Gender & Sexuality Issues Politics & Society

Lagi-Lagi Perempuan Jadi Korban: Menelisik Krisis Kemanusian di Sudan

Perempuan kembali korban paling rentan di tengah konflik perebutan kekuasaan di Sudan.

Avatar
  • November 14, 2024
  • 7 min read
  • 148 Views
Lagi-Lagi Perempuan Jadi Korban: Menelisik Krisis Kemanusian di Sudan

Beberapa waktu lalu lini media massa sempat dipenuhi dengan tagar #KeepEyesOnSudan. Tagar ini muncul setelah muncul pemberitaan beberapa perempuan di Sudan memilih untuk bunuh diri akibat takut menjadi korban kekerasan seksual paramiliter Sudan, Rapid Support Forces (RSF). Ian Wafiula, koresponden BBC Afrika melaporkan kasus bunuh diri akibat pemerkosaan ini menyusul pembelotan Abu Aqla Kayka, komandan tertinggi RSF di negara bagian tersebut baru-baru ini.

“RSF melakukan kampanye balas dendam di wilayah yang dikuasai Abu Kayka. Mereka menjarah, membunuh warga sipil yang melawan, dan memperkosa perempuan dan anak perempuan,” Hala al-Karib, kepala Prakarsa Strategis untuk perempuan di Tanduk Afrika (Siha) kepada BBC.

 

 

Siha mendokumentasikan kekerasan berbasis gender di Sudan selama konflik telah mengonfirmasi tiga kasus bunuh diri oleh perempuan selama seminggu terakhir di negara bagian Gezira. Namun angka bunuh diri ini disinyalir bisa lebih tinggi karena pemadaman telekomunikasi (telecommunication blackout).

Sedangkan seorang aktivis perempuan dari Gezira sempat mengatakan kepada BBC bahwa ia telah mengonfirmasi laporan tentang perempuan yang bunuh diri setelah diperkosa oleh milisi RSF, yang juga telah membunuh lima saudara laki-lakinya dan beberapa pamannya juga di Al Seriha. Namun seperti Siha, ia mengatakan mustahil untuk memverifikasi laporan di media sosial tentang laporan bunuh diri massal perempuan yang takut diperkosa mengingat masalah komunikasi.

Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina

Penjelasan Singkat Soal Situasi di Sudan

Kasus bunuh diri ini adalah puncak kekerasan seksual di Sudan sejak terjadinya konflik perebutan kekuasan antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan RSF pasca kudeta Presiden diktator Sudan, Omar al-Bashir yang berkuasa sejak 1989. Sebagai diktator terlama di Sudan, Bashir dikenal sebagai pemimpin yang korup bahkan jadi buronan internasional atas kejahatan perang yang ia lakukan di Darfour.  

Melansir dari Vox, Bashir mengandalkan berbagai sektor keamanan untuk melindunginya agar tidak digulingkan, salah satunya adalah dengan meloloskan undang-undang menempatkan Mohamed Hamdan Dagalo (alias Hemeti), pemimpin RSF langsung di bawah komandonya. Hal ini membuat kekuatan militer RSAF jadi tak kalah besarnya dengan SAF yang sebelumnya jadi satu-satunya angkatan bersenjata resmi yang diakui pemerintahan Sudan.

Demi membangun jaringan keamanan ini, pemerintah Bashir mengalokasikan sekitar 60 hingga 70 persen anggaran pemerintah hanya untuk sektor keamanan. Sementara rakyat Sudan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan harga pangan bahkan naik hingga 150-200 persen di atas rata-rata di tahun 2018 menurut Assessment Capacities Project (ACAPS). Krisis ini kemudian yang menyebabkan revolusi terbesar dalam sejarah Sudan.

Pada tanggal 19 Desember 2018, berbagai protes meletus di kota-kota kecil di seluruh hingga akhirnya mencapai ibu kota negara, Khartoum. Protes-protes ini membuat RSF serta SAF mempertimbangan posisi mereka di pemerintahan diktator Bashir. Pada April 2019 keduanya memutuskan untuk memihak kepada masyarakat yang berujuk rasa dan melakukan kudeta militer demi menggulingkan Bashir.

Berakhirnya rezim Bashir membawa harapan bagi para masyarakat Sudan, tetapi mereka tetap skeptis terhadap orang-orang yang telah menggulingkannya. Apalagi secara de facto Sudan resmi dipimpin oleh Abdel Fattah Burhan, pimpinan SAF. Menambahkan dari BBC, Di tengah carut-marut kondisi politik Sudan pasca kudeta inilah Burhan dan Hemeti dari RSF malah terus berusaha mengambil alih kendali negara dan berulang kali berjanji untuk menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil, yang akan membawa Sudan ke jalur demokrasi dengan mengadakan pemilihan umum.

Namun mereka terus membatalkan janji-janji mereka dan berbalik melawan satu sama lain untuk mendapatkan kekuasaan. Konflik pun semakin memanas setelah pada 2021 Hemeti berusaha mengambil alih pemerintahan Burhan dan puncaknya terjadi pada April 2023 saat anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri dalam sebuah langkah yang dilihat oleh militer sebagai sebuah ancaman.

Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis

Perempuan yang Kembali Jadi Korban

Perebutan kekuasaan di antara dua kekutaan militer ini membaca bencana kemanusiaan di Sudan. Lebih dari separuh penduduknya, sekitar 26 juta orang, kini juga menghadapi krisis kelaparan. Sebuah laporan pada bulan Mei dari Clingendael Institute bahkan sempat memperingatkan hingga 2,5 juta orang berpotensi meninggal karena kelaparan pada bulan September tahun ini.

Selain itu, lebih dari 10 juta orang, yang mewakili 20 persen populasi juga telah mengungsi. Lebih dari 2,2 jutanya mengungsi ke negara-negara lain sejak konflik dimulai, sementara hampir 7,8 juta orang mengungsi di dalam negeri, yang membuat Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan situasi ini menjadikan Sudan sebagai negara dengan krisis pengungsian terbesar di dunia.

Situasi di Sudan semakin mengerikan menyusul adanya laporan U.N. Women yang menyoroti kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis gender. Dalam laporan berjudul Gender Alert Women and girls of Sudan: Fortitude amid the flame of war, U.N Women mencatat hampir 5,8 juta perempuan sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Kerentanan ini hadir karena U.N sendiri mencatat adanya persebaran kasus pemerkosaan individu maupun massal di Sudan, namun angkanya masih belum bisa dipastikan karena banyak perempuan enggan melaporkan kasusnya akibat stigma yang kuat.

Usia korban berkisar antara 8 dan 75 tahun. Menurut para penyintas yang bersedia diwawancarai, pemerkosaan terjadi di rumah mereka dan terkadang saat mereka melarikan diri atau mencari perlindungan. Korban dipukuli, dicambuk, dan diancam akan dibunuh atau disakiti kerabat atau anak-anak mereka, sebelum diperkosa. Lebih jauh lagi, pembela hak asasi manusia perempuan, jurnalis, dan tenaga medis menjadi korban kekerasan seksual, yang U.N Women sebut merupakan taktik pembungkaman.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB juga menemukan bukti perempuan dan anak perempuan diculik oleh RSF di Darfur dan Khartoum Raya. Ini dilakukan untuk memperkosa atau mengeksploitasi korban secara seksual. Mereka sengaja dibawa ke lokasi yang tidak diketahui diancam dengan kekerasan atau kematian jika mereka mencoba meninggalkan atau melawan kekerasan seksual.

Baca Juga: #RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza

Di Darfur, tindak kekerasan seksual ini dilakukan menggunakan senjata api, pisau, dan cambuk untuk mengintimidasi atau memaksa korban sambil menggunakan hinaan yang merendahkan, rasis, atau seksis serta ancaman pembunuhan. Kekerasan sering terjadi di depan anggota keluarga, yang juga berada di bawah ancaman. Hodan Addou, direktur regional PBB untuk Perempuan untuk Afrika Timur dan Selatan pada 27 September lalu bilang kalau kekerasan berbasis gender utamanya pemerkosaan memang secara sengaja digunakan sebagai senjata konflik di Sudan.

“Banyak dari mereka melihat orang-orang yang mereka cintai terbunuh di depan mata mereka. Mereka telah melihat kekerasan seksual yang brutal terhadap anak-anak, terhadap perempuan yang digunakan sebagai cara untuk menimbulkan lebih banyak trauma, lebih banyak ketakutan pada masyarakat,” katanya pada dikutip dari VOA.

Pernyataannya ini sejalan dengan apa yang disampaikan Claudia Card dalam bukunya yang berjudul “Rape as a Weapon of War” (1996). Card menemukan bahwa banyak pemerkosaan dalam perang atau konflik memang terjadi bukan hanya sebagai produk sampingan melainkan strategi untuk menundukkan musuh karena memang tujuan penindas adalah mengendalikan kekerasan dengan menciptakan monopoli kekuatan yang sah.

Pemerkosaan dalam hal ini jadi senjata teror yang ampuh untuk memastikan kuasa absolut tersebut. Dalam struktur budaya yang dibangun oleh ide-ide patriarki, perempuan seringkali didudukkan sebagai pilar komunitas, sebagai ibu atau calon ibu, sehingga perkosaan terhadap perempuan dari kalangan musuh dapat memiliki efek antar generasi yang merusak solidaritas keluarga, komunitas dan masyarakat yang diduduki, meruntuhkan mental musuh, atau memperkuat ikatan antar serdadu.

Pemerkosaan juga dianggap berhubungan langsung dengan martabat manusia, sehingga dianggap sebagai senjata teror sekaligus “ekspresi kemenangan”. Pemerkosaan yang dialami perempuan Sudan ini kemudian dilaporkan oleh The African Centre for Justice and Peace Studies (ACJPS), berakibat pada kehamilan tidak diinginkan. Beberapa dari korban akhirnya ada yang terpaksa melanjutkan kehamilan tidak mendapatkan perawatan medis. Dengan situasi seperti ini, U.N Women pun mendesak adanya tindakan darurat untuk melindungi perempuan dan anak perempuan.

“Kami menyerukan akuntabilitas dan pemberian keadilan bagi semua korban. Semua pihak yang terlibat dalam konflik kekerasan ini harus dimintai pertanggungjawaban. Kita tidak boleh membiarkan Sudan menjadi krisis yang terlupakan,” kata Addou.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *