Novel ‘Gentayangan’ dan Aneka Merah Warna Perempuan
Lipstik dan sepatu merah adalah analogi aneka pengalaman perempuan dalam novel terbaru Intan Paramaditha.
Jika boleh mengandaikan, Intan Paramaditha dalam novel terbarunya Gentayangan adalah penjual lipstik aneka warna. Setiap warna memiliki ceritanya sendiri, sebagaimana tiap lipstik mempunyai rona dan tekstur berbeda di tiap bibir.
Gentayangan berisi kisah-kisah pendek yang bermuara dari seorang perempuan (kita sebut saja namanya ‘Merah’) yang bercinta dengan Iblis. Iblis kemudian menghadiahi Merah sepasang sepatu, juga merah, yang membawanya ke berbagai petualangan. Dalam petualangan pertamanya, Merah terbangun dalam taksi yang membawanya ke Bandara JFK di kota New York, AS. Perjalanannya menuju bandara tersebut kemudian membuat Merah mendarat di Berlin, Amsterdam, Lima, hingga tentu saja, Jakarta.
Bagaikan lipstik, Intan melekatkan pengalaman aneka perempuan pada Merah. Di tiap penghujung cerita, Intan membuat pembaca memilih satu dari beberapa tujuan, atau memaksa kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pilihan-pilihan itu akan membawa pembaca selaku Merah mengadu nasib. Dari lajang yang mencari peruntungan di Los Angeles, sampai pacar seorang pria kulit putih kaya di New York, lesbian dengan kekasih asal Belanda, hingga istri seorang ulama yang kariernya sedang melesat di Jakarta.
“Cherry Stick.”
Merah menjadi istri yang kehilangan suami, berkumpul bersama orang-orang lain yang bernasib serupa. Mereka berbagi cerita dan saling memperbarui pengalaman menghabiskan hari. Para istri ini bergabung dalam Klub Solidaritas Suami Hilang. Jiwa beberapa perempuan ini menjadi merah lebam seperti ceri, karena kehilangan suami yang memulai hidup baru dengan orang lain, atau karena dihilangkan secara paksa.
“Ini Dandelion Blush. Efeknya mirip bibir artis K-Pop.”
Warna Merah bisa berarti semburat senja. Bagaikan koboi yang menunggangi kudanya menuju arah matahari terbenam, mengisyaratkan petualangan baru. Merah menikah dengan kekasihnya, seorang pendatang Chile beranak satu di AS. Mimpi Amerika mereka berakhir ketika Donald Trump terpilih sebagai presiden dan mengeluarkan kebijakan yang tak ramah pendatang.
Intan menuliskan kisah Merah dengan rasa hangat tentang peluang seorang perempuan Indonesia yang hendak membuka lembaran baru sebagai pendatang (lagi) di negara asing. Menguasai bahasa baru dan memiliki prospek karier cerah bersama keluarga tercinta.
“Kalau lagi kesal saya sering pakai Red Access. Merahnya dramatis bikin tak butuh aksesoris lagi”.
Merah tiba-tiba berada dalam gerbong kereta api bersama tiga perempuan lain yang berbeda etnis dan usia. Mereka bernama Gertrude, Amelia, dan Josephine — semuanya bersepatu merah. Tentu saja yang dimaksud oleh Intan adalah Gertrude Stein, Amelia Earhart, dan Josephine Baker, perempuan-perempuan bernyali baja pengukir drama.
Earhart menorehkan drama sebagai perempuan pertama yang terbang melintasi Atlantik. Kisah hidup Stein adalah drama seorang lesbian yang menjadi patron para seniman dari Picasso sampai Hemingway di Paris, sementara Josephine Baker adalah drama spionase seorang artis kulit hitam, juga di Paris. Dalam gerbong fantasi yang konon tak berujung itu kita seolah berada dalam mesin waktu, persis seperti film Midnight in Paris karya Woody Allen.
Sebagian perempuan berusaha mati-matian berada dalam satu klasemen dengan Stein, Earhart, dan Baker, sementara sekelumit lain tanpa usaha sudah berada dalam gerbong yang sama. Intan seolah menuliskan untuk kita bahwa nasiblah yang terkadang membawa kita ke tempat yang sama dengan para pengukir sejarah. Kata siapa sejarah itu adil pada mereka yang berkeringat?
“Ah, nakal itu hanya istilah. Coba di-swatch, ini Perfect Holy, pigmented banget efeknya jadi vamp.”
Bisakah kita berhenti untuk saling menyebut “nakal” kepada perempuan lain? Perempuan yang gentayangan, baik secara lahir maupun batin, apa pun motivasinya, apakah layak diberi cap “nakal”? Pada akhirnya adalah kehendak bebas si perempuan itu sendiri hendak berada di mana. Inilah pesan yang sepertinya ingin disampaikan Intan. Menjadi perempuan yang penuh hidayah berhijab syar’i bukan tak mungkin bersuamikan iblis. Menjadi pekerja seks komersial bukan berarti tidak membayar pajak.
Karena struktur penulisannya yang saling silang sengkarut, membaca Gentayangan membutuhkan energi dan dedikasi sendiri. Tanpa bermaksud mengurangi semangat, para calon pembaca membutuhkan alat bantu seperti pena dan penanda halaman sebagai alat pengingat. Apabila konsentrasi kita terpecah saat membaca, sangat mudah pula untuk tergelincir alpa mengingat garis cerita serta tokoh-tokoh dalam kisah.
Berbagai sub-plot yang dihadirkan Intan dalam beberapa kesempatan berkontribusi memecah konsentrasi, meski cerita yang dihadirkan tetap menarik. Namun yang paling patut diapresiasi adalah tidak ada sikap terkesima berlebihan pada lokasi-lokasi tertentu di novel ini. Merah singgah di San Francisco sampai Sydney, Amsterdam hingga Jakarta, namun tempat-tempat itu cukup sebagai latar, tak membuat plot larut dalam romantisme pada kota.
Cerita-cerita Intan menempatkan Merah yang menggunakan berbagai sepatu sebagai analogi nasib perempuan. Intan menempatkan bukan hanya tubuh, tapi jiwa yang berpindah sesuai kodrat cerita. Ada kalanya ia seorang lesbian, kali lain ia adalah pengusaha berhijab yang sukses, sementara di kesempatan lain menjadi janda yang kehilangan suami. Mungkin itu sebetulnya pesan yang ingin disampaikan Intan pada pembacanya, terutama para perempuan Indonesia.
Setiap perempuan memiliki sejarah atas pilihan hidupnya, tak ada yang baku dan kita sendiri yang berhak menuliskan kisah. Tak ada penghakiman; nasib yang dijalani Merah merupakan konsekuensi atas pilihan yang ia ambil. Setiap lakon dalam kumpulan cerita di Gentayangan memiliki merahnya sendiri, seperti lipstik. Ada yang lebam membiru seperti raut kehilangan napas, ada yang bersemu bahagia seperti bibir artis K-Pop, namun ada juga yang merah dramatis seperti cerita hidup Amelia Earhart.
Selamat datang kembali, Intan! Mangsa kami selalu dalam cakarmu!
Gita Putri Damayana menganggap dirinya ibu yang hebat dari tiga orang anak dan istri pretensius dari seorang warga negara teladan. Ia punya pendapat mengenai hampir segala sesuatunya di dunia ini. Gita merasa ia sangat mirip dengan aktris Dian Sastrowardoyo, meskipun gaya hidupnya lebih seperti Mama Hengky, pelawak 80an yang terkenal.