Gender & Sexuality

Pelibatan Laki-Laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Pelibatan laki-laki harus tetap memberdayakan perempuan dan mengubah norma yang merugikan bagi laki-laki dan perempuan.

Avatar
  • December 16, 2016
  • 5 min read
  • 235 Views
Pelibatan Laki-Laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Tepat 56 tahun yang lalu, pada tanggal 25 November, Mirabal bersaudara dihukum mati karena melawan dan terlibat dalam gerakan klandestin melawan diktator Dominika saat itu, Rafael Trujilo.
 
Tragedi tersebut menjadi sebuah simbol bagi perlawanan feminis. Pada 1999, sebagai penghargaan terhadap keempat kakak beradik tersebut, Majelis Umum PBB menjadikan 25 November sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Bahkan setiap tahunnya, mulai dari 25 November sampai 10 Desember, (Hari Peringatan Hak Asasi Manusia Sedunia), diperingati sebagai 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
 
Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2015, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 321.752, naik dari 293.220 pada tahun sebelumnya.
 
Peningkatan tersebut diikuti juga dengan meningkatnya keterlibatan masyarakat dan lembaga layanan dalam penanganan terhadap perempuan dan anak. Namun, upaya-upaya penghapusan yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat, kebanyakan hanya melibatkan perempuan saja. 
 
Oleh karena itu, sejumlah program pelibatan laki-laki pun mulai dilakukan beberapa waktu belakangan. Program-program tersebut di antaranya adalah MenCare+ dan Prevention+ yang dilakukan oleh lembaga Rutgers WPF, Male Involvement milik Badan PBB untuk Dana Kependudukan (UNFPA), dan He for She yang gencar dipromosikan oleh Badan PBB untuk Perempuan (UN Women).
 
Pelibatan laki-laki pada dasarnya dilakukan untuk mendorong mereka mengambil peran aktif dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan cara mengartikan ulang arti ‘maskulinitas’ dan peran keayahan (fatherhood).
 
Laki-laki yang umumnya dianggap sebagai sumber kekerasan dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender kini dilibatkan dan diharapkan dapat menyempurnakan strategi dalam mencapai kesetaraan gender, ujar Lily Puspa Sari dari UN Women, dalam sambutannya di seminar “Akuntabilitas Pelibatan Laki-Laki dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender” pada 5 Desember 2016.
 
“Kesetaraan gender memerlukan partisipasi semua pihak dan semua gender,” kata Lily dalam seminar yang digagas oleh Rutgers WPF Indonesia bersama UN Women, sebagai salah satu rangkaian peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
 
Posisi pelibatan laki-laki dalam gerakan perempuan
 
Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelibatan laki-laki adalah apakah hal tersebut dapat menciptakan hak istimewa baru bagi laki-laki? Syaldi Sahude dari Aliansi Laki-Laki Baru, mencontohkan, dalam konteks domestik pelibatan laki-laki, laki-laki yang menggendong anak atau memasak kerap dianggap “keren” ketika sebenarnya hal tersebut tak lebih dari sebuah tugas yang sewajarnya dalam rumah tangga.
 
Siska Noya dari Rutgers WPF Indonesia mengatakan, meskipun pelibatan laki-laki dalam kesetaraan gender mulai gencar, di satu sisi kita juga melihat beberapa gerakan pelibatan laki-laki terkadang belum mempunyai landasan prinsip-prinsip feminisme yang kuat. Salah satunya adalah landasan dalam membongkar 3P: power (kekuasaan), privilege (hak istimewa), dan patriarchy (patriarki).
 
“Banyak kerja organisasi pelibatan laki-laki yang tidak terhubung dengan gerakan perempuan,” ujar Siska.
 
 “Mendukung bukan menguasai” pun menjadi pegangan sekaligus peringatan penting bagi pelibatan laki-laki di posisinya dalam gerakan perempuan. Sehingga tak terjadi lagi seperti yang diceritakan oleh Donna Suwita dari Solidaritas Perempuan. Dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia, laki-laki yang berorasi sementara para perempuan di bawahnya seolah-olah menjadi pelibatan laki-laki berfungsi sebagai pelindung. Padahal bukan proteksi yang dibutuhkan dari pelibatan laki-laki, melainkan sebuah kerja sama berbagi ruang dalam mencapai keadilan gender.

Pelibatan laki-laki dan pengakuan hak istimewa
 
Lantas, bagaimana mungkin laki-laki yang merupakan bagian dalam kelompok pelaku kekerasan bisa berbagi ruang dalam upaya menghentikan kekerasan? Menurut Nurhasyim, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, pelibatan laki-laki dalam gerakan perempuan haruslah dalam bentuk melucuti hak istimewanya.
 
Maka, menurutnya, seperti yang dikatakan penulis dan aktivis Rus Ervin Funk, yang dimaksud dengan akuntabilitas pelibatan laki-laki adalah ketika gerakan tersebut responsif terhadap gerakan feminis atau perempuan.

“Responsif ditandai dengan mendengarkan aspirasi dan kepentingan perempuan serta gerakan feminis, bertanggung jawab terhadap pilihan dan tindakan, pengakuan kepemilikan hak istimewa sebagai laki-laki (termasuk mengakui bahwa laki-laki adalah sebagian besar dari pelaku kekerasan terhadap perempuan,” ujar Nurhasyim.
 
Dalam diskusi pada seminar tersebut disebutkan bahwa pelibatan laki-laki bukan sekadar menghadirkan laki-laki dalam program. Persoalan yang lebih penting sekaligus paling sulit adalah bagaimana mengubah konsep-konsep maskulinitas yang patriarkis. Tidak semata-mata menjadikannya sebuah perubahan personal (laki-laki mau memasak dan menggendong anaknya), tapi juga perubahan struktur. Sementara itu dari sisi psikologis, pelibatan laki-laki penting dalam memutus rantai kekerasan terhadap perempuan.
 
Melibatkan laki-laki = bekerja dari akar kekerasan
 
Masalah bisa diputus dengan cara memahami akarnya. Begitu pula dengan pelibatan laki-laki dalam pemutus rantai kekerasan. Ini merupakan langkah strategis dengan cara memahami akar kekerasan. Norma-norma maskulinitas membuat “ketergantungan” dan “lemah” dianggap tidak maskulin. Maka rasa kalah, kegagalan, penolakan, dan kehilangan menimbulkan ketidakberdayaan sehingga melahirkan rasa malu yang melahirkan kekerasan dan akhirnya merasa telah memiliki kuasa.
 
Menurut Nathanael E.J Sumampouw, Psikolog dari Universitas Indonesia, dalam memutus rantai kekerasan terhadap perempuan, diperlukan kerja sama dengan laki-laki karena dibutuhkannya pergeseran paradigma soal laki-laki.
 
“Misalnya dengan menganggap laki-laki menangis adalah hal yang wajar, bahwa laki-laki pun sama saja seperti perempuan, memiliki emosi. Hanya saja emosi yang sama beragamnya tersebut punya batasan ekspresi yang diciptakan oleh patriarki. Artinya, patriarki tak hanya merugikan bagi perempuan. Maka dari itu, konseling laki-laki, salah satunya laki-laki sebagai pelaku kekerasan juga diperlukan,” ujarnya.
 
Sementara sejumlah program pelibatan laki-laki diadaptasi oleh berbagai gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, penting bagi kita untuk terus memperhatikan akuntabilitasnya. Seperti yang diutarakan dalam sambutan seminar dari UN Women, pelibatan laki-laki harus tetap memberdayakan perempuan dan mengubah norma yang merugikan bagi laki-laki dan perempuan. Serta yang tak kalah penting, menantang kita semua untuk unlearning konstruksi gender yang ada selama ini.
 
Farhanah adalah staf media digital RutgersWPF Indonesia, lembaga yang bergerak dalam isu seksualitas dan kesehatan reproduksi, sekaligus penghapusan kekerasan.

 

 


Avatar
About Author

Farhanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *