Ada Jejak Orba dalam Setiap Ompreng MBG
Everything is political, termasuk apa yang ada di piring kita hari ini.
Begitu juga dengan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berjalan sejak Januari 2025. Program ini bukan sekadar menyediakan makan gratis buat anak sekolah dan ibu hamil. Di baliknya, MBG juga mencerminkan bagaimana negara memakai makanan sebagai alat untuk membangun citra: negara yang hadir untuk rakyat lewat program pangan.
Pola seperti ini bukan hal baru. Ia punya akar panjang dalam sejarah politik pangan Indonesia. Kenapa?
Kita bisa menengok ke masa Orde Baru, saat beras dijadikan simbol keberhasilan pembangunan nasional. Swasembada beras kala itu dianggap sebagai bukti bahwa negara berhasil membawa rakyat menuju kemakmuran.
Baca juga: Bekal dari Rumah: Perlawanan Perempuan di Tengah Program MBG yang Gagal Lindungi Anak
Dalam laporan Kompas menjelaskan bagaimana Pemerintahan Soeharto menerapkan Kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Negara juga membangun lembaga seperti Bulog, kebijakan Inpres Desa, sampai program intensifikasi pertanian seperti Bimas (Bimbingan Massal) dan Inmas (Intensifikasi Massal).
Puncaknya pada 1984, Indonesia dinyatakan berhasil swasembada beras dan menerima penghargaan dari FAO pada 1985.
Namun, di balik euforia itu, ada konsekuensi besar: pangan lokal seperti jagung, singkong, atau sagu terpinggirkan. Makanan yang selama berabad-abad menopang hidup masyarakat dianggap sebagai “makanan orang miskin” dan “tidak modern”.
Beras akhirnya bukan hanya jadi sumber pangan, tapi juga jadi simbol keseragaman, modernitas, sekaligus alat kontrol sosial dan ekonomi.
Kini, pola serupa muncul kembali lewat MBG. Janji makan gratis untuk rakyat terdengar menyejukkan, tapi narasi yang dibawa sama: negara menempatkan diri sebagai pemberi, sementara rakyat diposisikan sebagai penerima. Artikel The Conversation berjudul “Sadarkah kita bahwa program makanan gratis adalah alat kontrol pemerintah terhadap rakyat?” (2025) menyebut Program MBG sebagai manifestasi kapitalisme neofeodal. Meski diklaim sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan, pendanaannya justru berasal dari reloakasi anggaran sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan.
Alih-alih membangun kemandirian pangan, program ini justru memperkuat ketergantungan—baik pada negara maupun rantai pasok besar yang dikuasai segelintir pihak.
Pola ini bukan kebetulan. Presiden Prabowo sendiri punya hubungan historis dengan Presiden Soeharto. Dalam berbagai kesempatan, ia sering merujuk masa Orba sebagai contoh ideal pengelolaan pangan dan ketahanan nasional.
Bahkan, beberapa kali ia menyinggung keinginannya untuk mencapai kembali swasembada pangan—seperti yang pernah dicapai pemerintahan Orba.
Baca Juga: Strategi Orang Tua Lindungi Anak dari Risiko Keracunan MBG
Namun, bagi masyarakat adat, cara pandang ini justru bisa menghapus kemandirian lokal. Marlinda Na’u, akrab disapa Mama Fun, aktivis pangan dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, mengingatkan bahwa kebijakan seperti MBG sering gagal memahami konteks lokal.
“Saya merasa adanya MBG ini seolah menggiring anak-anak kami untuk melupakan pangan lokal kami. Saat mereka makan nasi setiap hari, besok ketika melihat jagung, mereka merasa sangat inferior dengan makanan lokal sendiri,” ungkapnya kepada Magdalene (7/10).
Padahal, menurutnya masyarakat adat sudah memiliki sistem pangan yang mandiri dan berkelanjutan jauh sebelum negara hadir.
Ketika negara memusatkan standar gizi pada nasi, definisi “makanan bergizi” jadi sempit dan homogen. Padahal, pangan lokal seperti jagung, ubi, sagu, atau sorgum juga punya nilai gizi tinggi dan bisa menopang keberlanjutan.
Apalagi kalau bicara kesejahteraan, yang seharusnya dibangun bukan sekadar program “bagi-bagi makanan”, tapi sistem pangan yang adil, berdaulat, dan melibatkan komunitas lokal di dalamnya. Sebab makanan juga bagian dari identitas, hak hidup, dan bagaimana rakyat merebut kembali kedaulatannya.
















