December 5, 2025
Issues

Pemangkasan Anggaran KND: Bukti Pemerintah Remehkan Hak Orang dengan Disabilitas

Kebijakan efisiensi terhadap Komite Nasional Disabilitas (KND) adalah bukti pemerintah yang menganggap remeh isu teman-teman disabilitas. Apa yang bisa dilakukan di situasi ini?

  • March 11, 2025
  • 5 min read
  • 2212 Views
Pemangkasan Anggaran KND: Bukti Pemerintah Remehkan Hak Orang dengan Disabilitas

Aku adalah perempuan Tuli. Sama seperti kebanyakan kawan-kawan Tuli lainnya, aku berkomunikasi dengan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), meskipun terkadang juga menggunakan komunikasi verbal.

Aku baru menyadari aku adalah disabilitas Tuli sekitar enam tahun lalu. Orang tuaku tidak pernah menyebutkan bahwa aku disabilitas. Kesadaran itu muncul saat aku mengikuti kegiatan penggalangan dana untuk anak Tuli bersama himpunan mahasiswa dan belajar dari anak-anak Yayasan Sayap Ibu Bintaro. Dari sana, aku mulai mengenal lebih dalam komunitas Tuli dan memahami isu-isu kompleks yang dihadapi, termasuk soal interseksionalitas.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis Prabowo, Sudahkah Libatkan Anak dengan Disabilitas?

Aksesibilitas: Isu Utama Orang dengan Disabilitas

Ketika berbicara mengenai tentang disabilitas, aksesibilitas adalah isu utama. Misalnya, disabilitas daksa (pengguna kursi roda) membutuhkan ramp (bidang miring). Orang-orang dengan disabilitas netra memerlukan guiding block (ubin bantu/jalur pemandu) atau screen reader (pembaca layar) pada ponsel pintar. Sementara disabilitas Tuli membutuhkan juru bahasa isyarat atau tulisan apabila ada informasi berupa audio. Hal-hal yang terlihat sederhana ini masih menjadi kemewahan di Indonesia.

Ketika aku mulai mendalami isu disabilitas pada 2019–2020, aku seperti bayi yang baru belajar berjalan. Saat itu, aku baru mengetahui keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, sebuah peraturan yang sudah disahkan sejak empat tahun sebelumnya, tetapi gaungnya belum benar-benar terasa di lapangan. Fasilitas publik masih tidak ramah disabilitas, dan layanan publik yang berbasis interaksi masih sulit diakses oleh komunitas Tuli karena kebanyakan petugas tidak bisa berbahasa isyarat. Bahkan pada tahun itu, staf khusus presiden bidang disabilitas sudah dilantik, tetapi kebijakan-kebijakan yang diambil masih belum sepenuhnya menjangkau kebutuhan orang dengan disabilitas di seluruh daerah.

Komisi Nasional Disabilitas (KND) dibentuk sebagai tindak lanjut dari UU Disabilitas dan diperkuat oleh Peraturan Presiden No. 68/2020. KND berada di bawah presiden dan bertugas melakukan pemantauan, evaluasi, serta advokasi untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak orang dengan disabilitas. Sebagian besar tugas ini memerlukan perjalanan dinas ke berbagai daerah di Indonesia—negara kepulauan yang luas, dengan tantangan geografis dan infrastruktur yang tidak selalu ramah disabilitas. Untuk menjalankan tugas ini, KND bergantung pada anggaran dari Kementerian Sosial.

Sejak KND berdiri pada tahun 2021, operasionalnya memang tidak selalu mulus. Tapi semuanya berubah drastis setelah pergantian presiden dan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Pada awal Maret, aku membaca kabar dari media sosial bahwa anggaran KND yang semula hampir Rp6 miliar dipangkas menjadi Rp500 juta. Informasi ini disampaikan oleh Komisioner KND, Kikin Tarigan.

Reaksi pertamaku adalah marah. Aku tahu persis bahwa anggaran KND bahkan ketika masih Rp6 miliar pun belum cukup untuk menjangkau seluruh orang dengan disabilitas di Indonesia. Indonesia adalah negara yang sangat luas, dan banyak daerah terpencil yang sulit diakses. Bahkan sebelum pemangkasan anggaran, KND kesulitan merespons semua laporan yang masuk karena keterbatasan sumber daya. KND bergantung pada perjalanan dinas untuk menjalankan fungsi pemantauan dan advokasi, dan sebagian besar anggaran memang dialokasikan untuk biaya perjalanan dinas. Jika anggaran perjalanan dipangkas, bagaimana KND bisa menjalankan tugasnya?

Bayangkan saja, alat bantu dengarku saja bisa seharga motor. Anggaran Rp500 juta untuk lembaga tingkat nasional yang bertugas melindungi hak orang dengan disabilitas di seluruh Indonesia itu terasa seperti lelucon. Bahkan mungkin anggaran sebesar itu bisa habis dalam waktu tiga bulan hanya untuk biaya operasional dasar. Bagaimana mungkin pemerintah menganggap serius isu disabilitas dengan anggaran sekecil itu?

Baca juga: Jakarta, Tunggu Dulu: Perempuan Disabilitas Juga Mau Bermobilitas

Menagih janji Presiden Prabowo untuk kelompok disabilitas

Kemarahan atas pemotongan anggaran KND bertambah karena latar belakang kebijakan pemangkasan anggaran ini. Pemerintah saat ini sangat bersemangat menjalankan Program Makan Bergizi Gratis (MBG)—sebuah program yang katanya akan meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia. Tapi apakah program ini sudah inklusif? Bagaimana dengan anak-anak disabilitas yang memiliki kebutuhan khusus dalam pola makan mereka? Anak dengan down syndrome, misalnya, sering memiliki intoleransi gluten dan laktosa. Apakah makanan dalam program MBG sudah mempertimbangkan kebutuhan ini? Dan bagaimana dengan anak disabilitas netra yang tidak bisa melihat makanan yang disajikan?

Aku tidak mengatakan bahwa program MBG adalah ide yang buruk. Tapi mengorbankan anggaran KND untuk mendanai program ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar memahami apa yang dibutuhkan oleh komunitas disabilitas. KND adalah tulang punggung advokasi disabilitas di Indonesia, dan pemangkasan anggaran ini berarti pemerintah telah gagal menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi dan memenuhi hak-hak disabilitas.

Yang membuatku semakin kecewa adalah bahwa pemangkasan ini bertentangan dengan janji kampanye Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran dalam program Asta Cita. Dalam program itu, mereka menjanjikan pembangunan sumber daya manusia yang inklusif, termasuk untuk orang dengan disabilitas. Beberapa kali aku  menemukan pernyataan mereka yang selalu menekankan, “Orang dengan Disabilitas adalah salah satu isu yang menjadi Prioritas Pemerintah”. Tapi bagaimana mungkin kita bicara soal inklusivitas jika lembaga yang bertugas untuk memastikan pemenuhan hak disabilitas justru dipangkas anggarannya? Jika pemerintah serius dengan Asta Cita, seharusnya anggaran KND ditingkatkan, bukan dipotong.

Sebagai orang dengan disabilitas, aku dan teman-temanku berhak menagih janji itu. Kami tidak butuh retorika atau janji-janji kosong. Kami butuh aksesibilitas yang nyata, yakni akses pendidikan yang ramah disabilitas, layanan kesehatan yang inklusif, kesempatan kerja tanpa diskriminasi, dan kebijakan publik yang melibatkan komunitas disabilitas dalam proses pengambilannya. Jika pemerintah benar-benar memprioritaskan disabilitas, maka setiap kebijakan yang diambil, termasuk kebijakan anggaran, harus dibuat dengan melibatkan orang dengan disabilitas secara langsung.

Baca juga: Perguruan Tinggi Perlu Libatkan Mahasiswa Disabilitas

Aku tidak akan berhenti bersuara. Dan aku berharap teman-teman disabilitas lainnya juga tidak akan tinggal diam. Kita harus memanfaatkan kekuatan media sosial untuk terus menekan pemerintah agar memperbaiki kebijakan ini. Keviralan berita tentang pemangkasan anggaran KND adalah bukti bahwa suara kita bisa didengar. Jika kita terus bersuara, kita bisa memaksa pemerintah untuk memperbaiki kebijakan ini.

Kita berhak hidup layak sebagai warga negara di Indonesia. Dan pemerintah wajib memenuhi hak itu. Pemangkasan anggaran KND bukan hanya soal angka. Ini adalah soal keadilan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak dasar yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, termasuk orang dengan disabilitas.

Nissi Taruli Felicia Naibaho adalah salah satu pendiri Feminis Themis, komunitas feminis Tuli yang fokus mengedukasi masyarakat awam tentang kekerasan seksual dan diskriminasi yang dialami perempuan Tuli di Indonesia.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Nissi Taruli Felicia Naibaho

Leave a Reply