Issues Politics & Society

Carut Marut Pemerintahan Prabowo: Tanggung Jawab Siapa?

Di tengah kekacauan politik di bawah pemerintahan Prabowo, mungkin bukan soal siapa yang salah, tapi bagaimana kita memperbaiki keadaan.

Avatar
  • March 25, 2025
  • 5 min read
  • 2980 Views
Carut Marut Pemerintahan Prabowo: Tanggung Jawab Siapa?

Pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi kebijakan mereka untuk memicu kontroversi besar. Dalam 150 hari pertama, gelombang protes pecah di berbagai daerah, melahirkan istilah yang mencerminkan keresahan publik: “Indonesia Gelap.”

Puncak kontroversi terjadi pada 20 Maret 2025, dengan pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang memberikan wewenang lebih besar kepada militer dalam ranah sipil, termasuk pengamanan demonstrasi dan pengelolaan bencana alam. Langkah ini dianggap sebagai kemunduran besar dari reformasi 1998 yang bertujuan memperkuat supremasi sipil atas militer. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam kehidupan politik dan sosial Indonesia—sesuatu yang telah lama coba dihindari sejak tumbangnya Orde Baru.

 

Baca juga: ‘Masak Saja Babinya hingga Anjing Menggonggong’: Komunikasi Asbun Pemerintah

Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis HAM menolak keras aturan ini karena membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan. Jika militer kembali menjadi aktor utama dalam pengambilan kebijakan sipil, maka demokrasi Indonesia yang rapuh bisa runtuh dalam waktu singkat.

Alih-alih mengkritisi kebijakan ini dan mengawal pemerintahan agar tetap demokratis, sebagian besar pendukung Prabowo-Gibran justru memilih diam atau membela keputusan-keputusan kontroversial ini. Ketika protes terjadi, mereka menyalahkan oposisi atau rakyat yang dianggap “tidak bersyukur.”

Pepatah mengatakan, “Teman sejati bukanlah yang selalu membenarkan kesalahan, tetapi yang berani mengingatkan ketika salah arah.” Kritik terhadap pemerintah bukanlah bentuk pengkhianatan, melainkan tanggung jawab setiap warga negara.

Dalam demokrasi, hasil pemilu adalah konsekuensi dari proses politik yang melibatkan semua warga negara. Baik mereka yang memilih Prabowo-Gibran, pasangan lain, atau yang memilih golput, kini berada di posisi yang sama: menghadapi dampak langsung dari kebijakan pemerintah.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya ingin mengajak semua pihak untuk tidak terjebak dalam perdebatan “siapa yang salah”, karena ini hanya akan memperkeruh keadaan. Yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat, terlepas dari pilihan politiknya, dapat bersama-sama mengawal kebijakan pemerintah agar tetap berpihak pada rakyat. Jika kritik dibungkam dan masyarakat hanya pasrah menerima, maka kita sedang membuka jalan menuju pemerintahan yang semakin otoriter.

Baca juga: Warisan Manipulasi Jokowi dan Kemunduran Demokrasi Indonesia

Militer kembali ke panggung politik

Sejarah mencatat bahwa militer di Indonesia tidak pernah benar-benar kehilangan pengaruhnya. Dalam Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (2007), Gerry Klinken dan Geert Klinken menjelaskan bagaimana desentralisasi pasca-reformasi justru memperbesar peran militer di daerah.

Militer bertindak layaknya warlord atau “bos lokal” yang memegang kendali politik dan keamanan di wilayahnya. Bukannya bersikap netral, militer justru kerap berpihak dalam konflik local, menambah kompleksitas permasalahan demokrasi di Indonesia. Kini, dengan pengesahan UU TNI, pengaruh militer yang sebelumnya menguat di daerah bisa semakin terkonsolidasi di tingkat nasional.

Konsep supremasi sipil dan ancaman politisasi militer ini telah lama dibahas oleh Samuel Huntington dalam bukunya The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations (1957). Ia menjelaskan dua model utama hubungan sipil-militer, yakni kontrol sipil objektif yang memberikan militer otonomi professional namun tetap tunduk pada pemerintahan sipil, sertaa kontrol sipil subjektif, di mana pemerintah berupaya mengendalikan militer secara langsung, yang sering kali berujung pada politisasi militer.

Dengan pengesahan UU TNI, Indonesia kini bergerak ke arah kontrol sipil subjektif. Militer tidak hanya memiliki kekuatan profesional, tetapi juga ruang politik untuk memengaruhi kebijakan sipil. Ini adalah kemunduran serius dari prinsip supremasi sipil yang selama ini menjadi fondasi demokrasi Indonesia.

Jika militer mendapatkan wewenang yang terlalu luas, risiko penyalahgunaan kekuasaan akan semakin tinggi. Ketika militer menjadi alat politik penguasa, kontrol sipil akan melemah dan demokrasi akan bergeser menuju sistem otoriter.

Baca juga: Dear Pak Luhut, Usulan Tentara Jadi Pejabat Sipil adalah Kemunduran

Perempuan dan kelompok rentan jadi korban pertama

Dalam sistem politik yang semakin otoriter, perempuan dan kelompok rentan adalah pihak pertama yang akan merasakan dampaknya. Maya Eichler dalam Militarized Masculinities in International Relations (2018) menjelaskan bahwa kehadiran militer dalam kehidupan sipil sering kali memperkuat budaya maskulinitas toksik dan meningkatkan kekerasan berbasis gender.

Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada 2020–2024, terdapat setidaknya 190 kasus kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI. Dalam banyak kasus, korban kesulitan mendapatkan keadilan karena proses hukum dilakukan di pengadilan militer.

Dengan pengesahan UU TNI, ruang gerak perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya akan semakin sempit. Budaya impunitas yang dipelihara di lingkungan militer bisa menciptakan iklim ketakutan yang membungkam suara perempuan dan kelompok minoritas di ruang publik.

Perempuan telah membuktikan perannya dalam memperjuangkan demokrasi. Dalam Reformasi 1998, aktivis perempuan berani menghadapi rezim militer untuk menuntut keadilan dan kebebasan politik. Jika supremasi sipil runtuh, perempuan kembali menghadapi ancaman represi dan kekerasan yang dilegitimasi oleh negara.

Ancaman itu kini terasa semakin nyata di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Pertanyaannya, apakah pemerintahannya akan menggunakan kekuatan militer untuk melindungi demokrasi atau justru memperkuat cengkeraman kekuasaan? Ini adalah sesuatu yang harus terus diawasi oleh rakyat Indonesia, karena sejarah telah membuktikan bahwa militer yang terlalu kuat dalam politik sering kali menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri.

Maka pertanyaannya bukan lagi tentang “siapa yang bertanggung jawab atas kondisi ini?”, melainkan bagaimana kita sebagai rakyat bisa mencegah demokrasi dari kehancuran lebih lanjut. Karena, “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.”

Aiza Nabilla Arifputri adalah seorang pencinta kucing yang mendalami isu-isu media, budaya, dan inklusivitas. Lulusan magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, dengan ketertarikan pada dinamika komunikasi di era digital. Sangat menikmati drama Korea menye-menye sebagai sumber hiburan.



#waveforequality
Avatar
About Author

Aiza Nabilla Arifputri

Aiza Nabilla Arifputri adalah Dosen Ilmu Komunikasi. Bisa ditemui di Instagram @aizanabilla.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *