Nilai-nilai Heteronormatif Masih Menonjol dalam Hubungan Gay
Gay sangat lekat dengan maskulinitas yang rapuh sehingga nilai-nilai heteronormatif pun masih diadopsi.
Kita hidup di dunia heteronormatif, yang berarti bahwa nilai-nilai yang menjadi pijakan kita adalah nilai-nilai heteroseksual. Ini juga berarti bahwa menjadi heteroseksual adalah yang benar, dan sebaliknya, menjadi homoseksual adalah salah.
Sadar atau tidak, hal ini diamini juga oleh banyak sekali dari mereka yang homoseksual. Kita masih bisa sedikit memaklumi, mengingat kebencian terhadap orang homoseksual begitu besar, sehingga orang takut untuk menerima dirinya sendiri, bahkan untuk sekadar mencari tahu lebih jauh apa itu homoseksualitas dan apakah benar menjadi homoseksual itu memang “salah”. Apalagi mengeksplorasi seksualitasnya, itu menjadi hal yang lebih menakutkan.
Saat kita mengeksplorasi seksualitas diri kita sebagai homoseksual pun, kita kemudian akan berpatokan lagi pada nilai-nilai heteronormatif.
Orang heteroseksual akan bertanya “yang jadi ceweknya siapa?” pada pasangan gay, dan “yang jadi cowoknya siapa?” pada pasangan lesbian. Itu karena asumsi mereka, seks “normalnya” hanya dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu yang homoseksual, meski mengakui hubungan seksual yang terjadi adalah antar laki-laki atau perempuan, mereka akan mengelompokkan ke dalam top (yang melakukan penetrasi dalam seks anal) dan bottom bagi gay, serta butch dan femme bagi lesbian. Seolah-olah harus ada yang menjadi dominan dan submisif, harus ada superior dan inferior, harus ada yang berperan sebagai laki-laki dan yang berperan sebagai perempuan.
Saya akan fokus dalam hubungan gay di sini karena saya tidak tahu banyak soal hubungan (seksual) lesbian (serta untuk menghindari mansplaining).
Dalam hubungan seksual antara sesama laki-laki, saya sering kali menemukan bahwa yang dianggap sebagai hubungan seksual adalah seks anal. Ini menjadikan mereka yang tidak melakukan seks penetratif sebagai liyan. Dalam situs kencan, banyak pria-pria gay yang memasang peran mereka dalam hubungan seks penetratif tersebut. Top atau bottom atau versatile (bisa sebagai top, bisa juga sebagai bottom).
Saya pribadi tidak mengalami kebingungan walaupun saya tidak termasuk ketiganya. Saya tidak menyukai seks anal (dulu, ketika masih lajang), dan saya hanya perlu menyampaikan itu ketika ada ajakan berhubungan seksual. Ternyata tidak sulit menemukan orang-orang yang bersedia melakukan hubungan seksual non-penetratif, meskipun saya tidak tahu pasti apakah mereka menikmatinya.
Namun masih banyak orang yang tidak seberani saya. Masih banyak yang semakin takut mencoba hubungan seksual karena dirinya tidak mau melakukan hubungan seks anal, dan takut dihujat: “Sudah homo tidak mau melakukan seks anal pula.” Perasaan terasing yang dialami jadi semakin berlapis. Makin berlapis lagi bagi mereka yang tidak mau mencoba berhubungan seks, atau mau tapi tidak berani mencoba, atau aseksual.
Saya sendiri dulu pernah dicap “bottom in denial”, seorang bottom yang menyangkal jati dirinya. Padahal saya memang pada waktu itu tidak mau melakukan seks anal, dan hasrat saya tidak ke arah sana.
Seks itu seharusnya menyenangkan. Yang diperlukan hanyalah kesepakatan, adaptasi, dan tentunya keamanan. Menurut saya, jika sudah sama-sama sepakat melakukan hubungan seks, yang perlu dilakukan hanyalah penyesuaian. Tidak perlu ada hal-hal lain lagi yang diharuskan. Kamu tidak harus jadi bottom. Kamu tidak harus jadi top. Masih banyak cara lain untuk mengeksplorasi tubuh selain melakukan seks anal. Saya tidak akan mengajari bagaimana caranya. Bagi saya, hal itu bisa diketahui jika dipraktikkan. Kita tidak akan menemukan cara eksplorasi yang tepat tanpa praktik. Namun, kita bisa menemukan bagaimana caranya belajar menghargai tubuh kita dan tubuh orang lain dan bagaimana melakukan seks yang aman sebelum berpraktik. Ini bahkan merupakan suatu keharusan.
Satu lagi permasalahan dalam pengadopsian nilai-nilai heteronormatif dalam hubungan gay adalah bagaimana seorang gay mengaitkan peran dalam hubungan seks anal dengan femininitas dan maskulinitas. Gay sangat lekat dengan maskulinitas yang rapuh (sama halnya dengan laki-laki pada umumnya). Maka dalam budayanya, sangat melekat sekali bahwa seorang top tidak boleh feminin. Bottom pun juga tidak boleh. Banyak yang beralasan “ya gue kan gay, maunya sama laki. Kalau sama yang ngondek (alias feminin) ya mending gue jadi straight (alias hetero) aja!”
Bottom harus maskulin, top harus lebih maskulin lagi. Begitu idealnya.
Orang akan dengan nyinyir berkata “masa bottom ketemu bottom?!” ketika menolak eksistensi seorang top yang ekspresinya feminin. Beberapa mungkin memberikan toleransi. Menjadi bottom boleh saja feminin, toh dia yang mengambil “peran perempuan”. Tapi seorang top, tidak boleh. Dia harus maskulin.
Di luar ranjang, peran top–bottom ini terus diadopsi. Seorang top dituntut untuk melakukan peran sebagai seorang yang aktif. Melindungi, menjaga, dan memberi dalam hal apa pun. Sementara bottom akan menjadi pihak yang manja dan haus kasih sayang. Padahal, peran ranjang tidak ada kaitannya sama sekali dengan peran sosial. Bahkan tidak ada kaitannya dengan ekspresi dan identitas gender. Bahkan dalam hubungan heteroseksual pun, hubungan sosial yang baik adalah hubungan yang seimbang. Sama halnya dalam hubungan seksual, dalam hubungan sosial pun tidak ada yang namanya keharusan. Laki-laki tidak harus menjadi superior dan aktif, perempuan tidak harus inferior dan pasif.
Tentu saja laki-laki boleh aktif dan superior, perempuan boleh pasif dan inferior, namun ini haruslah dari hasil kesepakatan dan penyesuaian, bukannya sebuah keharusan. Maka bukankah dalam hubungan gay sebaiknya juga begitu?
Hidup di dunia yang heteronormatif memang sulit bagi kita, orang-orang homoseksual (bahkan bagi hetero sendiri pun sebenarnya menyulitkan). Namun jika kita sudah menerima diri sendiri, jika kita akhirnya menemukan teman-teman yang juga homoseksual (yang mana tidaklah begitu mudah), maka sebaiknya kita terus melakukan pencarian dan mengkritik apa yang kita tahu dan temukan. Karena saat kita menerima diri sebagai homoseksual, atau bahkan saat di mana kita merasa tersiksa (dalam bentuk apa pun) karena menjadi seorang homoseksual, saat itulah sebenarnya batin kita sudah menolak heteronormativitas, dan sebaiknya, kita terus melakukannya.
Budi Winawan adalah seorang video editor di sebuah televisi swasta yang juga memiliki bakat menulis. Suka membaca berbagai bacaan mulai dari nonfiksi, novel, kumpulan cerpen, puisi, sampai komik. Biasa berkeliaran di Twitter @budii dan Instagram @budskiy.