December 14, 2025
Environment Issues Politics & Society

Tak Lagi Terlihat Pasca-Banjir, Orangutan Tapanuli Di Ambang Punah

Pasca banjir bandang dan longsor yang menimpa Sumatera, orangutan Tapanuli tak lagi terlihat di habitatnya. Populasinya mereka terus berkurang akibat aktivitas manusia.

  • December 14, 2025
  • 8 min read
  • 733 Views
Tak Lagi Terlihat Pasca-Banjir, Orangutan Tapanuli Di Ambang Punah

Banjir bandang yang melanda wilayah Batang Toru, Sumatera Utara, tidak cuma merusak infrastruktur dan pemukiman warga. Bencana ini juga menyisakan kekhawatiran serius di kawasan hutan yang menjadi benteng terakhir spesies langka. Para penjaga hutan melaporkan hilangnya jejak orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), kera besar paling langka di dunia, dari sejumlah wilayah inti habitat yang terdampak paling parah.

Dilansir Reuters, lumpur dan material longsor menutup jejak aktivitas orangutan di kanopi hutan. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan pegiat konservasi bahwa peristiwa cuaca ekstrem tersebut dapat mendorong populasi yang sudah berada di ambang kepunahan ke titik krisis yang lebih dalam.

Amran Siagian, 39, ranger di Pusat Informasi Orangutan (Orangutan Information Centre/OIC), mengaku selama lima tahun terakhir ia masih rutin melihat orangutan Tapanuli berkeliaran sambil memakan durian dan buah-buahan hutan lainnya.

Namun, sejak banjir bandang dan longsor besar menghantam Sumatera—yang menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menewaskan sedikitnya 964 orang—kehadiran primata tersebut tak lagi terlihat.

“Mereka pasti sudah pindah semakin jauh. Saya tidak bisa lagi mendengar suara mereka,” kata Amran kepada Reuters.

Orangutan Paling Langka yang Kian Terhimpit

Orangutan Tapanuli baru diidentifikasi secara ilmiah pada 2017 dan merupakan satwa endemik yang hanya hidup di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Berdasarkan laporan Tapanuli orangutan endangered by Sumatran hydropower scheme (2020), luas habitat tersisa primata ini kini kurang dari 1.200 kilometer persegi. Angka tersebut setara hampir dua kali luas Jakarta, tetapi sangat sempit bagi spesies yang bergantung pada hutan utuh.

Habitat itu juga terpecah menjadi tiga subpopulasi kecil, dengan estimasi jumlah individu hanya sekitar 767 ekor. Secara genetik, orangutan Tapanuli justru lebih dekat dengan kerabatnya di Kalimantan dibandingkan orangutan Sumatera. Sebagai satwa arboreal, mereka menghabiskan sebagian besar hidup di atas pohon dan sangat bergantung pada kanopi hutan.

Sekitar 80–90 persen aktivitas mencari makan orangutan Tapanuli berlangsung di strata tengah hingga atas kanopi, dengan daya jelajah harian rata-rata mencapai satu kilometer. Jarak tempuh ini bergantung pada ketersediaan pakan seperti daun, bunga, dan buah matang. Penelitian mencatat lebih dari 190 spesies tumbuhan di Batang Toru menjadi bagian dari sumber makanan mereka.

Ketergantungan yang tinggi terhadap hutan utuh membuat orangutan Tapanuli sangat rentan terhadap kerusakan habitat, terutama akibat alih fungsi lahan di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS).

Sejak 1990 hingga 2024, hutan alam di Sumatera Utara terus menyusut akibat konversi lahan untuk perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman industri. Peneliti Greenpeace, Sapta Ananda Proklamasi, dalam siaran pers (2/12), menyebut sebagian besar DAS di Sumatera kini berada dalam kondisi kritis, dengan tutupan hutan alam di bawah 25 persen.

“Secara keseluruhan, saat ini hanya tersisa sekitar 10–14 juta hektare hutan alam, atau kurang dari 30 persen dari total luas Pulau Sumatera yang mencapai 47 juta hektare,” ujarnya.

Salah satu DAS dengan kerusakan paling signifikan adalah DAS Batang Toru. Berbagai aktivitas industri berskala besar, termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, menjadi pemicu utama. Dalam periode 1990–2022, deforestasi di kawasan ini mencapai sekitar 70 ribu hektare, setara dengan 21 persen dari total luas DAS.

Saat ini, hutan alam tersisa di DAS Batang Toru hanya sekitar 167 ribu hektare atau 49 persen dari keseluruhan wilayah. Selain itu, hampir sepertiga kawasan DAS—sekitar 94 ribu hektare atau 28 persen—telah dibebani izin usaha berbasis lahan dan ekstraktif, mulai dari izin pemanfaatan hutan, pertambangan, hingga perkebunan kelapa sawit.

Riezcy Cecilia Dewi, Campaign Officer Satya Bumi, menjelaskan kondisi ini memicu fragmentasi habitat orangutan Tapanuli. Fragmentasi memecah populasi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terisolasi satu sama lain.

Isolasi tersebut meningkatkan risiko perkawinan sedarah (inbreeding), yang berdampak pada menurunnya keragaman genetik, melemahnya sistem kekebalan tubuh, serta berkurangnya kemampuan adaptasi. Populasi yang semakin lemah menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan tingkat kematian yang tinggi. Setiap kematian individu memperkecil populasi dan memperparah siklus inbreeding.

Di saat bersamaan, penyusutan habitat mendorong konflik langsung antara satwa dan manusia. Hilangnya hutan sebagai ruang hidup dan sumber pakan membuat orangutan mencari alternatif di lahan warga.

“Ini yang mendorong mereka keluar dari hutan dan masuk ke kebun-kebun warga, di mana sumber daya masih tersedia. Akibatnya, konflik antara satwa dan manusia menjadi tak terhindarkan,” jelas Riezcy kepada Magdalene.

Rangkaian tekanan ini, menurutnya, membentuk apa yang dikenal sebagai extinction vortex atau pusaran kepunahan. “Kondisi ini membuat orangutan Tapanuli mendekati ambang kritis kepunahan dalam rentang 500 hingga 100 tahun ke depan,” tambahnya.

Baca juga: Cerita Perempuan Relawan Bencana Aceh: Melihat Derita yang Tak Masuk Layar 

Pentingnya Akui Status Hukum Alam 

Kepunahan orangutan Tapanuli bukan perkara sederhana, mengingat primata ini memegang peran kunci sebagai “petani hutan”. Orangutan memakan buah dan menyebarluaskan bijinya melalui kotoran. Proses ini memungkinkan regenerasi alami berbagai jenis pohon, terutama pohon-pohon besar yang membentuk struktur kanopi hutan. Tanpa peran ini, regenerasi pohon-pohon besar akan terganggu, banyak spesies tumbuhan kehilangan agen penyebar, dan hutan perlahan kehilangan keragaman serta daya pulih ekologisnya.

“Ketika orangutan Tapanuli punah, itu tidak bisa tergantikan oleh spesies lain seperti siamang atau gibbon, karena jenis dan ukuran buah yang mereka konsumsi berbeda,” ujar Riezcy.

Hilangnya orangutan Tapanuli, lanjut Riezcy, akan mengganggu struktur kanopi, mengubah siklus air dan tanah, serta meruntuhkan stabilitas ekosistem Batang Toru. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satwa liar, tetapi juga manusia yang hidup di sekitarnya.

“Ini bukan semata soal perampasan hak hidup satwa, tetapi juga pengabaian fungsi ekosistem dan penghancuran warisan alam yang tak tergantikan,” tegasnya.

Dalam situasi yang semakin genting ini, upaya penyelamatan orangutan Tapanuli tidak lagi bisa ditunda. Riezcy menilai langkah paling mendesak adalah menghentikan seluruh aktivitas yang memperparah fragmentasi habitat. Pemerintah perlu secara tegas menolak izin baru untuk pertambangan, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), maupun perkebunan di bentang alam Batang Toru. Lebih jauh, kemauan politik dibutuhkan untuk meninjau ulang konsesi yang sudah terlanjur diberikan serta memperluas kawasan lindung resmi agar habitat esensial orangutan benar-benar terlindungi.

Restorasi hutan bisa menjadi salah satu jalan keluar, meski membutuhkan waktu panjang. Upaya ini harus mencakup penanaman kembali jenis pohon asli, pemulihan struktur kanopi, serta pembangunan koridor ekologis antarsubpopulasi agar pertukaran genetik dapat kembali terjadi. Jika dilakukan secara konsisten, restorasi tidak hanya memperkuat sistem ekologis, tetapi juga memperbaiki siklus air dan tanah serta menekan risiko bencana alam di masa depan.

Di luar aspek teknis, Riezcy menekankan pentingnya perubahan paradigma hukum dan etika. Ia menyoroti sistem hukum Indonesia yang masih sangat antroposentris.

“Manusia ditempatkan sebagai pusat. Alam diperlakukan sebagai objek yang bisa dimanfaatkan secara besar-besaran. Ini membuat manusia menjadi subjek hukum tunggal yang paling dominan,” jelasnya.

Cara pandang ini kemudian melandasi kebijakan dan praktik yang secara sistematis mengabaikan hak dasar spesies lain untuk bertahan hidup. Dalam konteks Batang Toru, antroposentrisme termanifestasi dalam alih fungsi hutan yang pada akhirnya memicu banjir bandang dan longsor.

Karena itu, Riezcy menilai penting untuk mulai menggeser paradigma ini dengan mempertimbangkan pengakuan status hukum bagi entitas non-manusia, atau yang dikenal sebagai environmental personhood.

Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Christopher D. Stone melalui esainya “Should Trees Have Standing? – Toward Legal Rights for Natural Objects” (1972). Stone mengusulkan agar entitas alam seperti sungai, hutan, pegunungan, serta flora dan fauna di dalamnya diakui sebagai pemegang hak hukum. Karena alam tidak dapat berbicara atas namanya sendiri, konsep ini mengatur adanya wali atau guardian—biasanya gabungan pakar dan masyarakat adat—yang bertindak mewakili alam dalam proses hukum, termasuk mengajukan gugatan ketika hak-haknya dilanggar.

Dengan memberikan hak kepada alam, konsep ini sekaligus menyediakan sarana bagi individu atau kelompok, termasuk masyarakat adat, untuk memenuhi hak asasi manusia mereka yang terkait dengan lingkungan yang sehat dan budaya. 

Dalam praktiknya, sejumlah negara telah mulai mengadopsi prinsip pengakuan hak hukum bagi alam. Ekuador menjadi salah satu pionir global ketika mengamandemen konstitusinya pada 2008 untuk mengakui hak alam—Pachamama—untuk eksis, berkembang, dan meregenerasi siklus kehidupannya. Pengakuan konstitusional ini kemudian menjadi dasar bagi berbagai gugatan hukum yang berhasil menghentikan proyek-proyek ekstraktif yang dinilai merusak ekosistem.

Salah satu contohnya, seperti dikutip dari Global Network for the Study of Human Rights and the Environment (2022), Pengadilan Konstitusi Ekuador memutuskan bahwa aktivitas pertambangan di Hutan Lindung Los Cedros melanggar hak alam. Putusan tersebut secara eksplisit melindungi sejumlah spesies endemik dan terancam punah yang hidup di kawasan itu, termasuk katak bermata hijau (Rhaebo colomai) dan laba-laba Metaphidippus yang belum sepenuhnya terdeskripsikan. Dalam putusannya, pengadilan menegaskan bahwa ekosistem memiliki hak untuk tidak diganggu oleh aktivitas berskala besar yang mengancam keberlanjutannya.

Baca juga: Krisis Lingkungan di Tesso Nilo: Hutan Menyempit, Gajah Kian Terjepit

Langkah serupa juga diambil Kolombia. Pada 2016, Mahkamah Konstitusi negara tersebut mengeluarkan putusan yang menetapkan Sungai Atrato beserta daerah aliran sungai dan anak-anak sungainya sebagai subjek hukum. Dikutip dari Eco Jurisprudence Monitor, pengadilan mengakui Sungai Atrato sebagai sebuah “komunitas kehidupan” (comunidad de vida), di mana satwa liar—seperti manatee dan berbagai spesies ikan—serta keseluruhan ekosistem sungai diperlakukan sebagai subjek hak kolektif yang wajib dilindungi, dilestarikan, dipelihara, dan dipulihkan.

Riezcy mengakui bahwa jalan menuju pengakuan hak hukum bagi satwa atau ekosistem di Indonesia tidak akan singkat. Namun, ia menegaskan bahwa langkah tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Menurutnya, pencapaian ini membutuhkan kerja jangka panjang melalui perjuangan sistematis untuk mendorong lahirnya regulasi khusus yang mengakui hak-hak alam.

“Itu perlu upaya-upaya terintegrasi dan butuh peran masyarakat sipil untuk mengadvokasikannya secara terus-menerus. Kita juga perlu memastikan siapa yang layak menjadi juru bicara di pengadilan. Mekanisme itu harus didorong,” ujarnya.

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.