People We Love

Nh. Dini: Semarang, Perempuan, dan Jejak yang Tak Luruh

Mari mengenang Nh. Dini lewat kota kelahirannya, Semarang, yang membentuk cara pandangnya tentang kehidupan, perempuan, dan perlawanan terhadap patriarki.

Avatar
  • March 6, 2025
  • 5 min read
  • 1591 Views
Nh. Dini: Semarang, Perempuan, dan Jejak yang Tak Luruh

Jika Nh. Dini masih hidup, ia seharusnya merayakan ulang tahunnya yang ke-89 pada 29 Februari lalu. Mungkin ia akan tersenyum kecil, menyadari bahwa tanggal kelahirannya yang muncul hanya sekali dalam empat tahun semakin mengukuhkan jejaknya sebagai sosok yang tak biasa.

Hampir bersamaan dengan hari lahirnya bulan lalu, saya mengunjungi Dugderan di Semarang. Hiruk-pikuk pasar malam itu masih seperti yang ia gambarkan: lampu-lampu berpendar, anak-anak berlarian dengan balon di tangan, dan aroma jajanan yang menyeruak di udara. Dalam keramaian itu, seolah saya bisa melihat Dini kecil duduk di pangkuan ibunya di atas becak, jemarinya menggenggam erat tangan kedua kakak perempuannya, Maryam dan Heratih. Sementara itu, sang ayah berbagi becak dengan Teguh dan Nugroho, dua kakak laki-laki Dini.

 

Mereka sedang dalam perjalanan menuju Dugderan, perayaan khas Semarang yang menyerupai pasar malam untuk menyambut Ramadan. Ketika tiba di alun-alun, lautan manusia telah memenuhi setiap sudut. Bau makanan menguar di udara, bercampur dengan gelak tawa dan suara pedagang yang memanggil pembeli. Di tengah keriuhan, tangan kecil Dini tak pernah lepas dari genggaman keluarganya.

Tak lama, Teguh menarik tangan ayahnya, mendesak agar mereka segera menonton pertunjukan “orang makan ayam hidup,” tontonan yang kala itu menggoda rasa ingin tahu anak-anak. Sementara itu, saudara-saudaranya yang lain mencoba peruntungan di permainan lempar gelang, berharap membawa pulang hadiah dari malam yang penuh gemerlap ini.

Fragmen masa kecil Nh. Dini bukan sekadar bagian dari ingatannya, tetapi juga menjadi sejarah yang tertanam dalam sastra Indonesia. Ia tidak hanya menempatkan Semarang sebagai latar, melainkan menjadikannya ruang batin yang membentuk cara pandangnya tentang kehidupan, perempuan, dan perlawanan terhadap patriarki.

Baca juga: 8 Buku Fiksi Indonesia Wajib Baca Sebelum Usia 30

Membaca Nh. Dini, membaca Semarang dalam sejarah dan ingatan

Semarang hadir dalam banyak karya Nh. Dini, termasuk Sekayu (1988), satu dari 15 buku dalam seri cerita kenangan yang ia tulis. Dalam seri ini, Dini kerap menghidupkan kembali Semarang dalam berbagai masa—sebuah kota dengan bukit dan laut, dengan hiruk-pikuk dan kesunyian, yang memberinya pengalaman batin mendalam. Pengalaman yang kelak menjadi tumpuan dalam menghadapi perubahan nasib dan berbagai konflik hidup.

Dalam Sebuah Lorong di Kotaku (1978), ia menggambarkan Semarang di penghujung kolonialisme Belanda, sementara Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979) merekam bagaimana kota ini berubah di bawah pendudukan Jepang.

Buku-buku ini, meskipun berkisah tentang dirinya, tidak pernah menjadi catatan hidup yang terlalu berpusat pada dirinya. Nh. Dini menuliskannya dengan disiplin deskriptif yang tekun dan tajam, menjauh dari kecenderungan glorifikasi diri. Ia tidak hanya bercerita tentang pergolakan zaman, tetapi juga keteguhan seorang perempuan yang terus mencari makna dalam perjalanannya.

Lebih dari sekadar menulis tentang masa kecilnya, Nh. Dini adalah pengisah perempuan yang mandiri dan berani melawan takdir yang ingin menjadikannya sekadar bayangan. Dalam fiksinya, ia menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang teguh, seperti di Pada Sebuah Kapal (1972), Keberangkatan (1977), dan Namaku Hiroko (1977).

Tokoh-tokoh dalam novel-novel itu memiliki satu benang merah: mereka adalah perempuan yang menolak tunduk pada batasan yang ditetapkan masyarakat. Dengan keberanian yang tak selalu meledak-ledak, tetapi mengakar kuat, mereka memperjuangkan hak untuk menentukan hidup mereka sendiri.

Dini seolah ingin menggugat anggapan bahwa perempuan hanya pantas menjadi pelengkap laki-laki. Sikap ini mungkin terasa bertolak belakang dengan latar belakangnya, yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga Jawa yang menjunjung tinggi tradisi. Namun, justru dari dalam tradisi itu ia melihat bagaimana perempuan sering kali hanya diposisikan sebagai penghias, dan dari sanalah ia melawan.

Baca juga: ‘Yang Terlupakan dan Dilupakan’ Angkat Kisah Penulis Perempuan Lokal

Di balik kata, di balik kritik

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Nh. Dini sudah menulis sajak dan syair. Hingga akhir hayatnya, ia telah melahirkan 12 novel, 15 cerita kenangan, tujuh kumpulan cerpen, empat terjemahan, serta dua buku biografi.

Karya-karyanya mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (2003), Francophonie (2008), dan Lifetime Achievement Award dalam Ubud Writers and Readers Festival (2017).

Namun, kritik terhadap karyanya juga tidak sedikit. Goenawan Mohamad, misalnya, pernah menilai bahwa Pada Sebuah Kapal memiliki prosa yang “mudah menguap” dan menyoroti bagaimana tokoh antagonis dalam cerita itu, Charles Vincent, tidak diberi kesempatan membela diri.

Kritik lain datang dari Sapardi Djoko Damono, yang berpendapat bahwa bagian kedua dari novel tersebut sebaiknya dihilangkan. Dalam esainya Bergoyang dalam Sebuah Kapal, ia menilai bahwa tanpa tambahan itu, novel tersebut sudah cukup utuh dan kuat.

Dalam tulisannya di Magdalene, penulis Intan Paramaditha mengatakan bahwa penulis perempuan pada tahun 80-an banyak mendapatkan asumsi-asumsi seperti hanya memedulikan isu-isu feminin dan domestik, dan tidak menyentuh gagasan-gagasan besar seperti bangsa dan nasionalisme. Padahal, menurut Intan, pembacaan karya Nh. Dini secara mendalam akan memunculkan gagasan kosmoplitanisme yang berhubungan dengan gagasan tentang kebangsaan. Nh. Dini juga mengkritik hubungan Timur-Barat yang timpang di ranah global.

Namun, kritik tidak menghapus posisi Nh. Dini dalam sejarah sastra Indonesia. Ia menulis dengan tekun, tanpa dramatisasi berlebihan, tetapi tetap mampu menghidupkan dunia yang ia kisahkan.

Baca juga: Han Kang, Sastrawan Perempuan Asia Pertama Pemenang Nobel Sastra

Ketika Nh. Dini menulis tentang Dugderan dalam Sekayu, ia menggambarkan betapa magisnya malam itu bagi seorang anak kecil—ramai, meriah, penuh warna. Kini, Dugderan memang tak lagi digelar di alun-alun seperti yang ia ceritakan, melainkan menyebar di sepanjang Jl. Ki Nartosabdo dan H.H. Agus Salim, di utara alun-alun. Namun, esensinya tetap sama.

Di tengah keramaian itu, saya membayangkan Dini kecil masih ada di sana, matanya berbinar melihat ikan warna-warni di dalam plastik bening, terperangah menatap udang merah di akuarium kecil milik pedagang.

Selamat ulang tahun, Bu Nh. Dini. Jejakmu tetap ada, dalam tulisan dan dalam ingatan mereka yang mencintai sastra.

Adinan Rizfauzi adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sempat aktif di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes. Kini tulisannya tersebar di beberapa media, seperti Konde, Mojok, dan Whiteboard Journal.



#waveforequality
Avatar
About Author

Adinan Rizfauzi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *