Issues

Perempuan Bali: Sakti di Ritual, Terkungkung dalam Realitas

Perempuan Bali dipuja dalam tradisi sebagai simbol sakti, tetapi kenyataannya mereka masih terbelenggu dalam sistem adat yang patriarkal.

Avatar
  • March 11, 2025
  • 4 min read
  • 325 Views
Perempuan Bali: Sakti di Ritual, Terkungkung dalam Realitas

Setelah hampir 30 menit memecah ombak, kapal yang saya tumpangi perlahan merapat di pelabuhan Toya Pakeh, Nusa Penida, Bali. Angin pagi membelai rambut, membawa aroma laut yang asin bercampur wangi dupa dari canang (persembahan) yang baru diletakkan.

Tidak jauh dari dermaga, pasar tradisional sudah telah. Pedagang menawarkan ikan segar, ibu-ibu bertukar cerita, diiringi bunyi klakson sepeda motor yang bersahutan. Saat menyusuri pasar, saya melihat perempuan-perempuan Bali dalam balutan kemben, bergerak cekatan dengan menyunggi bakul.

 

Ada yang menata pisang emas, menimbang ikan hasil tangkapan suami, atau meracik bumbu dengan tangan terampil. Senyum mereka mengembang, tapi di baliknya tersimpan kisah ketangguhan yang terjalin erat dengan tradisi dan batasan yang menyertainya.

Baca juga: ‘Sing Beling Sing Nganten’: Bagaimana Perempuan Bali Dipaksa Jadi Penghasil Keturunan

Dewi di kitab, hamba sahaya di realitas

Bali kerap digambarkan sebagai tanah yang memuliakan perempuan. Dalam lontar-lontar kuno, perempuan dianggap sebagai perwujudan sakti, energi ilahiah yang menggerakkan kehidupan. Rigveda, salah satu kitab dalam tradisi agama Hindu, bahkan menyebut perempuan sebagai Vak, suara kosmis yang layak disembah.

Namun, realitas berkata lain. Sistem adat yang patriarkal masih membatasi peran perempuan. Misalnya, konsep mepamit dalam pernikahan membuat perempuan “keluar” dari keluarga asal, seolah kehilangan identitas. Meski ada sistem nyentana, atau laki-laki yang masuk ke keluarga istri, ini tetap dianggap pilihan kedua. Tanpa anak laki-laki, peran ibu sering dianggap “tidak lengkap.”

Dalam budaya Bali, perempuan ideal sering dikaitkan dengan konsep jegeg, yang secara harfiah berarti cantik. Namun, makna ini melampaui fisik. Seorang perempuan yang dianggap jegeg tidak hanya sebatas memiliki paras elok, tetapi juga lembut, penurut, dan pandai membawa diri sesuai norma sosial.

Perempuan Bali diajarkan untuk menjadi jegeg dalam arti “menyenangkan,” baik dalam keluarga maupun masyarakat. Keindahan mereka dihargai, tetapi juga diawasi. Perempuan yang terlalu vokal dianggap kurang jegeg, begitu pula mereka yang terlalu bebas mengekspresikan diri.

Konsep Jegeg yang sejatinya bisa menjadi kekuatan justru sering dijadikan alat kontrol. Ada aroma objektifikasi di sana, pandangan yang berpotensi mengabaikan kualitas perempuan sebagai individu yang memiliki bakat dan kepribadian unik.

Sudah saatnya perempuan Bali berpikir melampaui jegeg, lebih dari sekadar fisik yang cantik, untuk menjadi sumber daya yang kuat dalam mencintai dan menghargai tubuh mereka secara sehat dan holistik.

Baca juga: Perempuan Bali Mimpi Terlibat Aktif dalam Gerakan Lingkungan Hidup

Perempuan Bali sakti yang terbelenggu

Istilah sakti sering digunakan untuk meromantisasi pengorbanan perempuan. Mereka dihormati dalam ritual, tapi suaranya jarang terdengar dalam keputusan adat. Jabatan Bendesa (kepala desa adat) masih didominasi laki-laki, dan di banjar (desa), perempuan lebih sering mengurus konsumsi ketimbang kebijakan.

Padahal, dalam ajaran Tantra, shakti adalah kekuatan revolusioner. Dewi Durga, simbol sakti yang perkasa, digambarkan sebagai penumpas kejahatan. Namun, di Bali, perempuan diharapkan untuk nrimo—menerima saat hak warisnya dikurangi atau suaranya diredam dalam musyawarah adat.

Feminisme Hindu sebenarnya menawarkan pendekatan unik dengan memperjuangkan hak perempuan tanpa harus melawan tradisi apalagi agama, tetapi dengan menggali kembali nilai-nilai spiritual yang sejatinya adil. Jadi, perjuangan yang ideal bisa dilakukan tanpa kehilangan identitas sebagai perempuan Bali dan Hindu.

Vandana Shiva, filsuf feminis India, pernah berkata, “Perempuan bukan pelengkap, tapi mitra sejati dalam menjaga bumi dan budaya.” Di Bali, mitra itu masih menunggu diakui. Kesetaraan masih menjadi jalan yang panjang.

Di sudut Pasar Toya Pakeh, Nusa Penida, pulau yang dijuluki telur emasnya Bali, ada seorang nenek dengan tangan keriput menimbang beras. Matanya berbinar saat bercerita tentang cucunya yang kuliah di Denpasar. “Dia ingin jadi politisi tapi tetap ikut ngayah di pura,” katanya bangga.

Baca juga: Perempuan dan Penentuan Otoritas Rumah Ibadat

Di sanalah harapan tumbuh: tradisi tidak harus membelenggu, tetapi bisa menjadi pijakan untuk melompat lebih tinggi. Perempuan Bali perlu merebut semangat sakti yang merdeka, menjadi penjaga adat yang progresif, dan penggerak perubahan yang tak lagi bisu atau sebatas pelengkap.

Putu Ayu Suniadewi adalah aktivis Perhimpunan Pelajar Indonesia di Luar Negeri (Hrd PPI TV)



#waveforequality
Avatar
About Author

Putu Ayu Suniadewi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *