Lifestyle

‘Modest Fashion’: Feminisme Muslimah yang Muncul dalam Mode

‘Modest fashion’ menghadirkan semangat feminisme atas kepemilikan tubuh perempuan.

Avatar
  • November 19, 2021
  • 5 min read
  • 819 Views
‘Modest Fashion’: Feminisme Muslimah yang Muncul dalam Mode

Indonesia adalah lahan subur buat industri fashion Muslim berkembang. Setidaknya itu yang disimpulkan dalam laporan State of the Global Islamic Economy Report 2018/2019. Total konsumsinya mencapai US$21 miliar, sedang pertumbuhan rata-rata di angka 18,2 persen per tahun. 

Berangkat dari data itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) berkolaborasi menghadirkan Embracing Jakarta Muslim Fashion Week 2021, (18/11). Tujuannya demi menetapkan posisi Indonesia sebagai pusat fashion Muslim dunia.

 

 

Diselenggarakan di Aquatic Stadium Gelora Bung Karno, Jakarta, kick-off dari Jakarta Muslim Fashion Week yang sedianya dihelat pada Oktober 2022 itu, memperlihatkan potensi dari industri fashion Muslim Indonesia beserta keunggulan yang dimilikinya.

Dalam hal ini Anne Patricia Sutanto, perwakilan KADIN, sekaligus wakil ketua Komite Promosi Fashion Muslim Nasional mengungkapkan, modal utama Indonesia dalam bersaing secara global dalam industri fashion Muslim dunia adalah semangat modesty yang hadir melalui kearifan lokal dalam kebhinekaan.

Semangat modesty dalam kebhinekaan pun hadir dalam tiga parade fashion yang merupakan karya dari 39 desainer dan merek fashion Muslim dalam negeri. Ini terdiri dari 12 Muslim fashion brands, 12 contemporary fashion brands, dan 15 upcoming designers dari berbagai sekolah fashion Indonesia, termasuk di dalamnya Jenahara Nasution, yang telah sukses menembus pasar modest wear dunia.

Modesty, Semangat Gerakan

Fashion Muslim memang tidak pernah terlepas dari semangat modesty. Leslie A. Hahner, dan Scott J. Varda Associate Professor Komunikasi di Universitas Baylor dalam Modesty and Feminisms: Conversations on Aesthetics and Resistance (2012) menjelaskan, semangat modesty yang kita kenal sekarang sangat berbanding terbalik dalam pemaknaan tradisionalnya. Dengan menetapkan sejauh mana perempuan harus menutupi tubuhnya guna menghindari tatapan laki-laki, banyak feminis melihat modesty yang termanifestasikan dalam pakaian seperti jilbab atau cadar sebagai kemunduran. Bahwa perempuan ditindas sedemikian rupa dengan dalih agama.

Baca Juga:  Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Padahal, perempuan Muslim pun berusaha memaknai ulang modesty dengan gerakan yang memberdayakan. Akademisi dari London College of Fashion, Reina Lewis berpendapat, modesty movement memungkinkan perempuan untuk tetap dapat mengeksplorasi pengalaman spiritualitas mereka, menolak hiperseksualisasi, dan merevisi standar patriarki dalam dalih agama atas tubuh perempuan dalam skala individu.

Maura Ross, akademisi dan ketua dari Northwestern University College Feminists bahkan mengungkapkan, modesty menekankan pada pengambilalihan agensi perempuan karena perempuan tidak perlu lagi dipusingkan dengan standar kecantikan yang dibuat oleh laki-laki. Standar ini kerap kali membuat perempuan secara tidak sadar mencari validasi laki-laki hanya untuk membuat mereka terkesan dengan tubuh kita sendiri.

Kritik Modest Fashion

Modesty movement tidak hanya berhenti pada perlawanan para perempuan Muslim untuk memakai pakaian modest sesuai dengan keyakinan mereka sehari-hari. Gerakan ini bahkan sudah merambah ke dunia fashion.

Baca Juga:  Tren Hijab Syar’i: Murni untuk Agama atau Kapitalisme?

Dalam penelitian Wrapped in Meaning: Modest Fashion as Feminist Strategy (2019), Tina Rosenberg, Profesor Studi Performance di Universitas Stockholm bilang, modesty movement yang merambah ke dunia fashion adalah strategi feminis guna melawan rasisme dan seksisme di Barat dan menciptakan ruang berekspresi bagi perempuan Muslim lewat busana.

Perlawanan ini hadir karena fashion kerap dianggap menampilkan ide-ide visual paling progresif dan muncul di Barat. Sebaliknya, Islam dipahami sebagai antitesis. Tidak jarang, cara berpakaian Muslim dianggap sebagai ancaman terhadap multikulturalisme di Eropa-Amerika. Celakanya, argumen semacam itu telah digunakan untuk mendukung larangan dan pembatasan praktik pakaian Islami atas nama modernisasi, sekulerisme, atau emansipasi perempuan. Pada 2004 misalnya, jilbab termasuk di antara serangkaian simbol agama yang dilarang dipakai di sekolah-sekolah umum Perancis.

Lebih lanjut, sejarawan mode Doris de Pont dalam wawancaranya dengan New Zealand Fashion Quarterly berujar, modest fashion tidak hanya tentang menutupi bagian tubuh. Namun, itu mencakup manfaat dan kenyamanan perempuan dalam berpakaian. Sebagian perempuan merasa diri mereka lebih nyaman dan mendapatkan manfaat jika mereka menutup tubuh mereka dengan busana modest. Inilah cara mereka menghindari tatapan laki-laki yang menseksualiasi tubuh mereka. Oleh karena itu, modest fashion bisa dilihat sebagai cara perempuan menolak tubuhnya didefinisikan oleh orang lain.

Baca juga: Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan

Inilah mengapa modest fashion menjadi gaya berbusana yang menarik dan universal. Dalam perkembangannya, tidak hanya perempuan Muslim saja yang tertarik atau terlibat di dalamnya. Banyak perempuan yang memiliki keyakinan berbeda tertarik untuk mengadopsi gaya fashion ini dalam kesehariannya mereka.

Billie Eilish adalah contoh dari bagaimana ide dari modest fashion dipromosikan oleh perempuan non-Muslim. Dilansir dalam Vogue Australia Billie Eilish lebih merasa nyaman dengan pilihannya saat ia masih belum berusia genap 18 dengan balutan busana modest. Ia mengatakan kepada Vogue, pilihannya dari memakai pakaian longgar ala busana modest telah membebaskannya.

“Dengan memakai pakaian seperti ini, maka saya tidak memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menilai seperti apa tubuh saya,” ucapnya.

Kendati modest fashion dianggap sebagai gebrakan dalam dunia fashion, beberapa feminis melihat masalah baru. Dalam penelitian The Commodity Fetish of Modest Fashion, Balbir K. Singh akademisi dari Universitas Harvard menjelaskan, modesty fashion kerap dikomodifikasi atas nama kapitalisme. Komodifikasi modest fashion kemudian hanya akan menjadi alat untuk mengeksploitasi pengalaman spiritualitas perempuan Muslim demi cuan.

Tidak hanya itu, modest fashion yang sedari awal ditujukan untuk melawan hiperseksualisasi tubuh perempuan, nyatanya terjebak latah serupa. Ujung-ujungnya, itu terjebak dalam lingkaran male gaze yang sama. Tubuh perempuan memang sudah tertutupi namun modest fashion tak lebih dari strategi orang-orang di dunia mode. Murni bisnis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *