Issues Opini Politics & Society

Nasib Perempuan Nakes: Terimpit Ketimpangan Gender dan Upah Rendah

Ada beban berlapis-lapis yang harus ditanggung perempuan tenaga kesehatan. Dan pemerintah harus menanganinya segera.

Avatar
  • May 13, 2024
  • 6 min read
  • 913 Views
Nasib Perempuan Nakes: Terimpit Ketimpangan Gender dan Upah Rendah

Awal April lalu, pemerintah daerah setempat memecat 249 tenaga kesehatan (nakes) non-Aparatur Sipil Negara karena berunjuk rasa menuntut kenaikan upah mengikuti standar upah minimum provinsi. Adapun 500 bidan pendidik berstatus honorer gagal diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja setelah surat keputusan mereka dibatalkan karena masalah administrasi. Harapan mereka untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak justru berakhir nestapa.

Dua peristiwa nahas tersebut menggambarkan betapa rentannya nakes yang merupakan bagian sumber daya manusia kesehatan (SDM Kesehatan) di Indonesia. SDM Kesehatan mencakup dokter, dokter gigi, perawat, bidan, kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, apoteker, kesehatan masyarakat, tenaga gizi, dan lainnya. Seluruh jenis SDM Kesehatan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

 

 

Dalam dua peristiwa di Kabupaten Manggarai, perempuan paling banyak dirugikan karena mereka mencakup mayoritas SDM kesehatan yang kehilangan pekerjaan. Masyarakat juga terkena dampak karena pelayanan kesehatan terganggu akibat berkurangnya nakes. Bahkan, keluarga nakes turut merasakan imbasnya karena sebagian mereka yang dipecat adalah kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarganya.

Hari Buruh Sedunia atau May Day setiap 1 Mei seakan menjadi pengingat tentang tantangan yang masih membayangi para pekerja, termasuk perempuan SDM kesehatan. Kerentanan terhadap pemutusan hubungan kerja serta upah tak layak kerap menambah beban perempuan yang berkecimpung di bidang kesehatan.

Baca juga: Diskusi ‘Eksperimen Sosial Kerja Perawatan’: Semua Harus Terlibat

Kerja Perawatan dan Kesetaraan Gender

Sejatinya pemecahan masalah yang dihadapi perempuan SDM kesehatan perlu menggunakan lensa kesetaraan gender. Beban ganda mereka acap dimulai dari keluarga. Beban kerja sebagai anak, ibu, maupun istri berkelindan dengan tuntutan pekerjaan, membuat mereka dalam posisi rentan. 

Perempuan SDM kesehatan sebenarnya menjalankan kerja perawatan ganda, di tempat kerja dan di rumah apabila mengacu definisi kerja perawatan berikut. Kerja perawatan adalah pekerjaan yang memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis, emosional, dan perkembangan orang lain. 

Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, kerja perawatan umumnya diemban perempuan. Merujuk data Kementerian Kesehatan tahun 2024, sedikitnya 77 persen dari sekitar 1,5 juta tenaga kesehatan di Indonesia adalah perempuan. Artinya, kontribusi perempuan dalam menjaga kesehatan masyarakat sangat besar.

Sayangnya, akibat bias gender, kerja perawatan sering dianggap kurang penting bagi ekonomi. Terbukti dari penghargaan profesi tenaga kesehatan, misalnya dalam bentuk upah, yang umumnya masih rendah di Indonesia. Hal ini ironis mengingat gelar pahlawan yang pernah disematkan negara dan masyarakat kepada SDM kesehatan saat pandemi COVID-19.

Selain itu, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan yang bekerja di bidang kesehatan juga cenderung meningkat. Ini berarti perempuan SDM kesehatan mendapatkan gaji lebih rendah dengan beban kerja yang sama. Fenomena ini disebut feminisasi pekerjaan.

Baca juga: Nakes Jadi Alat Industri Jualan Susu Formula, Ini 3 Faktor yang Perlu Diperhatikan

Distribusi SDM Kesehatan

Saat ini, distribusi SDM Kesehatan di Indonesia memang belum merata. Daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) umumnya lebih rawan kekurangan SDM kesehatan. CISDI dalam Buku Putih untuk Pembangunan Sektor Kesehatan Indonesia 2024-2034: Merancang Masa Depan Kebijakan dan Pelayanan Kesehatan sudah menekankan bahwa kurangnya SDM kesehatan di daerah berkaitan salah satunya dengan lingkungan pekerjaan yang masih kurang layak. 

Salah satu faktor yang menghambat perempuan SDM kesehatan bekerja di daerah adalah keamanan. Mereka berisiko mengalami kekerasan di dalam maupun di luar tempat kerja. Sejak 2019 sampai 2023, IDI Papua melaporkan empat kasus kekerasan yang menyebabkan tiga dokter spesialis meninggal dan satu dokter umum terluka berat.

Survei Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun 2023 menemukan 74 persen dari 109 responden SDM kesehatan, terutama perempuan, mengalami kekerasan di tempat kerja. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat sebanyak 3 dari 9 kasus kekerasan terhadap perempuan perawat sepanjang 2022-2023 dilakukan oleh atasan atau rekan kerja.

Jumlah sebenarnya kasus kekerasan terhadap perempuan SDM kesehatan bisa jadi jauh lebih besar. Sebab, penelitian di Jakarta dan Bekasi menemukan lebih dari setengah 169 responden perawat di instalasi gawat darurat rumah-rumah sakit tidak terdorong untuk melaporkan kekerasan di tempat kerja. 

Distribusi juga timpang karena perempuan SDM kesehatan perlu mempertimbangkan pilihan tempat kerja menurut pandangan suami atau keluarga akibat norma gender. Akibatnya, sedikit yang mempertimbangkan bekerja di daerah 3T.

Di luar beban rumah tangga, tak sedikit perempuan SDM kesehatan yang tidak dibayar dalam menjalankan kerja perawatannya. Contohnya, kader kesehatan (community health workers) di posyandu yang sehari-hari mendukung tumbuh kembang anak dan memantau kesehatan ibu di daerah tempat tinggalnya. Pekerjaan mereka termasuk kerja perawatan. Namun sampai saat ini, kebanyakan kader kesehatan bekerja sukarela. Padahal, kader kesehatan dituntut untuk dapat menguasai 25 kompetensi dasar bidang kesehatan.

Seperti SDM kesehatan lain, kader kesehatan juga mengalami kerentanan akibat bias gender. Sebuah penelitian tahun 2022 mendapati perbedaan perlakuan terhadap kader kesehatan perempuan dibanding laki-laki. Kader kesehatan perempuan lebih diharapkan menyisihkan waktu mereka secara sukarela tanpa remunerasi. Mereka belum tentu mendapatkan pelatihan dan insentif materi seperti halnya yang diterima laki-laki. 

Baca juga: #MerekaJugaPekerja: Bekerja 100 Jam Per Minggu tapi Tak Dianggap Produktif

Lingkungan Kerja Layak

Dengan bermacam persoalan kesehatan yang masih membelit Indonesia, pemerintah kerap berfokus pada peningkatan produksi maupun kompetensi SDM kesehatan. Fokus tersebut perlu diperluas agar mencakup upaya mengatasi masalah ketimpangan gender yang mempengaruhi distribusi SDM kesehatan. Diperlukan rangkaian kebijakan yang sensitif gender untuk menciptakan kondisi lingkungan kerja layak (decent work) bagi SDM kesehatan selaku pekerja perawatan. 

Lingkungan kerja layak memberikan SDM kesehatan kebebasan, kesetaraan, dan kehormatan dalam menjalani profesinya. Mereka bisa bekerja di lingkungan yang aman, memperoleh jaminan sosial, ruang karier untuk berkembang, inklusi sosial, kebebasan berserikat, dan tentunya upah yang sesuai beban kerja. 

ILO merekomendasikan pemerintah mengadopsi rangkaian kebijakan dengan konsep 5R untuk kerja layak perawatan, antara lain: pengakuan (recognition), pengurangan (reduction), pembagian (redistribution), perwakilan (representation), dan penghargaan (reward). 

Melalui kebijakan 5R, beban kerja ganda perempuan SDM kesehatan diakui, dikurangi, dan dibagi. Pengakuan bisa dimulai dari survei waktu yang dihabiskan perempuan saat mengerjakan tugas domestik dan pekerjaan di fasilitas kesehatan. Survei dibuat serinci mungkin supaya pekerjaan yang mereka lakukan terukur dan kebijakan dapat disesuaikan. 

Beban administrasi SDM kesehatan juga perlu dikurangi dan dibagi. Pembagian beban kerja antar-jenis SDM kesehatan dapat didukung melalui kebijakan task shifting

Regulasi pekerjaan juga perlu menjamin cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan SDM kesehatan serta pasangannya. Selain itu, penambahan ruang khusus untuk menyusui dan akses pada penitipan anak yang berkualitas juga dapat mengurangi beban domestik.

Kerja keras SDM kesehatan terutama kaum perempuan perlu dihargai melalui lingkungan kerja yang aman, upah terstandar, dan jenjang karier yang jelas. Keamanan perlu dijaga melalui regulasi dan standar operasional prosedur tentang pelaporan dan penanganan kasus kekerasan di tempat kerja.

Terakhir, perempuan SDM kesehatan perempuan perlu mendapatkan ruang untuk mewakili diri dan kelompoknya dalam proses pembuatan hingga evaluasi kebijakan. Kebijakan yang tepat sasaran bermula dari proses yang inklusif dan bermakna.

Dengan pendekatan demikian, perempuan yang memilih menjadi SDM kesehatan tidak lagi menjadi pekerja kelas dua. Keberadaan mereka sama pentingnya dalam mewujudkan layanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.

Clarissa Magdalena, Policy and Advocacy Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)


Avatar
About Author

Clarissa Magdalena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *