December 5, 2025
Environment Issues Politics & Society

#RaporMerahPemerintah: Jual Kecap Prabowo di Isu Lingkungan 

Meski di panggung global Prabowo menjanjikan Indonesia menuju ‘net zero emission’ pada 2060, laporan WALHI menunjukkan hal sebaliknya. Deforestasi terus terjadi, energi fosil diprioritaskan, dan proyek-proyek besar menambah emisi baru.

  • October 24, 2025
  • 5 min read
  • 1332 Views
#RaporMerahPemerintah: Jual Kecap Prabowo di Isu Lingkungan 

Dalam pidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80, Presiden Prabowo Subianto ambis Indonesia menuju net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Indonesia, kata Prabowo, sudah merumuskan langkah konkret. Dari transisi energi, pemulihan hutan, sampai investasi besar di bidang energi terbarukan. 

“Kami berniat memulihkan lebih dari 12 juta hektare hutan yang terdegradasi. Ini bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia,” imbuhnya, (23/9) waktu AS, dilansir Kumparan

Prabowo juga menyampaikan Indonesia memiliki tanggung jawab moral sebagai negara tropis untuk menjaga hutan, agar menjaga kehidupan manusia di seluruh dunia. 

“Hutan Indonesia adalah paru-paru dunia. Menjaganya berarti menjaga kehidupan umat manusia,” tegasnya. 

Pidato Prabowo dalam Sidang Umum PBB terdengar manis. Namun, catatan yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan kenyataan amis. 

Dalam catatan kritis satu tahun pemerintahan Prabowo oleh WALHI, bertajuk Konsolidasi Oligarki, Ambruknya Keadilan Ekologis, dan Terancamnya Keselamatan Rakyat, kebijakan di dalam negeri justru paradoks, terbukti dengan diperpanjangnya usia energi fosil dan meluasnya ekspansi industri ekstraktif yang memicu deforestasi. Sementara kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup terus berlanjut di tengah proyek-proyek yang mengancam ruang hidup rakyat.  

Dalam satu tahun terakhir, terjadi gelombang kriminalisasi terhadap pembela HAM dan lingkungan. Pada aksi demonstrasi Agustus lalu, 959 orang ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, 11 warga Maba Sangaji, Maluku Utara, dua Masyarakat Adat Mentawai, Sumatera Barat, serta 2 warga Desa Torobulu, Sulawesi Tenggara turut dikriminalisasi karena menolak perusakan lingkungan di wilayah mereka. 

“Ya, jadi kami melihat komitmen iklimnya Prabowo itu hanya omon-omon,” ujar Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun di Eksekutif Nasional WALHI saat diwawancara Magdalene pada Selasa (21/10).

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Setahun Prabowo-Gibran, Semua Nilai Remedial 

Transisi Energi Bersih dengan Cara ‘Kotor’ 

Meskipun di panggung global Prabowo mengklaim Indonesia telah melakukan upaya untuk menekan krisis iklim dengan melakukan transisi energi, menurut catatan WALHI kebijakan energi nasional Indonesia justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil.  

Nah, kalau kita lihat misalnya RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) sampai 2034, itu kan 30 persennya masih memanfaatkan atau mengembangkan energi fosil. Artinya masih akan ada ketergantungan terhadap fosil,” papar Uli. 

Diketahui, pemerintah menargetkan dalam RUPTL 2025-2034 tambahan 16,6 GW berbasis fosil, di mana 10,3 GW di antaranya berasal dari pembangkit listrik berbasis gas.  

Sumber: berkas.dpr.go.id

Ditambah, menurut WALHI, model pembangkitan energi dalam transisi energi masih bermasalah dan kotor. Misalnya, kendaraan listrik yang diklaim bersih emisi. Emisi di hilir memang lebih kecil. Namun, nyatanya kendaraan listrik masih bergantung pada nikel untuk baterai dan membuat kerusakan lingkungan di sepanjang rantai bisnisnya 

Misalkan tambang nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, dia masih membabat hutan. Di Papua juga masih membabat hutan. Nah, dari kerja-kerja membabat hutan itu, menghancurkan hutan itu, ada emisi yang dilepaskan,” ucap Uli. 

Ia menjelaskan, ketika deforestasi terjadi, ada pelepasan emisi dalam skala besar. “Dan di saat yang bersamaan kita kehilangan salah satu fungsi hutan untuk menyerap emisi.” 

Dalam catatan WALHI, kegiatan penambangan nikel dan mineral kritis untuk baterai serta kendaraan listrik justru menyebabkan kerusakan pada hutan hujan yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami. Pada 2022, luas konsesi tambang nikel mencapai 1 juta hektare, 765 ribu di antaranya berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan.  

Baca juga: #RaporMerahPemerintah: Dear Prabowo-Gibran, Ekonomi Kami Tak Tumbuh Seperti Katamu 

Proyek Ketahanan Pangan dan Gizi juga Sumbang Emisi 

Tak hanya tambang, proyek food estate juga turut menyumbang emisi lewat pembabatan hutan. WALHI menyebut, di Merauke dua juta hektare hutan adat dibuka demi sawah dan tebu untuk bioetanol. 

Selain itu, sekitar 480 ribu hektare hutan di Papua Selatan sudah dilepaskan untuk proyek cetak sawah baru dan kebun tebu. Dampaknya, masyarakat adat di Papua Selatan kehilangan wilayah adat, pangan lokal, obat-obatan tradisional, bahkan identitas atas nama proyek pangan skala besar.  

Proyek ini diperkirakan akan menghasilkan emisi sekitar 140 hingga 299 juta ton CO₂, sekaligus menyebabkan hilangnya berbagai bentuk keanekaragaman hayati lainnya. 

Sementara itu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) juga berpotensi menyumbang emisi. Berdasarkan perhitungan WALHI, potensi timbulan sampah dari program MBG yang menyasar 17 juta siswa dalam satu hari dapat mencapai 425 hingga 850 ton.  

Dengan asumsi bahwa sampah organik menghasilkan rata-rata 0,3 ton CO₂e per ton sampah, maka potensi emisi harian dari Program MBG diperkirakan mencapai 127,5 hingga 255 ton CO₂e. Jika program ini berlangsung selama sekitar 200 hari sekolah per tahun, total potensi emisi tahunannya bisa mencapai 25.500 hingga 51.000 ton CO₂e. 

Baca juga: Transisi Energi Tersandera Elit, Janji Hijau cuma ‘Omon-omon’? 

Rakyat Harus Terus Menggugat dan Mengawasi 

Di tengah klaim pemerintah soal komitmen menuju net zero emission, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Hutan terus dibabat, penggunaan energi fosil, dan proyek-proyek raksasa yang justru menambah emisi baru.  

Dalam situasi ini, kekuatan rakyat menjadi penentu utama untuk memastikan negara tidak semakin jauh dari mandat konstitusi dalam menjaga lingkungan hidup yang berkelanjutan. 

“Misalnya kita melakukan judicial review terhadap satu kebijakan, kemudian menarik pertanggungjawaban pemerintah lewat gugatan pemerintah maupun hukum dan lain sebagainya. Hal-hal itu bisa dilakukan sebagai kerja-kerja untuk me-monitoring dan memastikan pengurus negara ini bisa berjalan seperti mandat konstitusional yang ada.” 

Yang kedua, masyarakat harus secara aktif mengawasi implementasi dari kebijakan ataupun program yang dilakukan oleh pemerintah.  

“Jangan takut, meskipun misalnya rezim ini semakin otoriter dan semakin militeristik, tetapi kalau kita tidak bersuara, tidak menyuarakan itu, siapa lagi yang kemudian membongkar bagaimana kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pengurus negara,” pungkas Uli.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.