Menelisik Pengalaman Intim Tiga Dara di Pameran Ad Maiora
Menampilkan tiga seniman muda, pameran Ad Maiora menyuguhkan karya seni reflektif atas pengalaman intim manusia.
Muda dan bertalenta, begitulah pujian yang cocok untuk menggambarkan Clasutta (29), Zita Nuella (26), dan Tusita Mangalani (26). Seniman tiga dara ini adalah jebolan Atreyu Moniaga Project: Mixed Feelings, sebuah program kelas independen yang diampu seniman Atreyu Moniaga, untuk mendukung seniman muda merintis karier di dunia seni dan kreatif.
Pada 12 Juli lalu tepatnya di D Gallerie, Jakarta Selatan ketiganya sukses membuka pameran perdana yang bertajuk Ad Maiora. Dipetik dari frasa Latin, ‘Ad Maiora Natus Sum’ yang berarti “kita dilahirkan untuk mencapai hal-hal yang lebih besar”, pameran yang berlangsung pada 13 Juli-1 Agustus 2024 ini mengeksplorasi pemikiran dan pengalaman intim para tiga dara. Ragam eksplorasi media mulai dari cat minyak, arang, cat akrilik, manik, sulam hingga anggota tubuh digunakan demi menghasilkan guratan unik yang mampu membangun narasi visual yang berdampak.
Seniman Zita Nuella atau akbar di panggil Z misalnya menggunakan anggota tubuh seperti tangan dan rambutnya dalam karya-karyanya yang bertema kesepian. Kesepian yang tidak dimaknai tunggal sebagai suatu emosi yang cuma datangkan duka. Bagi Z, tubuh adalah kuas yang mampu menerjemahkan emosi manusia dalam bentuknya yang paling purba. Di saat manusia kesulitan mencari rangkaian kata untuk menggambarkan apa yang mereka rasa, sebaliknya tubuh bisa selalu diandalkan menjadi reaktor pertama pengungkap rasa.
Baca Juga:SamaBhav Travelling Film Festival, Bersama Dorong Kesetaraan Gender
“Ketika kita sedih atau ketika kita merasa sepi, tubuh yang akan lebih dulu bereaksi terhadap emosi-emosi itu dan menciptakan movement-nya sendiri. Menurutku ini sangat personal,” jelas Z pada Magdalene.
Inilah mengapa kemudian rambut keriting Z kemudian menjadi kuas penting dalam memaknai momen kesepian yang paling intim. Tumbuh di masyarakat yang menempatkan rambut lurus panjang sebagai standar kecantikan perempuan yang paripurna, Z harus menghadapi mencicip pahitnya hidup.
“Aku pernah merasa sepi. Aku berkenalan dengan kesepian karena waktu kecil suka di-bully karena rambut keriting ini. Rambut keritingku suka dimasukan sesuatu (benda) sama temenku,” curhatnya
Kesepian yang datang pertama kali dalam hidupnya ini begitu menghancurkan. Ia menyebutnya chaotic dan tergambarkan lewat karya berjudul Silence was Your Greeting. Namun, seiring Z tumbuh dewasa kesepian yang menemuinya ini justru memberikannya sebuah makna kesendirian yang memberdayakan.
Baca Juga: Pesta Perempuan: Mari Jaga Semangat Kita #MendobrakBias
Dalam momen kesepian ini, ia kembali hadir untuk dirinya sendiri. Ia mulai menyapa kembali raga dan perasaannya hingga akhirnya mampu memahami tidak semua orang perlu memenuhi standar-standar yang ada. Pada titik ini, makna kesepian menjelma jadi sebuah kesendirian (solitude) yang penuh kedamaian serta ketenangan. Kesepian yang meninggalkan tergambar dalam karya berjudul Silence was Your Goodbye.
Dalam eksplorasi makna sepi, Z juga bermain dengan warna hitam pekat yang dihasilkan lewat arang cair. Pilihannya menggunakan arang bukan tanpa sebab. Arang adalah hasil transformasi dari kayu yang dibakar. Perwujudannya mampu menggambarkan dengan sempurna sebuah proses transformasi tanpa sepenuhnya kehilangan jejak masa lalunya.
“Arang merupakan jejak dari kayu itu sendiri. Menggunakan arang berarti aku menekankan bagaimana diri aku meninggalkan jejak dari kesepian itu sendiri untuk menjadikannya sebagai sesuatu yang baru, lebih ke arah empowerment,” kata Z.
Saat Z banyak bermain dengan ketubuhan untuk menyampaikan emosi sepi, Tusita Mangalani membaurkan seni lukis dan sulam untuk menuangkan keresahan dan kegelisahannya. Dalam seri karya bertajuk Charlotte Chaos, Tusita menggambar berbagai potret perempuan muda menggunakan cat akrilik dengan rambut dan ornamentasi di atas kepala, dibesut dari benang, serabut benang, dan manik-manik yang disulam membentuk cabang-cabang pikiran.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Semua ia ciptakan berasal dari kebisingan pikirannya sendiri alias overthinking. Ia merasa bahwa orang yang overthinking mengalami banyak kekangan dan ia yakin semua orang pernah berada dalam fase tersebut. Fase yang merupakan bagian yang tak terlepaskan dari manusia dewasa dan tidak selamanya punya makna buruk.
“Itu (overthinking) menurutku adalah salah satu fase penting buatku, sementara selama ini overthinking dipersepsikan orang tuh sebagai suatu hal yang buruk. Makanya aku ingin menggarisbawahi lewat karyaku ini bahwa memang rasanya enggak enak, tapi dia punya peranan positif untuk bisa buat aku bisa move on dan moving forward,” jelas Tusita.
Pemaknaan baru dari overthinking ini misalnya tertuang dalam karyanya berjudul Air in Between the Whispers. Lewat karya tersebut Tusita ingin menyampaikan bahwa ia mulai membuka ruang untuk dirinya sendiri berefleksi tentang kebisingan pikiran yang menggelayutinya. Ia menyadari ternyata kebisingan akan selalu muncul di momen-momen ketika ia mendapatkan tantangan baru dalam hidup.
Sehingga dibandingkan berlaut dalam kegelisahan tak berujung, ia berusaha menerima kebisingan itu sebagai sesuatu yang memang dibutuhkan dalam bertumbuh. Proses penerimaan dan mendapati kembali kontrol atas pikirannya sendiri inilah yang kemudian menjelma dalam karya Blooming Tiara.
“Kita enggak bisa lepas dari overthinking itu pasti, tapi kita punya kekuasaan untuk mengontrol dan memaknainya lebih jauh. Makanya dia lifted up with the crown as the symbol of authority,” kata Tusita menjelaskan karyanya.
Jika keresahan dan kegelisahan dituangkan Tusita dalam kombinasi seni lukis dan menyulam, kedua emosi manusia ini dihadirkan oleh Clasutta dalam karya bertajuk Clockwork Chaos lewat bentuk seni lukis surealistik. Clockwork Chaos bisa dibilang karya seni yang sederhana, tetapi unik dan menggigit.
Kelahirannya hadir lewat pengalaman pribadi Clasutta sebagai pekerja kantoran purna waktu dan observasi atas pengalaman teman-temannya yang berhadapan dengan berbagai “tragedi” dan drama khas pekerja kantoran ibukota. Namun, alih-alih menggunakan manusia untuk menyampaikannya, Clasutta justru menggantinya dengan figure hewan yang digambar begitu komikal.
“Hewan tidak bisa berbicara, tapi kita sebenarnya bisa tahu isi hati mereka lewat ekspresinya. Sama seperti manusia yang pada situasi tertentu enggak bisa mengungkapkan perasaannya secara langsung, tetapi apa yang mereka rasakan itu pasti suka kelihatan di wajah kita. Makanya ekspresi mereka (hewan) kubikin kayak comical banget,” tutur Clasutta.
Ia lalu menunjuk karyanya berjudul 08.30 The Occasional “Please Come to My Office”. Dalam kanvas yang dipenuhi oleh wajah burung yang khawatir, Clasutta ingin menyampaikan trauma kolektif pekerja kantoran yang dipanggil oleh bosnya di pagi hari. Panggilan dari bos banyak dimaknai sebagai suatu pertanda buruk, sehingga para pekerja kantoran selalu diliputi perasaan cemas berlebih hingga bisa mengeluarkan keringat dingin.
Ia kemudian menunjuk karyanya yang lain berjudul 17.00 Classic Revision Ambush. Dalam karyanya itu Clasutta menggambarkan sosok domba besar yang terlihat tidak bisa ditebak ekspresinya, namun jika kita lihat cabang-cabang pikirannya, wajah-wajah domba itu berganti menjadi wajah sedih bercampur panik. Itulah apa yang ia dan teman-temannya rasakan jika sudah menanti jam pulang kerja, sang atasan justru meminta merevisi pekerjaan.
Ada pula karya Clasutta lain yang menggambarkan kekhasan budaya pekerja ibukota. Dalam karya berjudul 07.00: Manggarai, Clasutta ingin memperlihatkan tentang budaya commuter pekerja ibukota lewat sekelompok burung yang memadati satu ruang.
Burung-burung itu hadir dalam keadaannya masing-masing, ada yang sedang mendengarkan lagu, ada yang memejamkan mata karena mengantuk, dan ada pula yang sibuk bermain handphone. Clasutta pun mengungkapkan ada alasan khusus kenapa ia sengaja memilih menggambar segerombolan burung yang berdiri pada arah yang sama untuk menggambarkan budaya commuter ini.
“Burung ini semua mengarah ke arah yang sama semua karena burung sendiri kan suka berbondong-bondong bermigrasi ke satu arah yang sama ke sama. Aku melihat ini sebagai suatu kesamaan seperti ketika kita commuting untuk kerja,” jelasnya.
Dengan keunikan serta kedalaman emosi yang berusaha disampaikan para tiga dara ini, Nin Djani, kurator pameran dalam pengantar pameran pun mengatakan bahwa pameran Ad Maiora merupakan perayaan dan kesadaran untuk menjadi besar sekaligus penghormatan pada cita-cita yang mereka angankan.
“Pameran ini mengungkap beragam sudut pandang masing-masing seniman dalam upaya mereka menerobos medan seni rupa untuk menciptakan karya-karya berdampak,” tulisnya.