Mereka Tak Pernah Minta Maaf Panggil Saya Bencong
Mama Sam meminta maaf kepada orang-orang saat anak lelakinya mengunggah foto di media sosial, mengenakan gincu, tanktop, dengan rambut panjang terurai. Namun, mama tak minta maaf padaku.
Mama Sam meminta maaf kepada orang-orang saat anak lelakinya mengunggah foto di media sosial, mengenakan gincu dan tanktop, dengan rambut panjang terurai. Namun, mama tak minta maaf padaku.
“Kenapa mama harus merasa bersalah membesarkan laki-laki yang ternyata non-biner?” tanya Sam.
Pertanyaan ini muncul karena ia merasa mamanya bersikap janggal. Dari kecil, mama membesarkan Sam dengan banyak pilihan. Kamu boleh jadi Buddha, Muslim, Katolik, Kristen, makan babi, tak bertuhan. Tapi jangan jadi LGBTQ.
Baca juga: Saya Dipanggil Pak Guru Bencong, Bukti Sekolah Tak Jadi Ruang Aman
Penemuan Identitas
Samuel atau kerap dipanggil Sam adalah peranakan Jawa-Batak, yang lahir di Siantar, Sumatera Utara. Enggak lama setelah Sam lahir, mereka sekeluarga pindah ke Malang, tepatnya setelah ayah meninggal.
Sam merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ibunya yang jadi orang tua tunggal, harus bekerja keras, sehingga Sam diangkat anak oleh saudaranya. Sam memanggil ibu angkatnya dengan sapaan “Ibu”. Mama dan Ibu berbeda kepercayaan, mama kandungnya Katolik, ibu angkatnya Islam kejawen.
Karena tumbuh di keluarga yang plural inilah, Sam terbiasa mengeksplorasi kepercayaannya. Walaupun sejak kecil Sam sudah mengikuti agama mama, tapi pergi ke mushola adalah rutinitasnya yang lain.
Pada akhirnya, Sam memilih Buddha sebagai agama dan belajar langsung dari vihara. Mama dan ibunya mendukung penuh keputusan Sam untuk berpindah agama.
Eksplorasi Sam tak berhenti pada persoalan agama saja. Ia suka sekali mengeksplorasi penampilan. Ia senang berdandan, memakai lipstik dan bedak dua ibunya. Terkadang, ia memakai kain untuk dijadikan rok. Keluarga tidak pernah melarang meskipun terkadang ia dibilang seperti perempuan.
Sam mulai menyadari ia berbeda sejak taman kanak-kanak (TK). Saat mengantre ke toilet dan diharuskan berbaris sesuai laki-laki dan perempuan, ia bingung harus antre dimana. Ia merasa itu belum diajari oleh kedua ibunya.
“Ketika aku mulai belajar SOGIESC saat sekolah menengah atas (SMA), aku reclaim my identity as a non biner,” jelas Sam.
Baca juga: Si Budi Kecil, Si Budi Bencong
Penolakan demi Penolakan
Penolakan tentang spiritualitas Sam tidak muncul dari dalam keluarga melainkan dari masyarakat luar. Penolakan itu datang dari teman-temannya di lingkungan rumah Sam yang mayoritas Islam.
“Pas aku kecil, mereka bilang ke teman-teman lain, ‘enggak usah ditemenin karena dia Katolik,” kenang Sam.
Saat masuk ke sekolah swasta Katolik, penolakan itu reda. Masalahnya muncul masalah baru: Ia dirundung karena berperilaku seperti perempuan.
“Dulu aku sering berantem karena dipanggil bencong sama teman-teman SD.”
Untungnya Mama dan ketiga kakaknya selalu mengajari Sam untuk berani melawan. Sebenarnya Sam tak pernah marah dipanggil bertingkah seperti perempuan. Namun, emosinya memuncak jika dikatai “bencong”. Itu tak terasa seperti pujian, tapi hinaan buatnya.
Saat memutuskan pindah ke Jogja, Sam mulai berani melela dan menunjukkan ekspresi gendernya. Dari sinilah konflik paling besar muncul. Mama Sam kerap melarang Sam berpakaian seperti perempuan. Mamanya menangis.
Keesokannya, kakak Sam mengirimkan pesan di Instagram, “Jancuk koyok bencong kon.”
Saat itulah Sam sadar situasi di keluarganya sudah berubah karena pengaruh masyarakat di sekitarnya. Kampung tempat Sam dibesarkan tidak senyaman yang ia pikirkan. Mereka belum cukup permisif menerima perbedaan identitas.
Meski ditolak oleh orang terdekat, Sam senang dan bangga dengan identitasnya sebagai Buddhist-Queer. Buatnya, penolakan itu cuma menjadi alasan lain kenapa ia harus terus berjuang mempertahankan keyakinannya.
“Mereka tak pernah meminta maaf, tapi enggak masalah buat saya. Mereka mengajari saya untuk jadi orang kuat.”