Mobil Listrik di Jakarta: Solusi Polusi yang Bias Kota
Jika tidak segera diredam, gembar-gembor kebijakan pemerintah–termasuk mobil listrik–hanya jadi solusi bagi orang kota tapi petaka bagi warga desa.
Para pejabat pemerintah belakangan sibuk gembar-gembor tentang penggunaan mobil listrik. Itu dilakukan demi mengatasi polusi udara Jakarta yang semakin memburuk.
Mereka mengimbau aparat, mulai dari pejabat kementerian maupun pemerintah daerah, pegawai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, hingga kepala sekolah, untuk memakai kendaraan setrum.
Dalam perbincangan publik, penggunaan mobil listrik pun masih dianggap salah satu solusi efektif selain penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan kebijakan bekerja dari rumah (work from home). Mobil listrik yang diklaim minim emisi dianggap dapat menguntungkan perkotaan karena mobilitas warga Jabodetabek menjadi lebih ‘bersih’.
Terlepas pro-kontra sebagai solusi, persepsi pemerintah dan publik tentang mobil listrik turut menandakan masih kuatnya bias kota dalam kebijakan. Bias ini terbentuk karena para pembuat kebijakan acap berada di kota dan proses pembuatan kebijakan yang belum berpihak pada wilayah pedesaan. Bias juga mungkin terjadi karena mayoritas percakapan publik menyoroti kawasan perkotaan.
Bias kota merupakan masalah serius. Jika tidak segera diredam, gembar-gembor kebijakan oleh pemerintah–termasuk mobil listrik–hanya menjadi solusi bagi orang kota tapi petaka bagi warga desa.
Baca juga: Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih
Bagaimana Bias Kota Terjadi
Ahli kajian pembangunan dari University of Sussex di Inggris, Michael Lipton, mengidentifikasi bias kota sebagai salah satu masalah utama ketidakmerataan pembangunan di kelompok Selatan atau Global South.
Bias kota dibangun di atas dua argumen: (1) Proses pembangunan di Global South cenderung tidak berpihak pada wilayah pedesaan (2) kecenderungan ini terlembaga dalam struktur politik yang ada yang didominasi oleh kelompok-kelompok perkotaan.
Bias kota mengakibatkan komunitas di pedesaan menanggung dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari sebuah kebijakan yang menopang kepentingan dan menguntungkan kelompok perkotaan serta lebih berkuasa.
Dengan kata lain, kota-desa bukan semata-mata kategori fisik kewilayahan tapi juga kapasitas politik. “Kota” dimaknai ulang sebagai pusat (center) dan desa sebagai pinggiran (periphery).
Kita dapat mengenali bias kota dari fokus pembicaraan yang lebih melihat mobil listrik sebagai produk akhir seperti efisiensi mobil listrik, biaya perolehan, dan lain-lain. Percakapan ini juga diramaikan oleh masyarakat perkotaan sebagai pengguna produk akhir.
Padahal, sebagai sebuah produk, mobil listrik memiliki rantai pasok panjang yang melibatkan berbagai masyarakat lokal di pedesaan. Walhasil, kebijakan apapun terkait mobil listrik akan berdampak baik langsung maupun tak langsung kepada masyarakat setempat.
Baca Juga: Selain di Laut, Udara Jakarta juga Mengandung Mikroplastik
Dampak Berlipat bagi Warga Desa
Rantai pasok mobil listrik berawal dari proses penambangan bahan mineral kritis, khususnya nikel, grafit, dan tembaga–komponen utama baterai mobil listrik. Dalam proses ini, Indonesia merupakan negara kunci karena menguasai 48 persen produksi nikel dunia.
Kendati demikian, masyarakat yang hidup di sekitar tambang nikel justru menanggung dampak negatif secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Laporan Kompas dan katadata.co.id menyatakan ada peningkatan persentase kemiskinan di daerah kaya nikel seperti Sulawesi Tengah (0,11 persen), Sulawesi Tenggara (0,16 persen), dan Maluku Utara (0,09 persen).
Sementara itu, hasil riset La Husen Zuada dari Universitas Tadulako menemukan hanya elit, termasuk elit lokal, yang meraup keuntungan dari geliat penambangan nikel.
Data tersebut bertolak belakang dengan klaim Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, yang menyatakan industri nikel dapat mengurangi angka kemiskinan dan menaikkan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan dan ancaman penghidupan masyarakat di sekitar tambang. Di Halmahera Tengah, misalnya, masyarakat desa yang kesulitan bertani atau berkebun tidak bisa begitu saja beralih ke sektor ekonomi terkait pertambangan karena keterbatasan modal dan keterampilan.
Lebih jauh, laporan organisasi lingkungan Yayasan Auriga juga menunjukkan upaya pertambangan nikel sejak 2012 sudah menyebabkan deforestrasi sebesar 25 ribu hektare di berbagai wilayah Indonesia. Smelter di kawasan industri nikel pun beroperasi dengan menggunakan PLTU sehingga memperparah pencemaran.
Berbagai masalah di atas menunjukkan adanya fenomena tiga ketimpangan atau triple inequalities (adaptasi, kerentanan dan tanggung jawab) dalam kebijakan mobil listrik. Triple inequalities terjadi ketika suatu masyarakat di sekitar tambang harus menanggung efek negatif paling besar dari perubahan iklim itu sendiri. Padahal, mereka memiliki kapasitas adaptasi yang rendah sehingga menjadi sangat rentan.
Pada saat yang sama, warga desa juga harus menanggung dampak masifnya produksi mobil listrik sebagai solusi emisi dan pencemaran yang sebenarnya sebagian besar dihasilkan masyarakat di wilayah perkotaan.
Baca juga: Krisis Polusi Udara di Jakarta Bisa Ancam Kesehatan Reproduksi Perempuan
Tekankan Keadilan Sosial
Diskusi publik tentang mobil listrik harus ditempatkan tidak semata-semata soal inovasi teknologi bersih tapi juga dalam konteks keadilan baik dari sosial maupun kewilayahan.
Hal ini selaras dengan argumentasi pakar sosiologi Sulfikar Amir dalam bukunya Technological State in Indonesia: the Co-constritution of High Technology and Authoritarian Politics. Sulfikar menyatakan suatu teknologi tidak lahir dari ruang hampa. Teknologi menggaungkan dan mewakili bagaimana sebuah masyarakat ditata dan bagaimana sistem politik dikelola.
Singkat kata, mobil listrik di Indonesia menggambarkan bukan hanya ketimpangan sosial antara elit dan masyarakat di akar rumput. Mobil listrik juga menggambarkan ketimpangan spasial antara kota sebagai pusat dan desa sebagai pinggiran.
Pemerintah seharusnya membenahi kebijakan mobil listrik dengan memasukkan aspek keadilan sosial. Aspek ini terkait dengan keterhubungan suatu kebijakan dengan isu spasial, kelas sosial, dan gender..
Ada dua langkah pembenahan yang bisa dilakukan:
Pertama, pembahasan untung-rugi kebijakan mobil listrik yang melihat seluruh rantai pasok mobil listrik dari hulu ke hilir. Dengan kata lain, proses perumusan kebijakan tidak boleh hanya berdasarkan pertimbangan warga di perkotaan (sebagai pusat) tapi juga warga desa (sebagai pinggiran). Pemerintah pusat dapat memfasilitasi forum perencanaan pembangunan dan kebijakan yang bersifat lintas daerah.
Kedua, mendorong proses kebijakan mobil listrik yang inklusif. Kebijakan mobil listrik memang banyak menyangkut aspek teknis. Namun, hal itu tak bisa menjadi pembenaran untuk membiarkan suara dan kepentingan komunitas-komunitas sosial yang rentan dan berisiko terpinggirkan.
Perumusan kebijakan mobil listrik tidak hanya ditujukan untuk warga negara (sebagai objek kebijakan) tapi juga harus melibatkan warga negara (sebagai subjek kebijakan). Hal ini untuk memastikan tidak ada lagi komunitas yang paling sedikit berkontribusi pada emisi karbon, tapi menanggung dampak terbesar kerusakan lingkungan.