Korban KBGO Belum Terlindungi, Desak Pemerintah Cabut Pasal Karet UU ITE
Beberapa pasal karet di UU ITE perlu dicabut karena rentan mengkriminalisasi korban KBGO.
Kejadiannya sudah satu dekade lalu, tapi media kita masih mengingat nama Baiq Nuril hingga hari ini. Perempuan yang merupakan guru honorer SMAN 7 Mataram itu dilecehkan oleh kepala sekolah. Pelaku menceritakan pengalamannya berhubungan badan dengan beberapa perempuan yang bukan istrinya. Menyadari itu bentuk pelecehan, Nuril sempat merekam isi telepon dengan pelaku bernama Muslim. Rekaman itu viral dan berujung pada pemecatan Nuril sekaligus mutasi Muslim.
Masalah tak berhenti di situ. Muslim yang tak terima, balas melaporkan Nuril ke Polres Mataram dengan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 UU ITE. Nomor laporanya LP/K/216/2015/Polres Mataram. Setelah melewati jalan panjang persidangan, Nuril divonis bersalah oleh Mahkamah Agung, dihukum enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. Namun, ibu tiga anak ini terus berjuang sampai akhirnya mengantongi amnesti dengan alasan kemanusiaan.
Kasus Nuril menjadi pengingat kita betapa tak amannya korban kekerasan di Indonesia. Alih-alih mendapat keadilan, mereka justru rentan dikriminalisasi. Ini selaras dengan laporan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. Dari kurun 2018-2021, LBH APIK telah menangani setidaknya 783 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Di 2021, pengaduan meningkat tajam melampaui kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kesimpulan LBH APIK Jakarta, peningkatan kasus terjadi akibat pandemi Covid-19, di mana ruang gerak semakin terbatas kala itu.
Di saat bersamaan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memperburuk keadaan karena kerap jadi alat gebuk korban. “Ketika korban speak up atau melapor, korban rentan mengalami kriminalisasi. Biasanya korban dijerat dengan UU ITE pasal 27 ayat 3 atau pasal pencemaran nama baik. Melalui pasal ini, korban justru dilaporkan balik oleh pelaku. Ini terjadi dalam beberapa kasus yang kami dampingi,” ujar Uli Arta Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta pada Diskusi Publik ”Membedah Pembahasan Tertutup Revisi UU ITE 2.0” di kantor Amnesty Internasional Jakarta, (11/9).
Baca Juga: Magdalene Primer: UU ITE Kriminalisasi Perempuan Korban Pelecehan Seksual
Undang-undang Bermasalah yang Multitafsir
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej yang hadir pada diskusi itu, menegaskan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat membuka Rapat Pimpinan TNI Polri 15 Februari 2022 dengan tegas menyatakan UU ITE memang mengandung pasal karet. Karena itu, pemerintah akan mengajukan revisi sesegera mungkin.
Pernyataan Jokowi kala itu menggarisbawahi, UU itu bermsalah dari segi substansi dan implementasi. Ini tercermin dalam beberapa pasal dalam UU ITE, seperti Pasal 27, 28, 29, dan 36 yang menurut Eddy dalam konteks Hukum Pidana tidak memenuhi istilah ”nullum crimen, nulla poena sine lege certa” atau tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan undang-Undang yang jelas.
”Jadi memang pasal-pasal itu bermasalah, sehingga bisa diinterprestasi lain. Celakanya, tidak ada keseragaman dalam penerapan hukum. Karena itu Presiden meminta revisi dan sekarang tengah dilakukan DPR,” kata Eddy.
UU ITE sebenarnya merujuk pada The Budapest Convention on Cybercrime. Itu merupakan konvensi mengenai kejahatan siber pertama yang berupaya mengatasi kejahatan siber dengan menyelaraskan berbagai hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi terkait kejahatan tersebut, serta menguatkan kerja sama antar negara. Sayang, ada satu pasal di UU ITE yang justru kontraproduktif dengan semangat Konvensi Budapest.
Adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi:
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Erasmus A. T. Napitupulu Executive Director Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam diskusi yang sama bilang, pengaturan norma kesusilaan yang diatur di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan (3) UU ITE ini tidak jelas dan dimaknai luas. Utamanya dalam kerangka perbuatan “distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya” dokumen elektronik yang bermuatan kesusilaan dan penghinaan/pencemaran nama baik sangat rentan terhadap upaya perlindungan perempuan.
“Karena dalam KBGO kan kasusnya yang menyebar (konten intim) itu bukan korban, tapi orang lain. Harusnya UU ITE itu memberikan perlindungan pada korban jika integritas tubuhnya diserang. UU ITE juga harusnya melindungi orang yang memiliki konten pribadi karena itu forum privat. Baru masuk pidana itu kalau ke ruang publik disebar atau kemudian diperjualbelikan. Tapi secara substansi dan implementasinya (UU ITE) enggak mengakomodasi ini,” kata Erasmus.
Mengamini Erasmus, Uli mengatakan, UU ITE dibuat dalam kerangka perumusan norma gender netral yang timpang. Dalam hal ini, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sebagai leading sector cenderung bias memaknai kesusilaan itu sendiri dan tak mempertimbangkan kerentanan perempuan.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Gilang, Penggunaan UU ITE untuk Kekerasan Seksual Keliru
Pasal 27 ayat (1) tidak jelas mendefinisikan unsur tanpa hak melawan hukum dan frasa kesusilaan. Dampaknya, yakni memicu kerancuan dalam mengidentifikasi mana korban dan pelaku dalam kasus KBGO. Sedangkan pasal 27 ayat (3) sangat rentan dimaknai pencemaran nama baik/penghinaan ketika korban mengeluhkan KBGO melalui platform digital.
Produk hukum ini makin berdampak buruk pada korban KBGO. Ini diperparah dengan aparat penegak hukum yang nihil sensitifitas gender. Dalam banyak kasus, proses hukum kekerasan seksual justru dimaknai sebagai pencemaran nama baik. Celakanya, tidak sedikit pula yang akhirnya korban juga berakhir dilaporkan balik.
Ini terlihat dalam hasil analisis LBH APIK terhadap 141 putusan pidana khusus terkait UU ITE pada 2020 – 2021 yang menunjukkan sebanyak 76 persen (104) menggunakan Pasal 27 ayat (3) untuk mendakwa perempuan korban dengan dalih pencemaran nama baik. Sementara, 24 persen (37) lainnya menggunakan Pasal 27 ayat (1) tentang pendistribusian informasi elektronik dan/atau dokumen digital yang bermuatan asusila untuk mendakwa perempuan korban.
“Dalam kasus dampingan kami, APH malah mendorong UU ITE. Padahal kami sudah mendebatkan ada UU TPKS yang bisa digunakan. Ada juga yang kasus kekerasannya tidak digubris, tetapi ketika korban dilaporkan pencemaran nama baik ini justru yang diproses oleh APH. Makanya tidak sedikit kasus KBGO akhirnya berujung mediasi, tapi ini kan tidak adil bagi korban,” kata Uli.
Hal yang kemudian bermasalah dari penggunaan UU ITE dalam memidanakan kasus KBGO adalah jalanannya persidangan yang dilakukan secara terbuka. Sebagai pendamping, Uli sangat mengkhawatirkan keamanan dan kondisi korban yang melaporkan kasusnya tapi justru diadili dalam ruang sidang.
“Kalau sudah pakai UU ITE, persidangan jadi terbuka. Bukannya mendalami atau fokus pada kasus kekerasan yang dialami korban, pertanyaan yang diajukan justru seperti ‘Sudah berapa kali melakukan hubungan seksual’, ‘Kenapa kok udah berkali-kali baru melapor sekarang?’. Pertanyaan ini membuat korban tidak nyaman. Korban disalahkan akhirnya bikin mereka mundur,” jelas Uli.
Baca Juga: SKB UU ITE Bawa Kemajuan, Tapi Revisi UU Tetap Diperlukan
Perlu Segera Dicabut
Sebetulnya kekacauan UU ITE bisa dilihat dari banyaknya pasal yang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi hingga 10 kali. Ini mengisyaratkan secara norma keberadaan UU ITE bermasalah. Terbitnya Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE pada 2021 sempat jadi upaya untuk memperbaiki semrawutnya UU ini.
Sayang, SKB ini menurut Erasmus justru memperluas ruang tafsir dengan mengembalikan definisi unsur “kesusilaan” kepada KUHP atau UU Pornografi yang juga bermasalah. Tak hanya itu, menurut Erasmus sejak awal pembentukannya, UU ITE juga sudah memakai kerangka pikir yang salah.
UU ITE yang secara spesifik merujuk pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (3) menggunakan cyber-enabled crime atau kejahatan konvensional yang diekstensifikasi lewat teknologi sebagai kerangka pikir dasar. Padahal UU ITE justru seharusnya memakai cyber-dependent crime atau kejahatan yang muncul karena adanya teknologi informasi dan komunikasi sebagai dasarnya.
“UU ITE itu malah memakai cyber-enabled crime yang sebenarnya bukan kejahatan siber yang perlu diatur. Ujaran kebencian, pencemaran nama baik dari dulu sudah bisa dijerat dengan KUHP. Tapi ketika ada UU ITE, ketentuan ini dianggap terpecah atau terpisah itu yang membuat saya menduga membuat UU TPKS susah digunakan,” jelas Erasmus.
Akibatnya, perempuan dan anak pun akhirnya jadi rentan menjadi korban baik sebagai pelapor atau terlapor, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali menjadi alat pelaku menyerang perempuan korban.
Korban KBGO pada gilirannya juga mengalami trauma berkepanjangan yang berdampak terhadap fisik, psikis, ekonomi, hingga hak-hak sipil dan politiknya termasuk juga mendapatkan stigma sosial akan kasus kekerasan seksual yang dihadapinya. Mengingat di Indonesia sendiri budaya victim-blaming masih mengakar kuat.
Dampak besar yang ditimbulkan oleh UU ITE ini tidak bisa dianggap remeh. Karena itu baik oleh Erasmus dan Uli mereka mendorong pemerintah menghilangkan pasal-pasal karet bermasalah dalam UU ITE karena menjadi ancaman bagi korban. Sejalan dengan itu, UU Pornograsi juga perlu disesuaikan dengan KUHP terbaru dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Tak lupa, APH yang di dalamnya mencakup Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Advokat juga harus didorong melakukan pendidikan dan keterampilan khusus tentang kesetaraan gender dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini agar APH mampu mengenali lapisan kerentanan perempuan korban dalam implementasi pasal-pasal UU ITE.
”Implementasi juga perlu diperbaiki, khususnya kemampuan aparat penegak hukum dalam memahami kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk dalam konteks korban yang bersuara dan terancam pasal-pasal penghinaan,” tutur Erasmus.