December 5, 2025
Issues Politics & Society

Munafiknya Pemimpin Dunia: Akui Palestina tapi Tetap Danai Militer Israel 

Inggris, Kanada, dan Australia baru saja mengakui Palestina sebagai negara. Namun di balik gestur diplomatik itu, mereka tetap memperkuat militer Israel.

  • September 24, 2025
  • 5 min read
  • 1684 Views
Munafiknya Pemimpin Dunia: Akui Palestina tapi Tetap Danai Militer Israel 

Inggris, Kanada, dan Australia baru saja secara resmi mengakui Palestina sebagai negara. Dengan tambahan ini, sekitar 75 persen dari 193 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini mengakui Palestina. 

Meski begitu, di PBB Palestina masih berstatus negara pengamat tetap. Status ini memberi akses ke forum Majelis Umum PBB, tetapi mereka tak punya hak suara dalam pemungutan. 

Dukungan Inggris, Kanada, dan Australia membuat Palestina sekarang disokong oleh empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Ini jadi momen yang banyak media dan pakar sebut sebagai titik balik. Sebab untuk pertama kalinya, negara-negara Barat dengan pengaruh geopolitik besar, menambahkan pengakuan formal terhadap Palestina. 

Hugh Lovatt, peneliti senior di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR), mengatakan kepada DW, pengakuan ini tetap signifikan meski bukan kebijakan menyeluruh. 

“Mengingat negara-negara yang melakukan pengakuan seperti Prancis dan Inggris, hal ini merupakan pengukuhan penting atas hak-hak Palestina. Ini termasuk di antaranya hak menentukan nasib sendiri, hak untuk hidup bebas dari pendudukan, hak untuk memiliki negara, dan sebagainya,” ujarnya. 

Namun, pengakuan tersebut juga dipandang sekadar pertunjukan politik. Kolumnis Guardian Owen Jones menyebutnya langkah simbolis untuk meredam desakan publik. Sementara Ines Abdel Razek, Direktur Advokasi Institut Diplomasi Publik Palestina di Ramallah, menulis di Al Shabaka, gestur simbolis negara Barat tidak menghadirkan keadilan maupun kedaulatan bagi Palestina. 

Razek menilai pengakuan itu justru melemahkan hak penentuan nasib sendiri Palestina karena mereka tidak memiliki kendali atas perbatasan, ruang udara, sumber daya alam, maupun wilayah. Semuanya masih dikuasai Israel

“Pengakuan yang diberikan kepada entitas politik yang beroperasi di bawah kendali Israel tidak memiliki kedaulatan maupun legitimasi demokratis. Lebih buruk lagi, gestur simbolis seperti ini sering kali dipersepsikan sebagai tindakan berani secara moral, padahal pada kenyataannya berfungsi sebagai tameng diplomatik,” tulisnya. 

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel  

Muka Dua Negara Barat 

Kritik ini tidak muncul tanpa sebab. Inggris, Kanada, dan Australia, meski mengakui Palestina, tetap memperkuat hubungan militer dengan Israel yang melancarkan genosida terhadap warga sipil. Sementara korban terus berjatuhan, suplai senjata dan dukungan pertahanan ke Israel justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir. 

Contoh paling mencolok datang dari Inggris. Partai Buruh dilaporkan menyetujui ekspor senjata senilai 160 juta dolar AS (Rp2 triliun) ke Israel hanya dalam periode Oktober–Desember 2024. Data dari Campaign Against Arms Trade (CAAT) menunjukkan angka ini bahkan lebih besar dari total ekspor senjata Inggris ke Israel selama empat tahun pemerintahan Konservatif, yakni sekitar 144 juta dolar. 

Sebagai perbandingan, lisensi ekspor senjata Inggris ke Israel pada 2020 hanya 39 juta dolar; 2021 sebesar 30 juta; 2022 sekitar 52 juta; dan 2023 hanya 23 juta. Lonjakan ke 160 juta dolar dalam tiga bulan pada 2024 adalah eskalasi yang belum pernah terjadi. Fakta ini menelanjangi kemunafikan Inggris, apalagi hingga kini mereka tidak punya rencana menghentikan ekspor senjata. 

Kanada juga serupa. Investigasi CBC mengungkap, Kanada terus mengekspor amunisi dan suku cadang militer ke Israel, meski pemerintahnya mencoba membedakan pengiriman itu dari “senjata mematikan.” Kenyataannya, ribuan peluru, bom, torpedo, roket, hingga perangkat peledak tetap dikirim ke Tel Aviv dengan nilai mencapai 2,25 juta dolar AS. Aliran ini pun tidak berhenti meski jumlah korban sipil di Gaza terus meningkat. 

Australia pun sebelas dua belas. Menurut laporan ABC News, pemerintahnya masih aktif mengeluarkan izin ekspor pertahanan ke Israel, termasuk komponen penting sistem senjata. Australian Centre for International Justice (ACIJ) menyebut ada manipulasi naras oleh pemerintah untuk menutupi fakta ekspor. Meski secara resmi menyatakan tidak ada pengiriman senjata besar, izin ekspor komponen militer tetap berlanjut. Bahkan teknologi drone buatan perusahaan Australia, Electro Optic Systems, sempat diuji Pasukan Israel awal tahun ini. 

Dengan kenyataan ini, pengakuan Palestina dari Inggris, Kanada, dan Australia jadi kehilangan makna. Selama suplai senjata ke Israel tetap berjalan, diplomasi hanya jadi simbol kosong. Tidak ada pengakuan yang bisa menyelamatkan nyawa ketika bom terus dijatuhkan dan blokade diperketat. 

Beberapa negara lain menunjukkan pilihan berbeda mungkin. Spanyol misalnya, menghentikan ekspor senjata ke Israel senilai 700 juta euro (Rp13 triliun). Kolombia dan Turki bahkan memutus hubungan diplomatik sepenuhnya. 

Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis 

Setop Suplai Senjata ke Israel 

Jika negara Barat benar-benar ingin mendukung Palestina, langkah menghentikan suplai senjata ke Israel adalah syarat mutlak. Tanpa itu, impunitas Israel akan terus berlangsung dan genosida berlanjut tanpa konsekuensi hukum internasional. 

Solidaritas masyarakat sipil pun makin penting. Italia baru-baru ini menggelar aksi mogok nasional menuntut penghentian ekspor senjata ke Israel. Dilaporkan AP News, aksi 24 jam itu diikuti berbagai kelompok, dari pelajar, mahasiswa, guru, hingga pekerja logam. Dampaknya terasa luas, seperti transportasi publik terganggu, kereta nasional tertunda, sekolah dan pelabuhan lumpuh, termasuk di kota besar seperti Roma. Padahal Italia adalah salah satu pemasok senjata terbesar Israel, dengan kontribusi sekitar 1 persen dari total persenjataan mereka. 

Indonesia juga tidak bisa menutup mata. Meski kerap vokal membela Palestina di forum internasional, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia masih menjalin perdagangan militer dengan Israel. Pada Oktober 2020, impor senjata dari Israel mencapai 1,28 juta dolar AS, mulai dari senjata artileri, mortir, howitzer, hingga suku cadang revolver. 

Arah politik Indonesia yang condong pada normalisasi hubungan dengan Israel juga terlihat dari sikap Presiden Prabowo Subianto. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Solusi Dua Negara di Markas PBB, New York (22/9), ia bilang Indonesia akan mengakui Israel bila mereka mengakui Palestina. 

Fakta-fakta ini menunjukkan tekanan publik untuk menghentikan genosida Palestina semakin mendesak. Solidaritas tidak cukup berhenti pada kata-kata, melainkan harus diwujudkan dalam aksi nyata. Ini bisa dimulai dengan pemutusan suplai senjata, penghentian kolaborasi militer, dan desakan agar pemerintah bertanggung jawab. Tanpa tekanan kolektif, negara-negara akan terus bersembunyi di balik gestur simbolis sambil melanggengkan hubungan ekonomi dan militer dengan Israel. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.