Politics & Society

Nyala Dupa Perayaan Rindu

Tradisi pembakaran dupa untuk yang telah tiada adalah cara untuk menjadi abadi, sebuah perayaan tentang rindu yang tak putus.

Avatar
  • January 27, 2017
  • 4 min read
  • 979 Views
Nyala Dupa Perayaan Rindu

Ruangan itu minim perabotan: selain altar besar di tengahnya, hanya ada lemari-lemari raksasa dengan banyak ruang yang tersusun rapi di sepanjang dinding. Bau dupa menyeruak di hidung pendatang begitu memasuki rumah abu ini.

Pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya bertanya-tanya, apa tempat yang lebih sering senyap di pagi dan siang hari ini akan menjadi meriah di waktu malam? Adakah arwah dari tiap wadah abu di sini akan berbincang-bincang atau mengadakan pesta beberapa bulan sekali?

 

 

Pagi itu, ada beberapa keluarga yang juga sedang melakukan peringatan. Dalam tradisi China, kematian memang dimaknai cukup dalam, seperti arwah orang mati yang dianggap masih ada bersama keluarga selama 100 hari pertama sesudah ajal menjemput. Ada beberapa rentetan hari yang diwajibkan untuk mengunjungi si mati, di makam ataupun di kolumbarium.

“Menujuh (hari ke 7),” kata keluarga di pojok kanan.

“Hari ke-49,” sahut keluarga besar lain yang sedang sibuk menata meja.

Saya, ibu, dan sanak saudara berkunjung ke rumah abu ini dalam rangka mengadakan makan-makan untuk ayah saya, yang tepat setahun lalu meninggalkan kami. Meja sudah disiapkan; gulai dan kue-kue kesukaan ditata dengan rapi di piring-piring.

“Pa, apa kabar?” batin saya seraya meletakkan tempat dupa ayah di atas meja. Sambil membantu ibu menyiapkan semua makanan, saya menerawang jauh. Ayah saya mendapat tetangga baru dalam beberapa bulan terakhir ini. Apa mereka teman-teman mengobrol yang menyenangkan?

“Wajik harus disatukan dengan kue mangkok!” suara ibu saya mengembalikan saya dari lamunan. Tanpa membantah saya menuruti kata-katanya. Soal adat dan tradisi, saya mulai terbiasa dengan segala petatah-petitih yang tak tertulis namun begitu detil dan repot.

“Kalau sudah setahun, kertas emas dan peraknya harus dilipat dan ditekuk!” terdengar salah satu penjaga rumah abu memberi instruksi. Nah, sebuah perintah lain yang harus saya ikuti tanpa tahu sebab dan kegunaannya. 

Selesai meja disiapkan, perjamuan ini dapat dimulai. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membakar dupa dan meminta izin pada langit dan leluhur (tuapekong). Anak tertua atau anak lelaki yang harus melakukan hal ini. Baru setelah semua prosesi penghormatan itu selesai, semua orang diperbolehkan untuk memasang dupa sesuai dengan pangkatnya di dalam keluarga. Pangkat yang dimaksud adalah berdasarkan urutan usia — yang tua dituakan.

Sejujurnya saya tak pernah mengerti, kata seperti apa yang harus saya ucapkan setiap mengangkat hio dupa. Doa kah? Cerita kah? Harapan kah? Satu yang saya tahu, yang pergi tak akan mungkin kembali. Semewah dan seluar biasa apa pun jamuan yang disediakan, gurauan ayah yang saya rindukan tak mungkin akan kembali. Pandangannya yang teduh tak mungkin lagi bisa saya rasakan. Saya rindu. Rindu yang tiba-tiba membuncah bersama dengan tiap gerakan naik dan turun dupa saya.

Sambil melipat setiap kertas emas dan perak bersama keluarga, saya mendapat sekelumit pemahaman tentang manfaat dari segala tata cara ini. Tradisi ini adalah cara untuk menjadi abadi. Semua asap dupa yang dibakar adalah perayaan tentang rindu yang tak putus. Cerita-cerita tentang mendiang yang kembali diperbincangkan dan didengungkan selama melipat kertas-kertas tersebut.

Tapi siapa yang menginginkan keabadian ini? Sang mendiang kah? Ataukah ini hanya salah satu cara mencicil kehilangan bersama waktu? Menggerusnya perlahan-lahan dan melumatnya lambat-lambat hingga kelak semua menjadi hambar dan tak lagi terasa bermakna. Maka kertas-kertas tak lagi dilipat bersama sebagai ajang berkumpul keluarga, namun dibeli dengan alasan lebih praktis dan efektif.

Kapan tradisi semacam ini benar-benar terdegradasi? Biarlah perayaan dan segala dualitas keabadian ini menemukan jalannya tersendiri. Toh, sebagian tradisi tentang kematian yang lebih egois, seperti raja-raja Mesir yang mengurung semua selirnya di dalam makam atau istri-istri di India yang dipaksa menjatuhkan diri ke dalam api yang membakar jenazah suaminya, kini sudah jadi sejarah.

Mungkin kelak, saat kenangan tak lagi butuh dijaga dan rindu tak lagi perlu dirayakan, maka asap dupa pun tak lagi membubung. Kematian akan jadi seperti makanan kudapan yang tak lagi butuh banyak persiapan.

Natalia Oetama adalah pecinta senja, penikmat bintang, pengamat langit, petualang hidup dan penyuka puisi. Selalu tertarik untuk membingkai cerita dan berkelana. Bisa dikontak di Facebook: Natalia Oetama dan Instagram/Twitter: @ivypuppy


Avatar
About Author

Natalia Oetama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *