Beberapa waktu lalu, ramai berita gagal nikah artis sekaligus penyanyi dangdut Indonesia yang sebelumnya menggelar tunangan mewah. Seperti biasa, netizen Indonesia, selain sibuk mencari tahu apa penyebab gagalnya pernikahan tersebut, juga turut memberikan stereotip negatif kepada artis yang kebetulan memiliki status janda beranak satu itu.
“Janda aja banyak nuntut.”
“Udah bagus ada yang mau nikahin. Harusnya bersyukur. Ribet amat janda ini,”
serta beberapa komentar negatif lainnya yang menyesaki media sosial.
Stigma negatif mengenai janda di masyarakat Indonesia muncul karena ada faktor historis, norma budaya, dan tentunya budaya patriarkal. Masyarakat patriarkal, di samping menuntut perempuan untuk segera menikah supaya diri mereka dirasa menjadi “lengkap”, juga memiliki perspektif bahwa janda adalah perempuan yang kehilangan jati diri utamanya.
Baca juga: Hari Janda Internasional: Janda Cerai Hidup atau Mati, Sama-sama Distigmatisasi
Padahal, status serta identitas utama dari perempuan tidak hanya ditentukan oleh status pernikahan. Dalam perspektif historis, perempuan dinilai bergantung sepenuhnya secara ekonomi kepada suaminya. Sehingga, ketika suami meninggal atau bercerai, janda dianggap sebagai beban ekonomi bagi keluarga dan masyarakat.
Ketidakmampuan atau kesulitan untuk mandiri secara ekonomi juga sering memicu hadirnya stigma tambahan. Padahal kita tahu, seringnya sistem sosial dan ekonomi sendiri yang membuat janda mengalami diskriminasi gender dan kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Janda sering kali dianggap sebagai ancaman karena persepsi yang salah tentang seksualitas mereka. Entah dari mana asumsi yang memberikan label bahwa janda yang sudah memiliki pengalaman seksual lebih “berbahaya” atau “tak terkendali” dibandingkan perempuan yang belum menikah. Stigma negatif ini memperkuat prasangka, janda merupakan penggoda atau gangguan utama dalam hubungan pernikahan lainnya.
Stigma seperti ini nampaknya memiliki hubungan erat dengan obsesi masyarakat Indonesia terhadap status keperawanan perempuan. Janda kerap dianggap kehilangan status “kesucian” mereka, yang memperkuat narasi negatif tentang moralitas dan seksualitas mereka.
Di samping itu, media juga memiliki peran besar dalam pembentukan narasi seorang janda. Media kerap kali menggambarkan janda sebagai karakter licik, penggoda, atau penyebab masalah dalam sinetron maupun film. Selain itu, media berita kadang-kadang memberitakan kasus-kasus yang melibatkan janda dengan nada sensasional dan menghakimi. Dulu narasi ini mudah ditemui pada “yellow journalism”, namun dengan berkembangnya media daring, narasi tersebut tampaknya tak ikut surut.
Sejarah dan stigma di atas terus direproduksi, sehingga memunculkan komentar-komentar yang merendahkan dan penuh prasangka terhadap janda, seperti yang diberikan netizen di media sosial.
This is a wake-up call bahwa kita masih memiliki masalah yang lebih besar dari patriarki dan ketidaksetaraan gender yang masih kuat di dalam masyarakat. Setiap perempuan, termasuk janda, memiliki hak untuk menetapkan standar dan harapan dalam memilih pasangan hidup.
Baca juga: Review ‘The Idea of You’: Ketika Sang Janda dan Si Anggota Boyband Jatuh Cinta
Perempuan memilih sunscreen saja sangat selektif, apalagi terkait dengan pasangan hidup yang akan terus membersamai perempuan hingga akhir hayat masing-masing. Maka pada hakikatnya, komentar yang menuntut artis yang janda untuk bersyukur karena ada laki-laki yang ingin menikahinya, atau merendahkan janda hanya karena memiliki prinsip hidup yang berbeda dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan, adalah bentuk pelecehan terhadap kebebasan individu dan otonomi perempuan.
Selain itu, stereotip janda seharusnya tidak menuntut banyak atau tidak memiliki standar tinggi, adalah bentuk kontrol sosial yang bertujuan untuk menjaga status quo patriarkal. Stereotip semacam ini mengaburkan fakta bahwa setiap individu berhak atas kebahagiaan dan kesejahteraan yang sama, tanpa harus mengorbankan martabat mereka.
Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menempatkan janda atau perempuan mana pun dalam posisi inferior. Setiap perempuan memiliki hak untuk mencari hubungan yang didasarkan pada rasa cinta, hormat, dan kesetaraan, bukan pada kompromi yang dipaksakan oleh tekanan sosial atau stigma.
Di samping itu, memaksa janda untuk tidak menetapkan standar tertentu kepada pasangannya juga merupakan bentuk victim blaming, di mana perempuan diharapkan untuk menerima situasi yang tidak adil. Tidak ada yang tahu alasan sang artis tersebut membatalkan pernikahan. Bisa saja karena pasangannya memiliki rekam jejak yang buruk, atau ada potensi gesekan antara dua keluarga. Apa pun alasannya, status sang penyanyi sesungguhnya tidak terikat dengan keputusan pembatalan pernikahan tersebut.
Stigma negatif tidak hanya dialami oleh artis dengan status janda cerai hidup saja. Ada juga artis dengan status janda cerai mati yang mendapatkan komentar tidak menyenangkan dari netizen karena cara berpakaian serta gaya hidupnya selalu menunjukkan kebahagiaan, dan tidak menunjukkan rasa berduka terhadap kematian mendiang suaminya yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Baca juga: Menjanda, Apakah Perceraian Pantas Dirayakan?
Sepertinya masyarakat kita terobsesi melihat perempuan yang berstatus janda seperti manusia tidak berguna, yang tidak sepatutnya berdaya, memiliki pemikiran, pilihan, dan seolah ketika tidak ada sosok laki-laki di sampingnya, maka dia sepatutnya termarjinalisasi.
Stigma terhadap artis Indonesia yang memiliki status janda adalah cerminan dari masalah sosial yang lebih besar terkait dengan patriarki, diskriminasi gender, dan ketidakadilan struktural. Untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara, penting untuk mengubah pandangan ini melalui edukasi, perubahan kebijakan, dan representasi media yang lebih baik. Setiap perempuan, termasuk janda, berhak hidup dengan martabat, kebebasan, dan otonomi penuh, tanpa harus tunduk pada stereotip yang merendahkan.
Prawinda Putri Anzari adalah akademisi dan peneliti dengan kajian utama Komunikasi Gender. Dosen sekaligus Kepala Laboratorium di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Malang (UNM) itu akan segera melanjutkan studi S3 di Australia. Riset utamanya meneliti kesenjangan digital pada perempuan ekonomi lemah, terutama penyintas pernikahan dini.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari