitar 33 persen konsumen membeli vitamin melalui platform online seperti e-commerce, media sosial, dan sebagainya.
Hidup Sehat, Konsumen Hindari Gorengan dan Minuman Manis
Ramadan tahun ini para konsumen menahan diri mengkonsumsi gorengan dan minuman manis. Setidaknya ada 43 persen konsumen yang mengurangi makan gorengan dan 21 persen konsumen mengurangi minuman manis. Terlebih lagi tahun ini konsumen lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sehingga konsumsi makanan tradisional Indonesia dan makanan pokok buatan sendiri pun meningkat.
Sebanyak 67 persen responden SurveySensum mengungkapkan COVID-19 telah mendorong mereka menekan pengeluaran hingga 43 persen dibanding Ramadan tahun lalu. Di antara kelas menengah yang diwawancara melalui platform SurveySensum, 73 persennya mengencangkan ikat pinggang di Ramadan tahun ini. Di sisi lain, 20 persen konsumen berbelanja dalam besaran yang sama seperti Ramadan tahun lalu bahkan 13 persen konsumen lain justru lebih besar.
“Apabila keseluruhan angka ini kita himpun, secara keseluruhan belanja masyarakat Ramadan tahun ini turun 32 persen dibanding tahun lalu. Kalau kita bagi lagi menurut kelas sosial-ekonominya, kelas ekonomi atas menghemat 23 persen pengeluaran dan kelas menengah 35 persen,” lanjut Rajiv, “Sebagai ilustrasi, misalnya tahun lalu konsumen mengeluarkan 10 juta rupiah selama bulan Ramadan. Belanja kelas ekonomi atas turun hingga 7,7 juta rupiah dan kelas menengah hanya berbelanja 6,8 juta rupiah.”
Yang tak kalah menarik adalah ketika kami meminta konsumen mengingat kembali makanan dan minuman Ramadan tahun lalu selama sahur dan Buka Puasa. Menurut 40 persen konsumen, mereka lebih banyak mengkonsumsi vitamin, suplemen makanan, dan minuman kesehatan di Ramadan ini. Mereka juga lebih banyak mengkonsumsi penambah imunitas, permen vitamin C, suplemen kalsium, sayur, dan buah-buahan.
Rajiv menuturkan, “Sejak pandemik ini, lebih banyak konsumen membeli suplemen kesehatan dan kebutuhan sehari-hari termasuk sembako, sayur, makanan jadi, dan buah secara online. Sekitar 33 persen konsumen membeli vitamin melalui platform online seperti e-commerce, media sosial, dan sebagainya. Padahal sebelum pandemi COVID-19, platform belanja online lebih banyak digunakan untk membeli produk-produk fesyen dan elektronik.“
Meski demikian kekhawatiran konsumen masih tertangkap di gelombang ketiga riset ini. Rajiv menuturkan, “Dalam dua minggu terakhir, kekhawatiran konsumen cenderung stabil, tidak terlalu berlebihan. Namun jika kita bandingkan dengan situasi sebulan lalu, kekhawatiran konsumen meningkat karena dampak virus Corona.” Survey menanyai konsumen berapa bulan situasi akan kembali normal. Sebulan lalu, data menunjukkan konsumen sangat optimis akhir Mei ini situasi akan normal. Pada survey gelombang ketiga ini, rata-rata konsumen memperkirakan situasi akan normal dalam 3 bulan mendatang atau sekitar pertengahan Agustus 2020. Sebagai perbandingan, SurveySensum mengajukan pertanyaan yang sama kepada pelaku bisnis tanah air. Lebih dari separuh pebisnis memperkirakan dampak COVID-19 kembali normal setidaknya dalam 5 bulan atau lebih. Bagi para pelaku bisnis, pandemic ini akan berlangsung cukup lama hingga bulan September atau Oktober.