Politics & Society

One Billion Rising Indonesia 2018 Perkuat Interseksionalitas

Pengalaman kekerasan seksual perempuan dengan disabilitas menjadi salah satu sorotan dalam One Billion Rising tahun ini.

Avatar
  • February 23, 2018
  • 3 min read
  • 635 Views
One Billion Rising Indonesia 2018 Perkuat Interseksionalitas

One BIllion Rising (OBR) kembali hadir pekan lalu, gerakan global yang dimulai pada 2012 sebagai bagian dari kampanye untuk membawa kesadaran pada tingginya jumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Menurut statistik PBB, satu dari tiga perempuan di seluruh dunia akan diperkosa atau dipukul dalam hidup mereka, angka yang jika dijumlahkan mencapai satu miliar populasi perempuan.

Tahun ini, OBR mengangkat tema “Solidarity. Rise! Resist! Unite!. Di Indonesia, fokusnya adalah pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk melawannya, teman-teman dalam gerakan, aktivis, pekerja hukum, mahasiswa, dan masyarakat dengan berbagai macam latar belakang datang untuk bersolidaritas dan menari bersama.

 

 

Berlangsung pada Hari Kasih Sayang 14 Februari di pelataran Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, acara OBR malam itu sebagian besar diisi oleh rangkaian monolog berisi pengalaman-pengalaman perempuan menghadapi kekerasan dari beragam latar belakang dan pekerjaan, mulai dari pekerja media dan petani, sampai aktivis dan pemain teater.

“Melalui Monolog Puan ini,  kita ingin membangun solidaritas melihat dari beragam identitas yang dimiliki oleh perempuan. Karena identitas dan pengalaman perempuan berbeda-beda,” ujar Rebbeca Nyuei, ketua panitia One Billion Rising Indonesia 2018.

Salah satu pengalaman yang muncul dan mencuri perhatian adalah dari perempuan dengan disabilitas. Kelompok ini rentan sekali menghadapi kekerasan seksual, dan mereka menghadapi reviktimisasi akibat stigma dan stereotip yang dihadapi, yang membuat mereka tidak bisa melawan dan menyuarakan kasus mereka.

Ada tiga perempuan dengan disabilitas yang mengisahkan pengalaman mereka, yaitu perwakilan teman-teman tunarungu, perwakilan dari penyandang disabilitas intelegensia, dan perwakilan dari teman-teman tunanetra. Monolog pertama dituturkan oleh perempuan tunarungu dengan dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat. Ia menceritakan bagaimana sulitnya mendapatkan keadilan ketika mengajukan kasus kekerasan seksual yang dihadapi ke jalur hukum. Aparat hukum bahkan sempat-sempatnya bertanya, mengapa ia tidak berteriak saat peristiwa berlangsung.

Monolog kedua dari perempuan tunanetra menggambarkan bagaimana ia mendapat kekerasan seksual dari anggota keluarga sendiri, dan orang-orang terdekat tidak mempercayai pengaduannya saat ia mengatakan mengenali si pelaku lewat indra penciumannya atau baunya.

Sementara itu, perempuan penyandang disabilitas intelegensia mengatakan ia mengalami pemerkosaan sampai hamil, kemudian hampir diusir oleh tetangga-tetangganya karena menganggap itu aib. Ketika kasus itu dibawa ke jalur hukum, aparat malah sempat berkomentar bahwa seharusnya ia senang jika “disayang-sayang.”

Para penyandang disabilitas intelegensia juga menghadapi ancaman dari Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang digodok saat ini, yaitu dalam pasal 104 yang menyatakan sebagai berikut:

“Pemasangan kontrasepsi terhadap orang dengan disabilitas mental yang dilakukan atas permintaan keluarga, berdasarkan pertimbangan ahli untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut bukan merupakan tindak pidana.”

Menurut para aktivis, pemasangan alat kontrasepsi terhadap perempuan penyandang disabilitas tanpa persetujuan dari dirinya merupakan tindakan semena-mena terhadap otoritas tubuh perempuan tersebut. Hal ini pun juga akan menjadi celah bagi pelaku untuk kembali melakukan kekerasan seksual ketika ia tahu bahwa korban sudah disterilisasi.

Nuansa interseksionalitas pada One BIllion Raising tahun ini sangat kental terasa. Ada ibu-ibu petani dari Kendeng yang juga datang dan nembang doa agar bumi tetap lestari. Sebelumnya ibu-ibu baru melakukan aksi kembali di depan Istana Negara siang harinya, melawan pembangunan pabrik semen. Selain itu, tidak hanya perempuan saja yang tergabung dalam OBR ini, banyak laki-laki juga ikut meramaikan dan mendukung kampanye ini.

Perlunya gerakan solidaritas interseksional ini juga dijelaskan oleh aktivis sekaligus penggagas kampanye One Bilion Rising Jakarta, Dhyta Caturani: “Sisterhood yang selama ini ada didasarkan kepada kesamaan, padahal kita tidak ada yang sama. Identitas perempuan itu berlapis dan berdasarkan identitas itu penindasan yang dialami juga berbeda-beda. Maka dari itu sisterhood yang harus dipahami adalah sebagai suatu komitmen politik kita sebagai perempuan terhadap perempuan-perempuan lain.”

*Foto-foto oleh Imam

Baca juga tentang kurangnya perlindungan hukum terhadap PRT migran dan ikuti Elma di Twitter @_Elams_



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya