Tembakan Gas Air Mata ke Pelajar Sebelum Jam 5, Polisi: Kalian Tugasnya Belajar
Anas (16) tak pernah membayangkan dirinya berdiri di depan pagar tinggi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta Pusat. Di antara ribuan massa aksi yang berteriak menolak kebijakan wakil rakyat, pelajar SMA asal Tangerang itu berangkat seorang diri pada (25/8) pagi. Ia menumpang kereta lalu ojek daring, setelah membaca seruan aksi dari media sosial.
“Sebagai anak dan adik seorang guru, aku merasa sakit hati karena gaji DPR naik, sementara gaji guru kecil dan tidak pernah naik,” ujarnya kepada Magdalene.
Bagi Anas, demonstrasi ini adalah pengalaman pertamanya turun ke jalan. Ia datang bukan hanya karena keresahan pribadi, tapi juga dorongan menyuarakan isu yang lebih besar. Selain menolak tunjangan Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR yang dianggap tak masuk akal, ia juga menyoroti penulisan ulang sejarah yang menghapus tragedi pemerkosaan perempuan Tionghoa pada 1998.
“Itu kejahatan yang seharusnya diakui negara sekaligus dituntaskan dengan mengadili para pelaku,” ujarnya.
Meski datang sendiri, Anas tak benar-benar sendirian. Di perjalanan, ia bertemu dua adik kelasnya yang masih duduk di bangku SMP, lalu bersama-sama bergabung dengan massa. Di lokasi, ia melihat puluhan pelajar lain berdatangan dari Karawang, Depok, Bekasi, Tangerang, dan kota lainnya.
Menurut pantauan Magdalene, ada sekitar 50 pelajar yang ikut aksi hari itu. “Kebanyakan enggak saling kenal, bahkan beda-beda daerah. Kita juga enggak ada seruan atau kumpul bareng. Semuanya turun karena emang pengen menyampaikan aspirasi,” ujar Anas.
Baca Juga: Suara Perempuan di Demo UU TNI: Ini Langkah Mundur Demokrasi
Polisi Tembakkan Gas Air Mata
Sekitar pukul 13.12 WIB, situasi memanas. Aparat kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan demonstran. Padahal, hingga saat itu massa aksi—yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, hingga pekerja informal—hanya berorasi dan menyampaikan tuntutan mereka tanpa melakukan aksi anarkis.
Anas mengaku terkena tembakan hingga matanya perih. “Aku langsung mundur dan dibantu massa aksi lain. Akhirnya kami sama-sama mundur dulu buat membersihkan mata,” ceritanya.
Hingga berita ini ditulis, sudah dua kali aparat menembakkan gas air mata ke arah demonstran, membuat mereka mundur ke arah Senayan Park.
Penggunaan gas air mata ini dipandang tidak perlu. Sesuai Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, gas air mata hanya boleh digunakan dalam tahap kelima eskalasi kekuatan, yakni ketika ada serangan agresif yang mengancam keselamatan anggota Polri, masyarakat, atau harta benda. Dalam konteks aksi di depan DPR hari ini, kondisi itu tidak terlihat. Akibatnya, penembakan gas air mata justru membahayakan peserta aksi, termasuk para pelajar.
Tak hanya menembakkan gas air mata, polisi juga sempat membawa sejumlah pelajar ke dalam mobil. Namun, mereka berhasil diselamatkan oleh massa aksi. “Ada anak STM yang dibawa pake mobil, terus lewat di tengah massa aksi. Pas kita tahu, dijegat sama kita dan akhirnya dia buka pintu terus loncat dari mobil,” terang Anas lagi.
Bagi sebagian pelajar, aksi ini bukan sekadar protes terhadap tunjangan DPR. Ada semangat untuk mengulang sejarah perlawanan yang pernah terjadi di era Reformasi. “Pengennya kayak 1998, bisa masuk ke Gedung DPR,” kata Anas, meski ia sadar risikonya besar.
Polisi sendiri menegaskan sikap menolak keikutsertaan pelajar dalam demonstrasi. Perwakilan Kepolisian Tanah Abang, Pras, mengatakan tugas utama pelajar adalah belajar, bukan turun ke jalan. “Kalau terjadi kerusuhan, bagaimana nasib mereka?” ujarnya.
Namun, ketika ditanya lebih lanjut soal mekanisme pengamanan serta aturan yang mendasari larangan tersebut, ia menolak memberi keterangan.
Aksi di depan DPR kali ini diikuti berbagai elemen masyarakat. Mulai dari mahasiswa, pekerja, pedagang, hingga pengemudi ojek daring. Mereka membawa tuntutan yang sama—pembubaran DPR, pencabutan tunjangan dewan, perbaikan institusi pemberantasan korupsi, dan penindakan aparat yang dianggap arogan.
Di tengah kepulan gas air mata dan pagar kawat berduri, suara Anas dan kawan-kawan pelajar menegaskan satu hal. Bahwa generasi muda pun merasa berhak menyuarakan keresahan atas kebijakan negara.
“Menyampaikan aspirasi itu hak semua warga, tanpa memandang usia atau pendidikan,” tuturnya.
















