People We Love

Fitri DK: Mendengungkan Perlawanan Wadon Wadas lewat Seni

Kalau tidak bersolidaritas, siapa akan membantu para perempuan Wadas nanti yang semakin terjepit?

Avatar
  • October 31, 2023
  • 8 min read
  • 1484 Views
Fitri DK: Mendengungkan Perlawanan Wadon Wadas lewat Seni

Merentang dari 2013, warga Wadon Wadas tak berhenti memperjuangkan hak tanah mereka. Rentetan aksi dilakukan, mulai dari yang paling teatrikal menganyam besek di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang; melilitkan kain stagen kepada pohon; protes massa di Semarang, Yogyakarta, Purworejo; hingga bergantian menjaga pos masuk alas Wadas tiap hari.

Para perempuan ini cuma ingin mengirim pesan, jika proyek Bendungan Bener lanjut terus, maka hubungan mereka dengan alam akan hancur. Proyek ini sendiri dieksekusi usai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menggulirkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah No. 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener. Dalih Ganjar, bendungan tertinggi itu akan jadi pencegah banjir dan penyedia air.

 

 

Tak cuma membangun bendungan, SK itu sekaligus menetapkan alas Wadas seluas 146 hektare sebagai lokasi penambangan batu andesit. Sebuah proyek yang jika diteruskan akan merusak 28 mata air desa dan merusak lahan pertanian.

Episode berikutnya sesuai skenario umum dari penyerobotan lahan pemerintah. Negara memaksa warga menyerahkan lahan dengan cara konsinyasi. Di saat bersamaan, aparat keamanan dari tentara hingga polisi, bicara dengan moncong senjata agar warga bersedia mundur. Pada akhirnya, opsi maju atau mundur, akan selalu bermuara pada kerusakan alam dan membuat posisi Wadon Wadas semakin rentan.

Wadon Wadas mengambil opsi melawan. Kali ini mereka tak sendirian. Sejumlah aktivis lingkungan, gender, bahkan seniman turut mengambil peran. Ini juga dilakukan oleh Fitriani Dwi Kurniasih atau Fitri DK, dengan instalasinya di Biennale Jogja, yang lantang menyuarakan perlawanan.

Perupa asal Jogja yang juga anggota Taring Padi serta vokalis band Dendang Kampungan itu, memang kerap malang melintang dalam seni dan aktivisme. Ia banyak menggunakan teknik seni grafis terutama cukil kayu. Karya-karyanya yang telah banyak dipamerkan, sarat dengan isu-isu perempuan dan lingkungan. Seni baginya menjadi medium pilihan aktivisme, pendidikan, atau sosialisasi yang punya daya tarik menyenangkan dan lebih mudah diterima.

Pesan ini juga tergambar kuat dalam karyanya yang dipajang di pendopo Bangunjiwo Bantul, tentang Wadon Wadas. Fitri membangun latar utama berupa anyaman berwarna biru dan merah dari belahan stagen selebar dengan tulisan #SAVEWADAS. Di depannya berjajar serangkai kendi tempat air dari gerabah dengan tutup berbentuk tangan mengepal. Setiap kendil ini dialasi besek. Di kanan dan kiri pendopo juga digantung gambar perempuan yang membatik.

Magdalene berkesempatan mengobrol dengan Fitri tentang karya seninya itu.

Baca juga: ‘Hypermasculinity’ Aparat dan Trauma Wadon Wadas

Boleh diceritain enggak, karya instalasi kali ini tentang apa?

Ini tentang perlawanan para Wadon Wadas (perempuan Wadas) yang menjaga alam dan lingkungannya supaya tidak rusak oleh pembangunan. Mereka menganyam besek (wadah dari anyaman bambu) sekaligus menjaga desanya. Mereka menganyam di pos penjagaan di depan desa. Jadi kalau ada orang datang dari luar yang bukan warga desa, mereka bisa langsung cepat mengenali, dan bisa segera memberi tahu warga lain di desanya. 

Sumber: Paul Emas

Itu strategi bagus banget, brilliant. Mereka berpikir, apa yang bisa mereka lakukan menjaga desanya tanpa meninggalkan aktivitas sehari hari untuk mencari nafkah. Lulu munculah ide menganyam besek. Karena kan mereka bisa menjual besek di kemudian hari, tapi juga sekaligus mengawasi dan menjaga desanya. 

Di lain sisi, ada yang namanya Wadon Wadas Mangku Bumi Pertiwi, (di mana) mereka melakukan semacam ritual berupa menyelimuti pohon-pohon yang mereka miliki di kebun mereka dengan stagen (Stagen adalah kain panjang yang berfungsi sebagai ikat pinggang perempuan, yang menjadi pelengkap pakaian tradisional Jawa. Red). Mereka membawa stagen dari neneknya, atau stagen milik sendiri, lalu menyelimuti bagian tengah batang pohon-pohon itu sambal berdoa, sebagai simbol bahwa pohon-pohon itu tidak boleh ditebang.

Saya terinspirasi dengan kedua hal itu dan mengombinasikan keduanya, yaitu menganyam stagen. Stagen itu kan kain panjang dengan ukuran lebarnya 14cm. Saya belah bagi dua, menjadi 7cm. Dalam bahasa Jawa, angka 7 adalah pitu, yang diartikan sebagai kependekan dari pitulungan, atau dalam Bahasa Indonesianya pertolongan, sekaligus sebagai harapan. Jadi kemudian, harapannya Wadas terjaga dan tetap lestari, perusakan bisa dihentikan. 

Lalu untuk kendi gerabahnya?

Kendi itu tempat air minum, yang merepresentasikan sumber air. Gerabah ini dari Kasongan, yang merupakan sentra kerajinan gerabah khas Bantul. Ketika mendapat info penempatan instalasi ini, saya lalu berusaha terhubung dengan wilayah ini. Saya berusaha bisa tetap terhubung dengan wilayah setempat. Kalau gambar batik itu merepresentasikan kasus ini. Ini saya buat, dengan celupan batik yang dibantu warga di sini. 

Bagaimana mulanya bisa tertarik dengan isu Wadas?

Saya bukan orang Wadas. Sebenarnya awalnya saya tahu kenal wadas dari media. Waktu itu ada acara di Wadas, warga mengundang seniman-seniman untuk membuat mural di sana. Saya datang ke sana, dan ikut menempelkan poster bersama komunitas saya Survive! Garage. Setelah itu saya tetap keep in touch kalau ada apa-apa.

Solidaritas itu penting. Mungkin hari ini mereka yang mengalami hal ini. Mungkin suatu saat nanti kita yang alami. Kalau tidak solidaritas sekarang, siapa yang akan membantu kalau kita harus memperjuangkan sesuatu?

Baca juga: Melawan Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya: Cerita Perempuan Wadas

Isu ini berkaitan dengan pemerintah ya?

Ya, ada proyek pemerintah pembangunan Waduk Bener. Mereka mambangun bendungan besar yang digadang-gadang jadi waduk terbesar, tertinggi, se-Asia tenggara. Untuk pembangunan waduk ini dibutuhkan material batu andesit yang banyak. Untuk itu mereka menambang batu dari Wadas. Kisarannya sekitar 150 hektar, aku lupa berapa pastinya, berapa meter kubik kebutuhannya, tapi sangat besar. Kabarnya, pembangunan ini untuk menyuplai listrik untuk airport baru. 

Kenapa pembangunan itu selalu mengorbankan kerusakan lingkungan? Kenapa itu tidak diperbaiki? Memang warga Wadas mengakui pembangunan itu baik, tetapi tetap (perlu) memperhatikan elemen-elemen dalam pengelolaan lingkungannya sendiri. Jadi tanpa harus mengorbankan masyarakat lain atau warga lain yang terdampak. 

Dan ini juga tentang air. Di Wadas itu terdapat 27 sumber mata air yang menghidupi warga, dan untuk pertanian. Tahun ini mereka mengalami banjir, padahal sebelumnya tidak pernah. Ya, itu karena tidak ada lagi resapan air. Beritanya ada di bulan Juli 2023.

Apakah bisa dibilang seniman ikut perlawanan rakyat?

Kita itu kan bagian dari masyarakat. Mau dia seniman, atau guru, atau apapun profesinya. Apa yang bisa dilakukan oleh kita ketika sesuatu terjadi? Tergantung apa yang saya kuasai. Kebetulan sebagai seniman saya memanfaatkan seni sebagai alat perlawanan, atau minimal media pendidikan, untuk memberikan informasi apa yang terjadi di tempat ini. Ya, harapannya bisa menggulirkan solidaritas lebih besar.

Berlawanan dengan pihak yang lebih berkuasa apakah berarti juga mendapat intimidasi?

Itu bisa saja terjadi. Di awalnya perlawanan warga Wadas itu dapat banyak intimidasi. Berapa kompi mobil polisi datang ke sana dengan membawa senjata untuk mengawal apa yang terjadi.  Itu lebay banget. Kasus ini memang perlu dikawal dengan perhatian banyak orang, supaya jangan sampai kekerasan terjadi.

Saya sendiri tidak mengalami ancaman langsung. Tapi saya lebih kepikiran pertentangan batin. Yang lebih kuat dalam nurani saya itu justru kalo diem aja itu saya merasa berdosa. Ini lingkungan dirusak. Saya bisa hidup seperti ini dari mereka. Bisa dibilang masyarakat adat jadi garda terdepan penyelamatan lingkungan, di Kalimantan, di mana-mana. Kita yang di Jawa masak diem aja menikmati hasilnya? Kita nggak bisa diem aja. Kalau saya diem aja bertentangan dengan nurani.

Karya-karya sebelumnya juga terkait perjuangan, ya?

Sebelum ini saya bersahabat dengan ibu-ibu di Kendang melawan pabrik semen di sana. Karena merusak hutan, gunung, dan air juga. Di sana ada banyak, sekitar 300-an sumber mata air. Waktu itu saya buat tenda perlawanan untuk mereka, juga bikin potret saat mereka sedang menyemen membelenggu kakinya di depan istana. Saya masih kontak intens sama mereka.

Karya Mantra Ibu Bumi terinspirasi dari tembang Ibu Bumi yang sering dilantunkan warga Kendeng dalam aksi penolakan pabrik semen. Bumi disesaki oleh perilaku mengeruk daripada merawat; menguras daripada menanam; mengeksploitasi daripada melestarikan. Akibatnya ibu Bumi akan mengadili lewat bencana yang datang seperti banjir, longsor, kekeringan dll. Mantra para petani Kendeng ini mengingatkan kita bersama tentang laku kita mengelola Bumi ini.

Sumber: Paul Emas

Kalau instalasi isu sosial seperti ini mungkin orang tidak membelinya, ya. Bagaimana seniman menghidupi dirinya?

Ya benar, ini kan instalasi, dan ini ada isunya. Tapi saya percaya ada hal lain. Saya juga membuat poster cukil kayu yang bisa digandakan. Saya menjual cukilan saya kalau ke mana-mana. Karena saya juga membutuhkan materi untuk melakukan kerja-kerja seperti ini. Beberapa karya saya ada yang dijual, terutama cukilan kayu.

Sumber: Paul Emas

Skena seni di Indonesia makin ramai, apakah ini juga membuka banyak kesempatan? 

Sekarang banyak kesempatan pameran dll. Tapi yang saya apresiasi adalah seni aktivisme sosial mulai diakui masuk dalam penciptaan ruang kreatif. Seni aktivisme sosial ini sekarang juga banyak menjadi perhatian. Karya-karya saya lebih menggunakan seni sebagai alat pendidikan, juga perlawanan. Buat saya ini jadi poin tersendiri karena menyampaikan banyaknya persoalan-persoalan lingkungan melalui seni jadi mudah diterima.

Baca juga: Negara ‘Ngadi-ngadi’, Polisi Mengompori, Perempuan Wadas Teguh Melawan

Adakah tantangan khusus untuk seniman perempuan?

Pasti ada tantangan khusus, misalnya dengan punya anak, berkaitan dengan waktu. Saya bikin karya cukil itu lama, bisa setahun malah. Saya buat tiga karya ukuran 90x120cm saya buat sambil melakukan hal-hal lainnya. Saya enggak mau karena nggak ada waktu jadi asal-asalan atau cepet-cepetan selesai. Saya mau keluarnya maksimal, sebaik-baiknya. Kalau dari segi skill, saya percaya sama aja: bahwa perempuan tetap bisa berkarya sebaik-baiknya. Supaya bisa diterima, buat sebaik-baiknya lah. 

Fitri bisa diikuti di Instagram @fitridk, dan toko online di Instagram @democrafty.

Biennale Jogja 2023 diselenggarakan pada 6 Oktober-25 November 2023. Karya Fitri DK dan seniman lainnya, bisa disaksikan di Sekar Matraman, Bangunjiwo – Bantul. Karya-karya lainnya tersebar di beberapa lokasi, yakni Taman Budaya Yogyakarta, Area Pabrik Gula Madukismo, Area Panggungharjo dan Area Bangunjiwo. Selengkapnya di biennalejogja.org



#waveforequality


Avatar
About Author

Paul Emas