December 11, 2025
Issues Safe Space

Laporan Hukum Jalan Terus, Tak Ada Toleransi untuk Elham 

Dugaan pelecehan seksual (Gus) Elham terhadap anak-anak perempuan menuntut respons tegas. Pelaporan KPAI penting untuk memutus normalisasi kekerasan di ruang keagamaan.

  • November 20, 2025
  • 4 min read
  • 1658 Views
Laporan Hukum Jalan Terus, Tak Ada Toleransi untuk Elham 

*Peringatan pemicu: Kasus kekerasan anak-anak di pesantren. 

Meski telah menyampaikan permintaan maaf, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan tetap akan melaporkan Elham Yahya Luqman atau Gus Elham, penceramah Majelis Ta’lim Ibadallah, Kediri, ke pihak kepolisian. KPAI menyebut pelaporan tersebut adalah langkah yang memang harus dilakukan dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak. 

“Kita cuma mendorong bahwa ini ada pelanggaran hak anak, harus direspons dengan tepat,” ujar Komisioner KPAI, Dian Sasmita, ketika dikonfirmasi Antara (18/11). 

Nama Elham mencuat setelah beberapa video beredar luas di media sosial. Dalam rekaman-rekaman tersebut, ia terlihat mencium, memeluk, menggigit pipi, dan meminta ciuman dari anak-anak perempuan yang hadir dalam majelisnya. 

Ia bahkan sempat mengatakan, “Enggak semua bisa dapat lho,” seolah menunjukkan perlakuan tersebut merupakan “keistimewaan” yang ia berikan kepada anak-anak perempuan yang ditemuinya. 

Sikap demikian bukan hanya menunjukkan ketidakmampuan menjaga batas antara orang dewasa dan anak, melainkan juga normalisasi kontak fisik tak pantas dalam relasi kuasa yang timpang

Baca juga: Tak Kunjung Minta Maaf: Menteri Agama Gagal Paham soal Kekerasan Seksual 

Melanggar Hukum dan Ancam Keselamatan Anak 

Dalam catatan yang dikirimkan KPAI kepada Magdalene (17/11), setidaknya ada empat regulasi yang dilanggar Elham. Di antaranya, UUD 1945 Pasal 28B ayat (2), UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014, hingga UU Nomor 12 Tahun 2022 Pasal 4 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Regulasi-regulasi ini menegaskan, setiap anak berhak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. 

Selain tekanan hukum, KPAI menekankan dampak psikososial yang dapat muncul dari pelecehan seksual seperti yang terjadi dalam video. Anak-anak yang dilecehkan dapat mengalami kecemasan berkepanjangan, penurunan rasa percaya diri, hingga trauma yang mengganggu tumbuh kembang mereka. 

“Ini dapat memengaruhi kehidupan anak di masa depan,” jelas KPAI. 

Pada kondisi yang lebih berat, trauma itu dapat menimbulkan kerentanan baru terhadap kekerasan ataupun perilaku destruktif lainnya. 

Di sisi lain, tindakan Elham dinilai bertentangan dengan nilai-nilai dasar pemuka agama. An An Aminah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah dan pegiat pesantren ramah anak, mengatakan apa yang dilakukan Elham jauh dari ajaran agama mana pun. 

“Secara hukum itu mutlak haram. Tidak boleh dilakukan,” ujarnya pada Magdalene. 

Ia menambahkan tokoh agama harus mengutamakan kemampuan kognitif sosial untuk memahami konteks dan nilai di sekeliling mereka, termasuk bagaimana menempatkan diri ketika berinteraksi dengan anak. Alih-alih memberi teladan, sikap Elham justru membuka ruang bagi normalisasi kekerasan seksual oleh masyarakat yang melihat dan mendengarkan ceramahnya. 

Baca juga: Kerentanan Santri Queer: Sisi Gelap yang Terang Benderang

Setop Normalisasi hingga Reformasi Pesantren  

Sebagai figur yang memiliki pengaruh luas, tindakan Elham berpotensi besar ditiru. Aminah mengingatkan masyarakat sering kali memaknai perilaku tokoh agama sebagai sesuatu yang patut diteladani, terlepas benar atau salah. 

“Kalau perlakuan seperti itu dilakukan oleh seorang tokoh agama, masyarakat bisa menormalisasi itu. Bahkan bisa melakukan yang lebih jahat,” katanya. 

Karena itu, pelaporan terhadap Elham bukan hanya langkah hukum, tetapi juga upaya edukasi publik bahwa pelecehan seksual tidak boleh diberi ruang pembenaran. 

Kasus ini sekaligus menjadi pengingat pentingnya mitigasi pelecehan seksual di lingkungan pesantren—ruang yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak. Aminah menekankan setidaknya tiga langkah konkret yang bisa dilakukan pesantren. 

Baca juga: Kekerasan Seksual Makin Marak di Lingkungan Pesantren: Ini 5 Alternatif Solusi yang Bisa Dilakukan 

Di antaranya, menyelaraskan regulasi internal agar ramah anak dan perempuan; melakukan sosialisasi rutin pada para pengajar (Asatidz) agar mereka menjadi contoh utama perilaku aman dan etis; serta membakukan SOP pencegahan kekerasan seksual di dalam pesantren. 

Ketika sistem mulai dibangun, mulai dari regulasi, kesadaran pengajar, hingga mekanisme penanganan, pesantren dapat menjadi ruang yang benar-benar aman. Dengan begitu, kasus seperti yang melibatkan Elham tidak hanya dapat direspons secara tegas, tetapi juga dicegah agar tidak berulang.  

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).