Safe Space

Nasib Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan Luput dari Perhatian

Naiknya angka kekerasan selama pandemi menuntut pengada layanan untuk siaga lebih lama, sementara kebijakan pemerintah untuk mendukung mereka belum maksimal.

Avatar
  • August 18, 2020
  • 3 min read
  • 409 Views
Nasib Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan Luput dari Perhatian

Dari segala hal yang terdampak oleh pandemi COVID-19, nasib orang-orang yang bekerja di pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan adalah salah satu hal yang kerap luput dari perhatian masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dirilis 14 Agustus lalu, ada beberapa tantangan baru yang mesti dihadapi orang-orang yang membantu dan mendampingi para korban kekerasan yang melaporkan kasusnya kepada mereka.

Pertama, ada perubahan waktu dan cara kerja lembaga layanan yang dikelola masyarakat maupun pemerintah, dengan waktu layanan menjadi lebih panjang di sebagian besar layanan berbasis masyarakat dan sebagian kecil di lembaga layanan pemerintah. Perubahan waktu dan cara kerja terjadi karena pengalihan layanan langsung (offline) menjadi layanan online/daring.

 

 

Dalam riset yang dijalankan Komnas Perempuan, 31 orang pekerja di lembaga layanan menyatakan waktu layanan yang mereka sediakan lebih panjang, empat orang menyatakan lebih pendek, sementara 13 lainnya menyatakan tetap.

Panjangnya durasi kerja orang-orang di lembaga pengada layanan bisa pula dipengaruhi oleh meningkatnya laporan kekerasan selama pandemi. Dari survei Komnas Perempuan yang dilakukan terhadap 64 lembaga layanan dari 27 provinsi (48 di antaranya adalah layanan berbasis masyarakat dan 16 berasal dari layanan di bawah pemerintah), angka kekerasan yang dilaporkan sebanyak 1.299 kasus termasuk kekerasan terhadap anak perempuan sepanjang Maret hingga Mei 2020. Kasus kekerasan di ranah privat mendominasi dengan persentase 66 persen, di ranah public 21 persen, di ranah negara 2 persen, dan kasus berbasis online sebanyak 11 persen.

Baca juga: Berbekal Jas Hujan dan ‘Face Shields’, Layanan Kasus KDRT Terus Berjalan

Data dalam laporan Komnas Perempuan ini dikumpulkan dengan cara menyebarkan angket via e-mail dan Whatsapp kepada pengada layanan, melalui Focus Group Discussion (FGD), dan juga wawancara mendalam untuk memperkaya temuan dari angket maupun FGD.

Menurut pengakuan salah satu pekerja di lembaga layanan di Maluku, salah satu korban yang melapor kepadanya mengatakan bahwa suaminya depresi karena pekerjaan mereka lebih banyak di sektor informal.

“Suami [korban] lebih bereaksi melakukan kekerasan fisik dan lebih brutal. Biasanya intensitasnya tidak terlalu, tapi di bulan Juni ini saja, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hampir sekitar 20-an kasus dan itu kekerasan fisik dengan kondisi yang lebih parah dibanding sebelumnya,” kata dia.

Sementara salah satu pekerja di lembaga layanan Labuan Batu, Sumatra Utara, mengatakan sempat menerima aduan dari korban yang tinggal di Kabupaten Langkat mengenai KDRT yang bersifat fisik dan ekonomi. Dalam melayani korban tersebut, ia harus bersiaga dari malam hingga pukul 4 subuh.

Durasi layanan lebih panjang dan banyaknya laporan kekerasan yang diterima pengada layanan kemudian berdampak pada kualitas layanan sehingga menjadi kurang maksimal. Korban perempuan disabilitas termasuk yang sulit untuk dijangkau dan mendapatkan layanan maksimal selama masa pandemi.

Baca juga: SDG Talks: Perlunya Layanan Satu Atap untuk Korban Kekerasan Berbasis Gender

Di samping itu, pengada layanan juga menghadapi tantangan dari segi penyediaan rumah aman bagi korban. Komnas Perempuan melaporkan bahwa layanan ini tidak dapat diakses dengan mudah oleh para korban karena adanya persyaratan COVID-19. Bahkan di sejumlah wilayah, rumah aman ditutup selama pandemi dengan alasan keamanan. 

Berkurangnya anggaran layanan bahkan hingga 75 persen juga berdampak pada kualitas layanan, terutama di lembaga layanan berbasis pemerintah. Sementara, lembaga layanan berbasis masyarakat harus berjuang mencari dana secara mandiri. Bahkan, mereka mesti mengeluarkan biaya lebih untuk belanja Alat Pelindung Diri (APD) jika harus menemui korban dalam situasi mendesak.

Risiko kesehatan juga mengekori para pendamping dan relawan, khususnya ketika mereka harus melayani korban secara langsung di lokasi dampingan, sementara lokasinya jauh dari tempat tinggalnya karena belum semua korban memiliki fasilitas komunikasi yang dibutuhkan. 

Sementara menghadapi risiko ini, dukungan dari pemerintah yang spesifik melindungi pendamping (dan korban) selama pandemi berlangsung seperti penyediaan rapid test gratis belum dirasakan oleh para pengada layanan. Protokol penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan selama masa krisis ini pun juga belum kuat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita