ODGJ Naik dalam 30 Tahun Terakhir, Perempuan dan Usia Produktif Paling Tinggi
Data menunjukkan gangguan kesehatan jiwa di Indonesia naik dalam 30 tahun terakhir, perempuan dan usia produktif lebih tinggi. Apa artinya?
Jauh sebelum pandemi COVID-19, angka kasus gangguan kesehatan mental telah menunjukkan tren peningkatan di level global maupun Indonesia. Pandemi telah membuat masalah kesehatan jiwa makin meningkat. Ini semestinya menjadi pengingat bagi mayoritas negara untuk memperkuat sistem kesehatan mental.
Gangguan kesehatan mental merupakan masalah yang kompleks dan bisa bermacam-macam bentuknya, seperti dijelaskan dalam klasifikasi penyakit internasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam definisi itu, gangguan kesehatan mental mencakup banyak bentuk, termasuk depresi, kecemasan, bipolar, gangguan makan, dan skizofrenia.
Bunuh diri, seperti kasus mahasiswa di Yogyakarta baru-baru ini, merupakan masalah besar gangguan kesehatan mental yang perlu menjadi perhatian dan dicegah oleh banyak pihak. Secara global, bunuh diri adalah penyebab kematian keempat di antara orang berusia 15-29 tahun.
Baca juga: Riset: 2,45 Juta Remaja Indonesia Didiagnosis Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
Riset terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington terkait Global Burden of Disease (GBD) 2019 menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental tetap bertahan dalam 10 penyebab teratas beban penyakit di seluruh dunia. Tak ada bukti pengurangan secara global pada beban ini sejak 1990.
Dalam konteks Indonesia, riset ini menunjukkan tren peningkatan jumlah gangguan kesehatan mental dalam 30 tahun terakhir.
Selain naiknya jumlah kasus gangguan jiwa baik pada laki-laki maupun perempuan, temuan lainnya adalah gangguan kesehatan jiwa pada perempuan lebih tinggi dibanding pada laki-laki. Apa penyebabnya?
Menurut Ilham Akhsanu Ridho, dosen dan peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, perempuan di Indonesia rentan mengalami gangguan kesehatan mental karena mengalami beban ganda dalam keluarga dan tempat kerja.
Selain dituntut oleh sistem sosial untuk mengurus pekerjaan di ranah domestik, perempuan juga dituntut bekerja untuk meningkatkan pendapatan keluarga, apalagi di kalangan kelompok miskin.
Baca juga: Pandangan Negatif terhadap Kelompok Miskin Tak Hanya Salah, Tapi Juga Berbahaya
Di sektor domestik, kerentanan sosial muncul saat perempuan mengurus rumah tangga, anak, perceraian (jika terjadi), konflik dengan pasangan, kekerasan dalam rumah tangga. “Akar-akarnya bisa dilacak pada budaya patriarki,” kata dia.
Secara umum, analisis lain juga menyatakan semakin tinggi beban pekerjaan rumah tangga, semakin tinggi juga kemungkinan perempuan mengalami stres.
Temuan lainnya adalah makin tua seseorang, makin rentan pula mengalami gangguan kesehatan mental. WHO menyatakan gangguan mental dan neurologis di antara orang dewasa yang lebih tua menyumbang 6,6 persen dari total kecacatan (DALYs) untuk kelompok usia ini. Sekitar 15 persen orang dewasa berusia 60 tahun ke atas menderita gangguan mental.
Lalu, berapa tahun masa hidup sehat yang hilang akibat gangguan kesehatan mental? Studi Global Burden of Disease (GBD) 2019, dengan perhitungan tingkat DALY (Disability-Adjusted Life Year) dari gangguan depresi menunjukkan makin tua kelompok usia, makin besar tahun hidup sehat yang hilang.
Misalnya, orang Indonesia kelompok umur usia 50-69 tahun kehilangan hidup sehat lebih banyak (sekitar 580 tahun per 100.000 orang) dibanding kelompok usia usia 5-14 tahun (sekitar 60 tahun per 100.000 orang) akibat gangguan depresi.
Disability-adjusted Life Years (DALY) yang merupakan ukuran status kesehatan itu dinyatakan dalam metrik jumlah tahun yang hilang karena meninggal, sakit dan disabilitas. DALY dihitung dari gabungan jumlah waktu (dinyatakan dalam tahun) yang hilang akibat meninggal dini (Years of Life Lost, YLL) dan jumlah waktu ketika orang terpaksa hidup dengan disabilitas (Years Lived with Disability, YLD).
Menurut Iqbal Elzayar, peneliti The Oxford University Clinical Research Unit in Indonesia (OUCRU ID), berdasarkan studi GBD 2019, faktor risiko yang berkontribusi terhadap gangguan mental depresi adalah pelecehan seksual masa kanak-kanak, perundungan, dan kekerasan dari pasangan.
“Pada kelompok 15-49 tahun, pelecehan seksual masa kanak-kanak dan bullying menjadi kontributor risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan risiko lainnya. Sedangkan pada kelompok 70+, kekerasan dari pasangan lebih mendominasi,” kata kolaborator GBD 2019 dari Indonesia itu.
Baca juga: Ruang (Ny)aman Soroti Gangguan Kesehatan Mental Perempuan
Selain masalah sakitnya secara langsung, salah satu isu yang timbul dari gangguan kesehatan jiwa adalah dampaknya terhadap produktivitas masyarakat.
Menurut Rizqy Amelia Zein, dosen Psikologi Kepribadian dan Sosial Universitas Airlangga, jika ada satu anggota keluarga memiliki masalah gangguan kesehatan mental yang berat, maka beban perawatan di keluarga tersebut meningkat. “Sebab, anggota keluarga yang lain harus membantu dan menangani yang sakit. Jadi bukan hanya produktivitas yang sakit yang terganggu, yang tidak sakit juga terganggu produktivitasnya karena harus merawat yang sakit,” kata Amelia.
Karena itu, kata dia, isu-isu kesehatan mental menjadi perhatian serius di negara-negara maju, ketimbang di negara-negara berkembang. Sebab, kesehatan mental bisa berdampak atau mempengaruhi produktivitas masyarakat.
Promosikan Pentingnya Kesehatan Mental
Untuk mencegah gangguan kesehatan mental, menurut WHO, ada beberapa langkah yang harus dilakukan negara. Pertama, mempromosikan kesehatan mental untuk semua orang dan melindungi orang-orang berisiko seperti anak-anak, remaja, dan pekerja. Program pencegahan bunuh diri juga patut digalakkan.
Kedua, negara harus menyediakan layanan kesehatan yang mudah diakses dan terjangkau oleh masyarakat. Dalam konteks ini, peningkatan anggaran untuk kesehatan mental menjadi keharusan. Tanpa adanya anggaran yang memadai, promosi, pencegahan, dan pengobatan atas masalah kesehatan mental sulit dilakukan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.