Lifestyle

5 Hal Soal ‘Sexting’ yang Perlu Diketahui Orang Tua

Ada hal-hal soal sexting yang perlu diketahui tua untuk memahami kerentanan soal aktivitas sexting pada remaja.

Avatar
  • November 20, 2019
  • 4 min read
  • 1229 Views
5 Hal Soal ‘Sexting’ yang Perlu Diketahui Orang Tua

Bagi yang selama ini tinggal di gua, sexting (gabungan dari sex dan texting) merupakan sebuah aktivitas mengirimkan, menerima, dan membalas pesan dengan konten seksual seperti pesan dan foto, lewat aplikasi gawai atau komputer. Aktivitas ini sudah lumrah dilakukan di kalangan remaja bahkan menjadi komponen yang normatif dari perilaku dan perkembangan seksual remaja, menurut penelitian Sheri Madigan, asisten profesor bagian penelitian faktor penentu perkembangan anak di Universitas Calgary, Kanada.

Penelitian tahun 2018 ini merupakan hasil meta-analisis dari 39 penelitian bertema sexting di kalangan remaja laki-laki dan perempuan dengan total partisipan 110.380 orang. Dengan rata-rata usia responden 15-16 tahun, terlihat bahwa 14,8 persen mengirimkan sexting dan 27,4 persen menerima pesan sexting. Aktivitas tersebut juga lebih lumrah dilakukan ketika si remaja bertambah umur. Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa 12 persen partisipan membalas pesan sexting secara non-konsensual.

 

 

Bagaimana dengan di Indonesia? Belum ada penelitian terkait ini, namun aktivitas sexting cukup populer di kalangan remaja. Hal ini menimbulkan kerentanan dan bahaya tertentu yang remaja sendiri sering abai terhadapnya.

Orang tua sendiri mungkin syok menemukan kenyataan ini, dan biasanya bereaksi berlebihan atau marah-marah. Namun hal ini akan membuat anak lebih tertutup dan menjauh. Biar jelasnya, berikut ini adalah hal-hal seputar sexting yang perlu diketahui dan bagaimana menghadapinya.

Baca juga: 5 Mitos Soal Seks yang Masih Diyakini Banyak Orang

  1. Sexting bukan cuma di WhatsApp

Untuk berdialog dengan anak remaja terkait hal ini, Nenden Sekar Arum dari Safenet, sebuah jaringan sukarelawan pembela hak digital di seluruh Asia Tenggara, mengatakan bahwa orang tua harus mengetahui tentang teknologi dan aplikasi-aplikasi ponsel terbaru. Hal ini karena aktivitas sexting tidak hanya dilakukan via obrolan di WhatsApp saja.

“Orang tua perlu banget tahu kalau aktivitas ini bisa dilakukan di aplikasi dan media sosial mana pun. Orang tua harus banget belajar, soalnya sekarang anak cenderung lebih canggih mengoperasikan gawai mereka. Bisa saja aplikasinya disembunyikan atau namanya diganti,” ujar Nenden.

  1. Remaja lebih rentan

Dian Oriza, psikologi klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa faktor pendorong remaja melakukan aktivitas ini dikarenakan pada fase usia tersebut, remaja senang mencoba-coba dan mengeksplorasi hal baru.

“Dalam aktivitas ini tidak ada kontak secara langsung sehingga mereka menganggap sexting itu aman. Jadi ya dari pada mencoba-coba,” ujar Dian kepada Magdalene.

Yang mengkhawatirkan, menurut psikolog Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih, sejumlah remaja melakukan sexting karena ada unsur kekerasan dalam pacaran, atau relasi kuasa dan pemaksaan.

“Mungkin juga ada pemaksaan dalam hubungan si remaja tersebut, atau bahkan ada intimidasi dari pacarnya. Selain itu, unsur consent juga patut dipertanyakan dalam sexting yang dilakukan remaja ini,” kata Gisella.

  1. Ada bahaya yang mengintai

Pada dasarnya, sexting ini juga termasuk dalam aktivitas seks. Yang perlu diingat, tidak ada kondom yang 100 persen aman, demikian pula dalam aktivitas sexting.

Pada remaja, sexting semakin berisiko dikarenakan  dalam usia tersebut  belum matang dalam mengambil keputusan. Nenden dari Safenet mengatakan, sexting sering kali diremehkan dan dianggap aman-aman saja padahal ada banyak bahaya yang menanti ketika hal ini dilakukan oleh remaja.

“Risikonya banyak seperti ancaman untuk menyebarkan konten, pemerasan dalam bentuk uang atau ajakan berhubungan badan. Jika sampai tersebar korban sangat rentan dirisak secara daring,” kata Nenden.

Perisakan daring berdampak pada kehidupan nyata, seperti dipermalukan di lingkungan sekolah bahkan bisa dikeluarkan dari sekolah jika pelaku atau orang lain mencari tahu dan menyebarkan identitas korban (doxing), ujar Nenden.

Baca juga: Ganti Nama Pendidikan Seks Jadi Pendidikan Kesehatan Remaja

  1. Buat kesepakatan dengan anak

Walaupun orang tua masih memiliki hak untuk memantau gawai sang anak, Nenden mengatakan bahwa privasi sang anak harus dihormati karena pemantauan gawai anak tanpa izin anak melanggar kedaulatan digital si anak.

“Sejak awal, orang tua perlu membuat kesepakatan pada anak bagaimana orang tua bisa mengakses konten dan gawai mereka. Untuk itu, orang tua perlu tahu juga batas usia penggunaan aplikasi yang diakses si anak,” kata Nenden.

Jika sudah terjadi hal yang tidak diinginkan seperti revenge porn, Gisella dari Yayasan Pulih mengatakan bahwa orang tua harus mendampingi sang anak dan tidak menyalahkan korban.

“Orang tua perlu mengambil tindakan, misalnya melaporkan kepada pihak berwajib dan memberikan akses penanganan konseling pada korban. Setelah itu orang tua juga bisa berkonsultasi kepada ahli teknologi berkaitan dengan materi yang sudah tersebar,” ujarnya.

  1. Kurangi amarah perbanyak edukasi diri

Banyaknya konsekuensi dari aktivitas sexting, namun Dian Oriza mengingatkan pada orang tua agar tetap berpikir rasional dan berdialog secara terbuka dan setara dengan anak. Jika reaksi orang tua hanya marah-marah saja dan reaktif, si anak malah semakin menutup diri.

“Banyak orang tua belum terbiasa membicarakan pendidikan seks dengan anak. Karenanya, anak pun enggan berbincang dengan orang tua dan memilih mempercayai orang lain. Ini malah berakibat buruk bagi si anak,” tambah Dian.

Artikel ini adalah bagian dari kampanye 1001 Cara Bicara, hasil kerja sama Magdalene dan SKATA, sebuah inisitiaf digital yang membantu pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik.

Ilustrasi oleh Sarah Arifin



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *