Issues

Omnibus Law Kesalahan Strategi dari Pemerintah: Ahli

Omnibus Law adalah kesalahan strategi pemerintah, yang seharusnya fokus pada pemberantasan korupsi.

Avatar
  • February 12, 2020
  • 4 min read
  • 96 Views
Omnibus Law Kesalahan Strategi dari Pemerintah: Ahli

Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah salah langkah dengan membuat Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, yang dinyatakan sebagai cara untuk memperlancar investasi. Menurut Faisal, alih-alih membuat regulasi yang akan mengorbankan pekerja, seharusnya pemerintah mengatasi kendala utama dalam berinvestasi, yakni korupsi.

“Waktu di World Economic Forum, para investor ini ditanya, apa sih kendala terbesar Anda ketika berinvestasi di Indonesia. Alasan nomor satu itu korupsi, nomor dua birokrasi yang tidak efisien, yang ketiga akses ke pendanaan,” ujar Faisal dalam diskusi tentang Omnibus Law Jumat pekan lalu (7/2), di Jakarta Selatan.

 

 

“’Kan lucu, yang jadi masalah paling utama itu korupsi yang saat ini dikebut malah Omnibus Law,” tambahnya.

Wacana RUU Omnibus Law, atau disindir sebagai RUU Cilaka, sudah digaungkan pemerintah  sejak awal tahun lalu. Omnibus law merupakan sebuah metode reformasi regulasi yang mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus, dengan tujuan memperlancar iklim investasi di Indonesia.

Namun RUU ini banyak diprotes karena pembahasannya tertutup dan substansinya dianggap sarat kepentingan pengusaha, tapi mengorbankan hak-hak pekerja dan lingkungan hidup.

Mantan Wakil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif mengatakan, pengalamannya di lembaga antirasuah menunjukkan bagaimana korupsi sangat berdampak pada ekonomi, terutama pada proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

“Waktu itu saya melihat ada anggaran proyek sebuah jembatan, anggarannya dipotong hingga 25 persen. Potongan tersebut disiapkan untuk mengamankan berbagai pihak, ada oknum pemerintahan, auditor dan aparat penegak hukum. Jadi proses tendering dari awal sudah enggak jelas, lahan empuk juga untuk dikorupsi,” ujar Laode pada acara yang sama.

Baca juga: Magdalene Primer: Apa Itu Omnibus Law dan Mengapa Kita Harus Waspada

RUU Omnibus Law saat ini belum memasuki tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut pemberitaan di sejumlah media, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menyerahkan Surat Presiden mengenai penyampaian RUU Cipta Kerja (bukan lagi Cipta Lapangan Kerja) ke Ketua DPR. Banyak pihak mengkritik bagaimana wacana RUU ini muncul tiba-tiba tanpa pembahasan yang transparan.

Menurut Laode, apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

“Kalau mereka mau membuat undang-undang, it has to be in line with the needs of the people. Loh ini naskah akademiknya saja kita enggak bisa melihat. Kok pemerintah selalu sungkan untuk memperlihatkan,” ujarnya.

“Kita sebagai rakyat berhak mendapatkan draf dan juga naskah akademiknya. Wajar sekali kalau kita sebagai masyarakat curiga dengan ini.”

Laode menambahkan, jika syarat tersebut tidak dipenuhi oleh pemerintah, maka masyarakat bisa menggugat hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi karena melanggar persyaratan formal. Selain cacat prosedur, Laode mengatakan bahwa Omnibus Law ini berisiko membahayakan lingkungan hidup juga masyarakat, berkaitan dengan hilangnya kewajiban melakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh perusahaan.

Baca juga: Pak Bahlil, Perempuan Sudah Lebih Dulu Gantikan Anda dengan Robot

“Sebagai seorang yang mengajarkan ilmu hukum lingkungan, proyek-proyek besar itu seharusnya punya  safeguard atau jaring pengaman. Ada enviromental safeguard, bahwa proyek ini tidak akan merusak lingkungan. Lalu ada social safeguard, dari segi sosial dia tidak akan merusak tatanan sosial di sekitarnya. Yang ketiga, dari segi ekonomi. Ini yang perlu diperhatikan oleh pengusaha tersebut,” ujar Laode.

Senada dengan Laode, Faisal mengatakan jika RUU ini disahkan, aturan ini akan menjadi karpet merah bagi perusahaan konglomerat batu bara di Indonesia. Sepanjang pengetahuannya, tidak akan lagi ada pembatasan luas lahan dan perpanjangan izin juga akan dipermudah. Kalau dulu masa berakhir izin bisnis batu bara itu 20 tahun lalu dikembalikan lagi ke negara, Omnibus Law akan otomatis memperpanjang izin tersebut.

“Akibatnya, produksi batu bara jadi gila-gilaan. Tahun lalu, kita memproduksi 750 juta ton dan menjadi negara pengekspor terbesar, padahal cadangannya kecil. Semakin dikuras nanti Anda enggak bakal kedapatan. Jadi keadilan antar generasinya enggak ada. Di negara lain itu ada peraturannya,” ujar Faisal.

Ia menambahkan bahwa sekarang yang harusnya dibenahi itu adalah bagaimana tender itu kompetitif dan menghasilkan harga paling murah dan kualitas terbaik.

Hal lain yang patut dikhawatirkan dari Omnibus Law ini adalah komposisi anggota DPR yang sebagian besar memiliki latar belakang pengusaha, ujar Laode.

“Sekitar 70 persen latar belakang anggota DPR kita saat ini adalah pengusaha. Coba Anda bayangkan pembuat undang-undang untuk  rakyat, sekitar 70an persen dari korporasi. Di pemerintahan pun juga begitu banyak juga yang pengusaha. Perkawinan antara penguasa dan pengusaha sangat nyata,” kata Laode.


Avatar
About Author

Elma Adisya