Berbekal Jas Hujan dan ‘Face Shields’, Layanan Kasus KDRT Terus Berjalan
Dengan berbagai keterbatasan, lembaga layanan untuk kasus KDRT tetap bekerja membantu korban.
Di tengah kondisi pandemi corona (COVID-19) yang mengharuskan banyak aktivitas dan pekerjaan dikerjakan dari rumah, layanan aduan dan penanganan kasus kekerasan di ranah privat tetap tersedia. Para penyintas kekerasan bisa menjangkau dan mendapatkan layanan ini baik secara virtual melalui jaringan internet di berbagai platform yang telah disediakan, mau pun melalui sambungan telepon.
Beberapa instansi yang mengakomodasi layanan ini di antaranya adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
Direktur LBH APIK Siti Mazumah mengatakan, layanan ini tetap dijalankan dengan menerapkan serangkaian penyesuaian, terutama penerapan protokol kesehatan bagi para petugas maupun penyintas. Salah satu langkahnya adalah dengan membatasi jumlah kunjungan ke kantor dengan membatasi waktu operasional kantor.
“Kami menerapkan pembatasan jam kerja, hanya dari hari Senin sampai Rabu. Ada penetapan standar kesehatan ketika bertatap muka juga. Pengacara yang mendampingi penyintas diwajibkan menggunakan APD darurat berupa jas hujan dan face shield,” kata Siti, dalam konferensi pers virtual “AXA Mandiri & AXA Mendukung Perempuan Indonesia melalui Program Aman untuk Semua” (10/6).
“Penyintas yang akan datang ke kantor harus terlebih dahulu membuat janji. Di kantor, kontak fisik antara pengacara dan penyintas juga dibatasi. Misalnya dengan tidak mengelus atau memeluk penyintas yang menangis seperti di hari-hari biasa,” tambahnya.
Penyintas juga bisa menghubungi LBH APIK lewat hotline di nomor 081388822669 yang aktif dari hari Senin sampai Jumat pukul 9.00 WIB sampai 19.00 WIB untuk mengadukan kasus kekerasan yang dialaminya.
Selain LBH Apik, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta juga mulai memfokuskan programnya pada pelayanan dan pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan di ranah privat yang bisa dijangkau dengan internet dan telepon.
Baca juga: Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat
“Kami pastikan kami tetap buka di masa pandemi ini. Tapi dengan SOP yang sudah kami tetapkan, yaitu penjangkauan di langkah pertama dilakukan secara virtual. Tapi bila dibutuhkan penjangkauan, akan kami layani secara face to face,” kata Tuty Kusumawati, Kepala Dinas PPAPP Jakarta.
Tutty menyebutkan beberapa jaringan komunikasi yang bisa dijangkau anak dan perempuan di wilayah DKI Jakarta, seperti call center 112 (Jakarta Siaga), aplikasi Jakarta Aman, dan hotline Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di nomor 081313617622.
Sementara itu, Kementerian PPPA mulai melakukan penambahan fungsi dalam periode kerja tahun 2019-2024 ini, yang semula hanya fungsi kebijakan, kini ditambah fungsi pelayanan rujukan akhir ke tingkat nasional dalam perlindungan perempuan dan anak. Selama pandemi, program prioritasnya difokuskan pada perempuan, khususnya ibu hamil dan menyusui, anak, serta penyandang disabilitas sebagai pihak yang rentan mengalami kekerasan di ranah privat selama pandemi.
“Kementerian PPPA menyediakan layanan online untuk penyintas, dimulai dari mekanisme pelaporan, pendampingan, sampai penanganan,” kata Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu
Untuk menyediakan layanan yang bisa diakses hingga berbagai penjuru wilayah, Kementerian PPPA menjadikan akses layanan di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) yang memiliki keterbatasan akses jaringan internet sebagai isu prioritas agar para penyintas dari penjuru Indonesia bisa tetap melapor.
“Kami memang memiliki anggaran-anggaran yang dialokasikan untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten untuk masalah ini. Tapi kami tidak bisa bekerja sendirian. Kami bekerja sama dengan kementerian dan pihak lain yang memiliki akses terhadap wilayah tersebut, seperti Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Sosial, BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), dan lain-lain,” kata Pribudiarta.
Baca juga: Hotline Pengaduan KDRT: Banyak Laporan, Sumber Daya Terbatas
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan terjadi selama beberapa bulan pertama pandemi COVID-19. Menurut Siti Mazuma, kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan kepada LBH APIK.
“Dari tanggal 16 Maret 7 Juni, kami menerima lebih dari 90 aduan kasus kekerasan pada perempuan di ranah privat. Bagi penyintas KDRT, rumah bukanlah tempat yang aman selama pandemi,” kata Siti.
Niharika Yadav, Presiden Direktur AXA Financial Indonesia dan AXA Indonesia Global Sponsor of Diversity and Inclusion, menilai KDRT bisa terjadi akibat adanya ketimpangan kekuasaan dalam keluarga.
“Ini diwujudkan dalam yang berbagai bentuk. Tidak terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga pelecehan verbal, emosional, dan ekonomi. Kita harus menjadi solid bersama mereka yang berjuang melawan ketidaksetaraan gender dan memerangi stigma gender di semua tingkatan,” katanya.
Selain KDRT, kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan kepada LBH Apik di bulan kedua penerapan work from home. Menurut Siti Mazuma, kekerasan ini berupa ancaman berbau seksual yang dilakukan terhadap seseorang melalui platform komunikasi digital.
“Bentuk kasusnya adalah penyebaran video dan foto intim. Modusnya macam-macam. Yang pertama itu eksploitasi seks. Korban diajak berhubungan seksual atau diminta memberikan uang dalam jumlah tertentu. Kalau menolak, diancam video hubungan intimnya akan disebar. Pelakunya bisa orang-orang terdekat korban, bisa juga fake accounts,” katanya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.